Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Benteng Rotterdam

Benteng Rotterdam
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Bagian dalam Fort Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
Cagar budaya Indonesia
PeringkatNasional
KategoriSitus
No. RegnasCB.18
Lokasi
keberadaan
Bulo Gading, Ujung Pandang, Makassar, Sulawesi Selatan
No. SK
  • SK Menteri No.PM.59/PW.007/MKP/2010
  • SK Menteri No.025/M/2014
Tanggal SK
  • 22 Juni 2010
  • 17 Januari 2014
Pemilik Indonesia
PengelolaBalai Pelestarian Cagar Budaya Makassar
Koordinat5°08′03″S 119°24′20″E / 5.13417°S 119.40556°E / -5.13417; 119.40556
Benteng Rotterdam di Makassar
Benteng Rotterdam
Benteng Rotterdam
Lokasi Fort Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan

Benteng Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Benteng ini awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna. Situs ini kemudian diserahkan kepada VOC Belanda di bawah Perjanjian Bungaya 1667 untuk diduduki. Benteng ini memiliki enam bastion dan dikelilingi oleh dinding setinggi tujuh meter dan parit sedalam dua meter.

Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Benteng ini juga merupakan markas militer dan pemerintahan daerah Belanda hingga tahun 1930-an. Pada 1937 kepemilikan Benteng Rotterdam oleh pemerintah Hindia Belanda diserahkan kepada Yayasan Fort Rotterdam.[1] Benteng ini terdaftar sebagai bangunan bersejarah pada 23 Mei 1940.[1] Benteng ini dipugar secara ekstensif pada tahun 1970-an dan sekarang menjadi pusat budaya dan pendidikan, tempat untuk berbagai acara musik dan tarian, serta tujuan wisata.

Sejarah

Fort Rotterdam dibangun di lokasi yang sebelumnya juga merupakan benteng yang disebut Ujung Pandang.[2] Benteng ini dibangun pada tahun 1545, sebagai bagian dari pembangunan program benteng yang dilakukan oleh penguasa Makassar untuk memperkuat pertahanan.[3] Benteng aslinya yang bernama Jum Pandan (diperkirakan dinamai dari nama pohon pandan yang tumbuh di sekitarnya), menjadi asal muasal nama kota Ujung Pandang, nama lain kota Makassar.[4]

Litografi Fort Rotterdam di akhir abad ke-19, berdasarkan lukisan oleh Josias Cornelis Rappard (1883-1889)

Pada tahun 1667 Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Bungaya, setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar. Pada tahun-tahun berikutnya, benteng dibangun kembali secara keseluruhan atas prakarsa laksamana Belanda Cornelis Speelman, untuk menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi.[4] Benteng itu berganti nama menjadi Fort Rotterdam, dinamai dari kota tempat lahir Speelman, Rotterdam. Pada tahun 1673–1679, lima bastion benteng ini memiliki bentuk seperti penyu dan bentuk itu bertahan hingga kini, oleh karena itu benteng ini diberi julukan "Benteng Penyu".[5]

Batuan yang digunakan untuk membangun benteng ini diambil dari pegunungan karst yang ada di Maros, batu kapur dari Selayar, dan kayu dari Tanete dan Bantaeng.[6][7] Setelah Perang Jawa (1825–1830), Pangeran Diponegoro dipenjara di benteng tersebut setelah diasingkan ke Makassar pada tahun 1830 hingga kematiannya pada tahun 1855.[7] Benteng ini juga digunakan sebagai kamp tawanan perang Jepang selama Perang Dunia II.

Fort Rotterdam tetap menjadi markas militer dan pemerintahan Belanda hingga tahun 1930-an.[4] Setelah tahun 1937, benteng tersebut tidak lagi digunakan sebagai pertahanan. Selama pendudukan Jepang yang singkat, benteng ini digunakan untuk melakukan penelitian ilmiah di bidang linguistik dan pertanian.[6] Pada tahun 1970-an, benteng ini dipugar secara besar-besaran.[4]

Deskripsi

Tata letak Benteng Rotterdam di abad ke-18.

