Sebagian dari artikel ini (yang berkaitan dengan documentation) memerlukan pemutakhiran informasi. Harap perbarui artikel dengan menambahkan informasi terbaru yang tersedia.
Teori Efek Ferguson adalah teori yang menyatakan bahwa ketidakpercayaan masyarakat Amerika Serikat terhadap polisi semakin naik semenjak peristiwa penembakan Michael Brown tahun 2014. Peristiwa itu menyebabkan tingkat kejahatan (atau tingkat pembunuhan) di kota-kota besar di Amerika Serikat mengalami kenaikan. Teori ini dicetuskan oleh Doyle Sam Dotson, kepala polisi Departemen Polisi St. Louis, semenjak munculnya kerusuhan Ferguson.[1] Data lebih lanjut menunjukkan bahwa angka kriminalitas berupa tindak kekerasan mengalami peningkatan pesat, utamanya di kota-kota yang memiliki perhatian lebih terhadap kekerasan polisi di Amerika Serikat.[2]
Awal
Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Doyle Dotson melalui sebuah kolom di surat kabar St. Louis Post-Dispatch pada tahun 2014.[3]
Doyle mengatakan bahwa sejak kerusuhan Ferguson yang disebabkan oleh penembakan Michael Brown, terlihat sejumlah opsir polisi mengalami keraguan untuk bertindak, mereka takut untuk dituntut. Fenomena ini memberikan angin segar bagi pelaku kriminal di Amerika Serikat.[1]
Istilah ini menjadi populer ketika Heather MacDonald menggunakannya pada tanggal 29 Mei 2015 di bagian op-edWall Street Journal.[4]
Kolomnya menyatakan bahwa kenaikan tingkat kejahatan di Amerika Serikat disebabkan karena pergolakan terhadap kesatuan polisi.[5]
Sebagai output, ia menyarikan, bahwa apabila tindakan ini tidak segera berakhir, maka akan membawa dampak buruk bagi moral satuan kepolisian Amerika Serikat.[1]
Secara lanjut, Mayor Chicago, Rahm Emanuel, menyatakan bahwa reaksi keras terhadap kekejaman polisi telah membuat anggota polisi semakin tidak mau untuk bertanggung jawab, yang pada gilirannya akan membuat tingkat kejahatan semakin meningkat.[6]James Comey, Direktur FBI pada 2016 menyatakan bahwa tingkat pembunuhan yang meningkat di AS disebabkan oleh efek video viral. Ia mencontohkan kota Chicago, yang tingkat pembunuhannya naik 54% dan penembakan naik 70%.[7][8][9]
Aktivitas lain pada tahun 2016, mencatatkan kejadian efek Ferguson dalam kasus seorang polisi wanita Chicago yang dipukuli oleh tersangka, tapi tidak mau mengeluarkan pistolnya, karena takut akan sorotan media massa jika ia menembak tersangka tersebut.[10]
Riset yang mendukung
Asosiasi Kepala Polisi Kota Besar AS mengompilasi data dari 53 kota menunjukkan kenaikan tingkat kejahatan, pembunuhan, perampokan, penembakan.[11]
Sebuah studi di Universitas Missouri menemukan bahwa ada kenaikan 16,8% pembunuhan di 56 kota besar di AS,[12][13]
dan memeriksa bahwa efek Ferguson mungkin merupakan satu dari 3 penyebabnya, yang memerlukan riset lebih lanjut.[14]
Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Criminal Justice menemukan bahwa polisi yang atasannya lebih adil, cenderung lebih sedikit merasa terancam, tidak termotivasi, atau berpikir negatif terhadap masyarakat sipil.[15]
Laporan USA Today menyatakan bahwa ada kenaikan tajam untuk pembunuhan di Baltimor, setelah pembunuhan Freddie Grey tahun 2015.[16]
^Gross, Neil (4/17/2017). "Is There a "Ferguson Effect?" Google Searches, Concern about Police Violence, and Crime in U.S. Cities, 2014–2016". Socius: Sociological Research for a Dynamic World.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Nix, Justin; Wolfe, Scott E. (December 2016). "Sensitivity to the Ferguson Effect: The role of managerial organizational justice". Journal of Criminal Justice. 47: 12–20. doi:10.1016/j.jcrimjus.2016.06.002.