Sultan Alauddin Muhammad Syah (1760 - 1795) adalah sultan ke dua puluh delapan Kesultanan Aceh. Beliau adalah penguasa keempat dari Dinasti Bugis dan memerintah antara tahun 1781 hingga 1795.
Masa muda dan mendapatkan takhta
Beliau dipanggil sebagai Tuanku Muhammad pada masa sebelum menjadi sultan. Terlahir di sekitar 1760, dan mendapatkan takhta padsa usia 22 tahun pada tahun 1781. Sebagai seorang muslim sebelumnya semasa beliau masih menjadi seorang pangeran telah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Dalam perjalanannya terpaksa menghabiskan banyak waktu di koloni Prancis Mauritius karena badai laut yang membahayakan pelayaran. Di sana beliau terpesona menyaksikan kecanggihan ilmu metalurgi Barat dan mengagumi proses produksi peluru artileri. Selama perjalanannya ini beliau menyempatkan diri untuk belajar sejumlah ilmu teknik metalurgi pada orang-orang Prancis dan Portugis.[1] Ketika ayahnya Sultan Alauddin Mahmud Syah I mangkat pada tahun 1781 meninggalkan pemerintahan yang sedang mengalami banyak masalah. Pendapat yang disampaikan para bangsawan terpecah antara menobatkan Tuanku Muhammad atau adiknya Tuanku Cut menduduki takhta kesultanan. Para pihak yang berseberangan ini hampir saja melakukan kekerasan sehingga muncullah guru Tuanku Muhammad yang memohon mereka agar tidak saling menumpahkan darah. Dengan bijaksana sang guru merelakan agar takhta sultan diserahkan saja kepada Tuanku Cut. Namun ternyata pidatonya memberikan kesan lain bagi pihak yang berseberangan pendapat itu sehingga akhirnya mereka menyepakati Tuanku Muhammad sebagai sultan pengganti dengan gelar Sultan Alauddin Muhammad Syah.[2] Disaat menduduki takhta sultan beliau digambarkan seorang kutu buku dan pendiam. Beliau sering kali terlihat berlama-lama dan khusyuk dalam ibadatnya serta lebih banyak menghabiskan masanya dalam praktik keagamaan. Dalam kondisi seperti ini ratu utamanya Merah di Awan, putri Sultan Badruddin Johan Syah (wafat tahun 1765) menguasai pengaruh besar dalam urusan pemerintahan dan pengadilan.[3] Berbeda dengan ayahnya beliau lebih mendapatkan popularitas di kalangan rakyatnya, meskipun demikian beliau terlihat tidak sepenuhnya mempercayai rakyatnya, terbukti beliau lebih mempercayai orang-orang India (sipahi) sebagai pengawalnya.[4] Sementara itu sepanjang masa pemerintahannya kekuatan utama politik dan ekonomi hampir sepenuhnya dibawah pengaruh uleebalang dan para bangsawan.[5]
Perubahan struktur ekonomi
Dalam masa pemerintahannya terlihat beberapa perubahan ekonomi yang berkelanjutan di Aceh dan khususnya pantai barat. Kondisi ekonomi lebih meningkat dengan suksesnya budidaya lada di daerah pesisir barat yang memiliki dataran curam dan lembah-lembah sungai. Tanaman-tanaman baru didatangkan dari Pantai Malabar dan penduduk dari wilayah lain di Aceh bermigrasi ke pantai barat. Yang cukup terkenal di antara penduduk yang pindah ini adalah
dua bersaudara yang disebut Lebai Kontee dan Lebai Dappah yang mendirikan pemukiman baru di Singkil. Di kemudian hari Singkil direvitalisasi sebagai pelabuhan lada-ekspor. Pada masa ini banyak kapal dagang milik India, Amerika dan Eropa mengunjungi daerah yang kaya lada ini. Bahkan orang-orang Inggris di Bengal tertarik untuk menguasai beberapa pos penting yang dibentengi di Aceh, mereka mengirim delegasi menghadap sultan untuk merealisasikan rencananya. Namun, administrator kolonial Francis Light berpendapat bahwa kekuatan yang cukup besar akan diperlukan untuk menjaga keamanan pos dagang di Aceh, dan untuk melaksanakannya diperkirakan akan mengakibatkan lepasnya pos Inggris yang lain di pulau Penang.[6] Pada akhirnya Inggris membatalkan rencananya tersebut dan menjadikan Penang sebagai koloni Inggris pada bulan Agustus 1786 dan dengan cepat menarik pedagang Aceh yang tiba dengan sirih-pinang, lada, beras, kain dan sebagainya.[7] Namun, hubungan Aceh-Inggris tidak selalu berlangsung damai pada periode ini. Pada tahun 1786, 200 prajurit Aceh tiba-tiba menyerbu kedudukan Inggris di pantai barat Tapanuli. Serbuan ini memicu kemarahan Inggris yang lalu mengirimkan ekspedisi bersenjata untuk menghukum aksi Aceh di pantai barat Tapanuli.[8] Demikian pula kapal dagang Prancis yang rutin mengunjungi Aceh setelah 1793 yang membuat Inggris merasa sangat cemas karena menanggapi aliansi Aceh-Prancis.[9]
Kematiannya
Masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah juga diwarnai dengan ketegangan dalam negeri. Pada 1787 sekelompok pemberontak dari kalangan petani sirih di Pidie melakukan perlawanan terhadap sultan setelah mereka menerima bantuan senjata yang dikirim oleh para pedagang Inggris.[10] Gangguan terhadap sultan berikutnya terjadi pada tahun 1791. Namun gangguan tersebut tidak menggoyahkan beliau dari kedudukannya hingga saat kematiannya dalam usia muda pada bulan Februari 1795.[11] Berkembang isu bahwa kematiannya adalah disebabkan oleh keracunan (sebagaimana isu yang sama pada sebab kematian ayahnya).[12] Setelah kemangkatannya takhta sultan digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Jauhar al-Alam.
Referensi
- ^ Lee (1995), pp. 61-2.
- ^ Djajadiningrat (1911), pp. 205-6.
- ^ Lee (1995), p. 62.
- ^ Djajadiningrat (1995), p. 206.
- ^ Lee (1995), p. 67.
- ^ Encyclopaedie (1917), Vol. 1, p. 76.
- ^ Lee (1995), p. 76.
- ^ Lee (1995), pp. 70-2.
- ^ Lee (1995), pp. 83-4.
- ^ Lee (1995), p. 78.
- ^ Djajadiningrat (1911), p. 206.
- ^ Lee (1995), p. 90.
Pranala luar
- Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
- Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1917), Vol. 1. 's Gravenhage & Leiden: M. Nijhoff & Brill.
- Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Lihat pula