Fort Rotterdam terletak di pusat kota Makassar. Benteng ini berbentuk persegi panjang dan dikelilingi tembok setinggi tujuh meter. Awalnya dilengkapi dengan enam selekoh (bastion), lima di antaranya masih terlihat: Bastion Bonie (dinamai dari Kerajaan Bone) di barat; Bastion Boeton (dinamai dari Kesultanan Buton) di sebelah barat laut; Bastion Batjang (dinamai dari Kepulauan Bacan) di barat daya; Bastion Mandassar di timur laut; dan Bastion Amboina (dinamai dari Ambon) di sebelah tenggara. Benteng keenam, Bastion Ravelin sudah tidak ada lagi. Kelima Bastion ini merupakan Sekutu loyal VOC Belanda dimasanya seperti Bone, Buton, Bacan, Mandarsyah dan Ambon yang menikmati hasil bersama Belanda. Beberapa benteng masih berisi meriam. Dimungkinkan untuk berjalan di sebagian besar benteng. Dahulu terdapat jaringan parit sedalam dua meter yang mengelilingi benteng, namun kini hanya parit di bagian barat daya yang masih dapat dilihat.[6]

Status saat ini

Fort Rotterdam di tahun 2008

Di dalam benteng terdapat tiga belas bangunan, sebelas di antaranya adalah bangunan asli benteng abad ke-17; sebagian besar kondisinya masih bagus. Di tengah benteng terdapat bangunan gereja. Beberapa bangunan di sepanjang dinding utara dan selatan masih ada. Bangunan di sepanjang dinding utara merupakan beberapa bangunan tertua, berasal dari tahun 1686, seperti rumah kediaman gubernur, pedagang senior, kapten, predikant, dan sekretaris, serta beberapa bangunan penyimpanan senjata. Kediaman gubernur di sudut paling barat laut dijuluki sebagai "Rumah Speelman", walau Speelman sendiri tidak pernah tinggal di rumah itu. Rumah itu digunakan gubernur Sulawesi hingga pertengahan abad ke-19 ketika ia pindah ke vila yang lebih nyaman di Jalan Ahmad Yani. Rumah Speelman sekarang menjadi bagian dari Museum La Galigo. Museum La Galigo mengoleksi beberapa megalit prasejarah dari Watampone, serta senjata kuno, koin, kerang, perkakas, sketsa, dan perangko.[4]

Bangunan-bangunan di dinding selatan yang dulu merupakan sebagai tempat penyimpanan, kini menjadi museum yang menampilkan kesenian lokal dalam menenun sutra, pertanian, dan pembuatan kapal.[4] Barak di tembok timur sekarang menampung perpustakaan kecil, menampilkan buku-buku Belanda kuno yang sebagian besar milik Pendeta Mates, seorang misionaris di abad ke-19. Terdapat juga catatan para kapal kapten VOC dan manuskrip lontar.[6] Departemen arkeologi bertempat di bekas gedung kepala administrasi VOC; lantai dasar bangunan yang terletak di sudut tenggara benteng ini dulunya adalah penjara.[6] Dua bangunan lain di dalam Fort Rotterdam dibangun oleh Jepang selama masa pendudukan Jepang.[6] Bastion di barat daya (Bastion Bacan) terdapat penjara di mana Pangeran Diponegoro dipenjara hingga akhir hayatnya.[7]

Bangunan-Bangunan Dalam Benteng:

GEDUNG A. Bangunan ini menempati Bastion Bone, merupakan tempat untuk menerima kedatangan tamu dari Kerajaan/Kesultanan Bone.

