Eklektisisme adalah sikap berfilsafat dengan mengambil teori yang sudah ada dan memilah mana yang disetujui dan mana yang tidak sehingga dapat selaras dengan semua teori itu.[1] Hal ini dilakukan agar dapat mengambil nilai yang berguna dan dapat diterima. Dari sana diciptakan sistem terpadu.[1] Para filsuf dengan sikap semacam ini membatasi usaha berpikirnya dengan menguji hasil karya intelektual orang lain, mengadakan penggabungan kebenaran-kebenaran tanpa usaha yang serius dalam berfilsafat.[1] Eklektisisme mengarah kepada sinkretisme, dan dalam menggabungkan ide-ide yang ada kurang melihat konteks dan kesahihan ide.[1] Para eklektikawan memandang upaya semacam ini adalah cara terbaik agar dapat memakai semua teori yang bernilai dan ini diterapkan dalam banyak bidang kehidupan.[1] Misalnya dalam bidang pendidikan, sosial, politik, masyarakat dan sebagainya.[1]
Salah seorang warga Roma yang dapat digolongkan dalam filsafat ini adalah Cicero (106-43)SM.[2] Dia adalah seorang orator tersohor di Roma.[2] Tokoh lain misalnya Philo (25 SM - 50 M), seorang pemikir Yahudi dari Aleksandria.[2] Pemikiran utamanya adalah mempertemukan dan mendamaikan agama Yahudi dengan pemikiran filsafat Yunani terutama Plato.[2] Filsafat yang paling dekat dengan Eklektisisme adalan filsafat Stoa pada awal masehi. Sedangkan dalam Zaman Pencerahan, tokoh yang tampak adalah Victor Cousin (1792-1867).[1]
Bidang yang tampak juga dalam abad modern adalah arsitektur atau gaya bangunan.[3] Sebagaimana terdapat di Belanda pada abad 20 yang membangun vila-vila dengan gaya romantisme abad 18.[3] Namun hal ini tidak berlangsung lama, mereka kemudian berganti gaya bangunan menyesuaikan dengan iklim tropis dengan gaya indo Eropa yang sudah ada.[3]