Bahtra Banong
Bahtra Banong (lahir 8 September 1983) adalah seorang politikus Indonesia dari Partai Gerindra yang menjabat sebagai anggota DPR-RI sejak 14 Juni 2022 menggantikan Haerul Saleh yang dilantik sebagai anggota BPK RI.[1] Ia mewakili daerah pemilihan Sulawesi Tenggara.[2] Pendidikan
Pekerjaan
Peran PolitikDesaBahtra, anggota DPR RI, mengunjungi masyarakat Desa Lamoare, Kecamatan Loea, Kabupaten Kolaka Timur. Dalam kunjungan tersebut, Wakil Ketua Komisi II berfokus pada menyerap aspirasi masyarakat setempat. "Kami menyerap aspirasi masyarakat Lamoare, yang nantinya kami akan perjuangkan," jelasnya.[3] Menurut Bahtra, pendidikan adalah pilar utama dalam membangun generasi penerus bangsa. Hal ini sejalan dengan visi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang percaya bahwa pembangunan bangsa dimulai dari pendidikan yang kuat dan bermartabat.[4] PemudaBahtra menjelaskan dengan penuh perasaan mengapa anak muda harus terjun ke dunia politik. "Kenapa anak muda harus terjun politik? Sebab segala kebijakan diputuskan melalui politik," jelasnya dengan nada yang penuh harap.[5] Menurut Bahtra, jika anak muda mengabaikan politik, maka politik akan dikuasai oleh mereka yang tidak peduli nasib rakyat itu sendiri. "Makanya anak muda harus ambil sikap terjun ke politik. Melalui momentum 77 tahun kemerdekaan RI, anak muda harus peka terhadap kondisi bangsa dan terus menggelorakan semangat dan cita-cita para Founding Fathers," tegasnya dengan semangat yang membara. Bahtra juga menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hari ini tidak terlepas dari peranan besar anak-anak muda. "Harus diingat bahwa bangsa ini merdeka karena sebagian besar dari peran anak-anak muda pada masa lampau," pungkasnya, mengingatkan kita akan pentingnya peran generasi muda dalam membangun bangsa. Netralitas ASN 2024Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, dengan penuh harap mengingatkan para penjabat kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk menjaga netralitas selama tahapan Pilkada 2024 berlangsung. Bahtra menekankan pentingnya menjaga netralitas agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah bagi para penjabat kepala daerah. "Sebagian besar Pj. ini adalah pejabat karier. Sayang sekali kalau mengorbankan karier dan integritas hanya untuk berpihak kepada salah satu calon,"[6] ujarnya dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan sejumlah Pj. kepala daerah di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Ia juga mengingatkan bahwa netralitas aparatur sipil negara (ASN) harus ditegakkan. Terlebih, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 yang menegaskan kewajiban pejabat negara, pejabat ASN, dan kepala desa atau lurah untuk bersikap netral selama tahapan pilkada berlangsung. "Beberapa hari yang lalu, putusan MK memperkuat soal sanksi terhadap ASN yang terlibat atau tidak netral terhadap penyelenggaraan pilkada. Bukan hanya sanksi denda, tetapi ada hukuman yang berat," kata Bahtra mengingatkan. Sebelumnya, MK memutuskan pemberian hukuman pidana penjara atau denda untuk pejabat daerah dan anggota TNI/Polri dalam putusannya pada Kamis (14/11). MK memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal 188 UU Nomor 1/2015 sebelumnya berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.” Setelah Putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024 dikeluarkan, Pasal 188 UU Nomor 1/2015 kini berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00." Pranala luarReferensi
|