GEDUNG B. Dahulu bagian atas bangunan dipergunakan sebagai tempat perwakilan dagang dan bagian bawah difungsikan sebagai sel. Bangunan ini dahulu keadaannya sangat hancur karena terkena bom, kemudian kembali seperti sediakala setelah direhabilitasi tahun 1994.

GEDUNG C. Bangunan ini terletak di Bastion Buton/Butung. Dahulu dipergunakan untuk menerima tamu dari Kesultanan Buton. Setelah direhabilitasi tahun 1976, bangunan ini kemudian digunakan sebagai Pusat Latihan Tari Indonesia (Konservatory Tari Indonesia) di Ujung Pandang. Setelah itu, digunakan sebagai Pusat Kesenian Makassar atau lebih dikenal sebagai bangunan DKM (Dewan Kesenian Makassar).

GEDUNG D. Bangunan ini merupakan bangunan tertua di antara bangunan lainnya yang ada dalam benteng. Didirikan pada 1686, sebagai tempat tinggal bagi Cornelis J. Speelman. Pada tahun 1938, gedung tempat tinggal Cornelis J. Speelman diubah menjadi Museum Celebes, kemudian pada 1970-an, gedung ini menjadi Museum La Galigo yang menyimpan berbagai benda-benda bersejarah hingga sekarang. fungsinya masih sebagai wisma. Bagian belakang gedung ini merupakan rumah sakit bagi orang Belanda yang kemudian dirubah fungsinya sebagai wisma tentara dan sekarang fungsinya masih sebagai wisma.

GEDUNG E. Pada masa dahulu, digunakan sebagai tempat tinggal pimpinan perdagangan dan kediaman pendeta. Setelah direhabilitasi tahun 1977, digunakan sebagai gedung museum untuk koleksi seni rupa (art galery) dan auditorium.

GEDUNG F. Bangunan ini mempunyai selasar teras yang terbuat dari kayu pada bagian depan di lantai II dan tidak mempunyai molding di bagian atap. Bangunan ini merupakan hasil rekonstruksi suaka, karena keadaan sebelumnya sangat hancur.

GEDUNG G. Gedung G atau gudang dan bengkel. Gedung ini berlantai tiga, yang ditempati oleh lembaga adat Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo. Pada bagian depan terdapat tangga menuju lantai dua. Dahulu digunakan sebagai tempat pertukangan dan setelah direhabilitasi, kemudian digunakan sebagai gudang dan masa sekarang digunakan sebagai sekretariat Kesultanan Tallo.

GEDUNG H. Bangunan ini menempati Bastion Mandarsyah di Timur Laut Benteng Rotterdam. Nama Bastion Mandarsyah sendiri diambil dari nama salah seorang Sultan Ternate di abad XVII yang bersekutu dengan VOC dan Bone dalam Perang Makassar, yakni Sultan Mandarsyah. Dahulu bangunan ini digunakan sebagai tempat untuk menerima kedatangan tamu dari Kesultanan Ternate.

GEDUNG I. Gedung ini berlantai satu dan merupakan bangunan yang dibangun pada masa Pendudukan Jepang. Menurut sumber sejarah, gedung tersebut dibangun karena Jepang kekurangan gedung kantor pada masa pemerintahannya di Makassar. Gedung ini dibangun oleh Jepang sebagai kantor penelitian bahasa dan pertanian.

GEDUNG J. Bangunan J digunakan sebagai tempat bagi pemegang buku Germising. Direhabilitasi pada tahun 1976. Luas bangunan adalah 838,24 m2. Pada bagian tengah, terdapat lorong yang dahulunya digunakan sebagai jalan pintu benteng bagian Timur yang sudah tidak digunakan lagi, berbentuk kubah dan terdapat piscina-piscina di sebelah kiri dinding.

GEDUNG K. Dahulu digunakan sebagai Balai Kota, setelah direhabilitasi tahun 1976, digunakan sebagai Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Wilayah Sulawesi Selatan. Sekarang telah berganti nama menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.

GEDUNG L. Bangunan ini terletak pada Bastion Amboina/Ambon (Tenggara). Dahulu terdapat bangunan di atasnya, namun sekarang hanya nampak dua buah bangunan yang dipisahkan oleh lorong menuju ke atas bastion. Gedung ini juga pernah menjadi tempat tahanan/penjara.

GEDUNG M. Pada masa lalu, merupakan gudang dan menjadi pusat perdagangan Belanda. Setelah direhabilitasi tahun 1974, keseluruhan bangunan difungsikan sebagai Gedung Museum La Galigo sampai sekarang.Bangunan ini menempati Bastion Bacan dan merupakan tempat untuk menerima tamu dari Kesultanan Bacan dan gedung yang dilabeli sebagai bekas ruang tahanan Pangeran Diponegoro dan keluarganya yang diasingkan ke Makassar (di Fort Rotterdam) sejak 1833 hingga 1855.

GEDUNG O. Dahulu terdiri dari dua bangunan. Dapat terlihat dari ketinggian atap yang tidak merata atau sama tinggi. Terdiri atas dua ruangan, difungsikan sebagai pos jaga pintu gerbang dan kediaman kepala mandor dan kantor Gubernur Jenderal. Setelah direhabilitasi (1974), digunakan sebagai kantor dan pusat kegiatan Balai Penelitian Bahasa Cabang Ujung Pandang.

GEDUNG P. Bangunan berlantai dua ini digunakan sebagai gereja pada masa kolonial Belanda. Sekarang digunakan sebagai Aula di bagian atas dan bagian bawah digunakan sebagai ruang pameran oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Bangunan berbentuk persegi panjang yang melintang dari utara ke selatan tersebut, terletak pada bagian tengah dari Benteng Ujung Pandang. Direhabilitasi pertama kali dengan menggunakan dana dari bantuan Kerajaan Belanda tahun 1976, pada bagian depan, terdapat dua buah tangga di sebelah kiri dan kanan yang dibuat berterap.[8]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Kebudayaan., Indonesia. Departemen Pendidikan dan. Forts in Indonesia (edisi ke-First edition). Senayan, Jakarta. ISBN 9789791274616. OCLC 841187637. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23. Diakses tanggal 2017-12-02. 
  2. ^ Mattulada (1991). Menyusuri jejak kehadiran Makassar dalam sejarah, 1510-1700. Hasanuddin University Press. ISBN 978-979-530-004-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23. Diakses tanggal 2022-12-04. 
  3. ^ Living through histories : culture, history and social life in South Sulawesi. Kathryn May Robinson, Mukhlis Paeni, Australian National University. Research School of Pacific and Asian Studies, Arsip Nasional Republik Indonesia. Canberra. 1998. ISBN 0-7315-3218-X. OCLC 41627223. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-21. Diakses tanggal 2022-12-04. 
  4. ^ a b c d e f Backshall, Stephen (2003). Indonesia (dalam bahasa Inggris). Rough Guides. ISBN 978-1-85828-991-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23. Diakses tanggal 2022-12-04. 
  5. ^ Pemugaran benteng Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, Marlborough, Bengkulu, Duurstede, Maluku. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jakarta. 1986. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23. Diakses tanggal 2022-12-04. 
  6. ^ a b c d e f "Makassar, de hoofdstad van Sulawesi". web.archive.org. 2015-11-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-19. Diakses tanggal 2022-12-04. 
  7. ^ a b c Indonesian heritage. Jonathan Rigg, John N. Miksic, Anthony Reid, Tony Whitten, Jane Whitten. Singapore: Archipelago Press. 1996-. ISBN 981-3018-32-1. OCLC 40104365. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-11. Diakses tanggal 2022-12-04. 
  8. ^ Dinas Kebudayan Pemerintah Kota Makassar (2022-07-12). "Fort Rotterdam". Diakses tanggal 2025-01-17. 

Pranala luar

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya