Muzaffar al-Din Gökböri. 563-630 Hijriyah (1167-1233 AD) dalam koin Erbil tertanggal 587 Hijriyah (sekitar tahun 1191-1192 AD). Gelar Muzaffar al-Din Gökböri tercantum pada pinggiran.
Gökböri, [a] atau Muzaffar ad-Din Gökböri, [b] adalah seorang emir dan jenderal di bawah kepemimpinan Sultan Salahuddin Ayyubi (Ṣalāḥ ad-Dīn Yūsuf ibn Ayyūb), dan gubernur Erbil pada masa dinasti Ayyubiyah.[3] Dia berkuasa di masa dinasti Zankiyah dan Ayyubiyah di daerah yang kini meliputi Suriah dan Mesir. Ia berperan penting dalam penaklukan Saladin atas wilayah Suriah Utara dan Jazira (Mesopotamia Hulu) dan kemudian memegang komando utama dalam sejumlah pertempuran melawan negara-negara Tentara Salib dan pasukan Perang Salib Ketiga. Dalam literatur Franka (Franks) ia dikenal sebagai Manafaradin, sebuah transliterasi dari panggilannya Muzaffar ad-Din, yang dipakai di negara-negara Tentara Salib.
Gökböri, dalam beberapa sumber, adalah penguasa Muslim pertama yang secara terbuka merayakan kelahiran nabi IslamMuhammad dalam sebuah kegiatan besar di mana tradisi sajak Maulid (Mawlid atau Mavlid, yakni puisi yang merayakan kelahiran Muhammad) dibacakan.[4]
Kehidupan awal
Gökböri—bermakna "Serigala Biru" dalam bahasa Turkik Kuno—adalah putra Zain ad-Din Ali Kutchek, Emir Erbil (atau dikenal sebagai Arbela dalam literatur berbahasa Arab kontemporer). Leluhur Gökböri adalah Turkoman dan keluarganya, yang dikenal sebagai Begtegīnids, berhubungan dengan orang-orang Turki Seljuk. Setelah ayahnya meninggal pada bulan Agustus 1168, Gökböri yang berusia empat belas tahun meneruskan jabatannya sebagai penguasa Erbil. Akan tetapi, atabeg Erbil, Kaimaz, menyingkirkan Gökböri dan menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, Zain ad-Din Yusuf. Gökböri, yang kemudian diasingkan dari Erbil, akhirnya mengabdi pada pangeran dari dinasti Zanki yaitu Saif ad-Din Ghazi ibn Maudud yang berkuasa di Mosul. Penguasa Mosul kemudian memberikan Gökböri kota Harran sebagai wilayah kekuasaannya.[5][6][7]
Karir militer pada dinasti Zankiyah
Sekitar tahun 1164, Salahuddin Al-Ayyubi, yang awalnya merupakan penguasa di bawah Nuruddin Zanki dari dinasti Zanki di Syria, menaklukan Mesir. Salahuddin berambisi mempersatukan wilayah Mesir dan Suriah di bawah kekuasaannya, dan memisahkan diri dari dinasti Zanki, yang ditolak oleh Nuruddin. Pada tahun 1174 Nuruddin mempersiapkan pasukannya untuk menaklukan Mesir, namun ia meninggal sebelum dapat bergerak melawan Salahuddin. Setelah kematian Nuruddin, Salahuddin bergerak menaklukan Suriah. Gökböri pada saat itu memimpin sayap kanan pasukan dinasti Zanki yang dikalahkan oleh Salahuddin pada 13 April 1175 di Pertarungan di Tanduk Hama. Selama pertempuran, sayap kanan pasukan dinasti Zanki berhasil menghancurkan sayap kiri pasukan Salahuddin, sebelum akhirnya dikalahkan oleh serangan pengawal Salahuddin.[8]
Karir militer pada dinasti Ayyubiyah
Setelah kekalahan dinasti Zanki di Hama, dan ketiadaan tokoh pemersatu setelah Nuruddin meninggal, Gökböri menyadari bahwa pengaruh Zanki memudar di Suriah dan Jazira dan akhirnya menyerahkan diri untuk mengabdi kepada Salahuddin pada tahun 1182. Saat itu, Salahuddin ditolak oleh penduduk kota Beirut dan bergerak menuju Aleppo ketika Gökböri menemuinya dengan ajakan untuk bergerak menyebrangi sungai Efrat menuju wilayah Jazira, di mana ia diyakinkan akan disambut oleh penduduk di sana. Dukungan Gökböri terhadap Salahuddin berperan penting dalam menaklukan wilayah kekuasaan dinasti Zanki di wilayah Jazira; tak lama berselang, hanya kota Mosul dan Aleppo yang tetap berada di bawah kendali dinasti Zanki.[10][11]
Pada tahun 1185 Salahuddin tengah berperang melawan Izz ad-Din Mas'ud, penguasa Mosul dari dinasti Zanki. Pada saat ini Salahuddin menerima laporan bahwa Gökböri dicurigai berkolusi dengan Izz ad-Din. Gökböri telah menjanjikan sejumlah besar uang kepada Salahuddin untuk mendukung penaklukan Mosul, namun gagal memenuhi janji tersebut. Salahuddin menangkap Gökböri, tetapi segera membebaskannya. Salahuddin jatuh sakit parah selama kampanye ini, tetapi dirawat hingga pulih di kastil milik Gökböri di Harran. Pada tahun 1186 perang berakhir, ketika Izz ad-Din Mas'ud setuju menjadi penguasa di bawah Salahuddin.[12][13]
Setelah menaklukkan wilayah Suriah Utara dan Jazira, Salahuddin menyerahkan wilayah Edessa (kini wilayah Urfa) dan Samsat sebagai imbalan kepada Gökböri. Salahuddin juga kemudian menikahkan saudara perempuannya, Siti Rabia Khatun, dengan Gökböri.[10]
Kegiatan militer pada Perang Salib Ketiga
Gökböri kemudian dikenal sebagai pemimpin militer yang andal dan terampil. Sekretaris Salahuddin, sejarawan Imad ad-Din al-Isfahani, menggambarkannya sebagai: "...seorang yang berani, pahlawan dalam strategi yang dipikirkan dengan matang, singa yang langsung menuju sasaran, pemimpin yang paling dapat diandalkan dan paling teguh." [10]
Dalam peperangan Salahuddin melawan negara-negara Tentara Salib, Gökböri memimpin komando penting. Dalam Pertempuran Cresson pada tahun 1187 ia memimpin pasukan berjumlah 700–7.000 orang yang mengalahkan pasukan Kristen yang berisi kontingen besar dari ragam ordo militer Kristiani. Tentara Kristen dikalahkan dan pemimpin Kesatria Hospitaller, Roger de Moulins, terbunuh.[14] Gerakan militer Gökböri dicatat dalam catatan musuh-musuhnya dari kalangan Kristen pada masa itu, yang dikenal dengan nama Manafaradin.[15]
Prestasi militer terbaik Gökböri adalah dalam Pertempuran Hittin yang terjadi tahun 1187, saat ia memimpin sayap kiri pasukan dinasti Salahuddin. Salahuddin memimpin pasukan di bagian tengah pasukan dan kemenakannya, Taqi ad-Din, memimpin sayap kanan pasukan. Pertempuran ini menjadi peristiwa kalahnya pasukan utama Kerajaan Yerusalem, yang menyebabkan takluknya sebagian besar wilayah kekuasaan kerajaan, termasuk Yerusalem, ke bawah kepemimpinan Salahuddin. Ibn Khallikan meriwayatkan catatan menggambarkan bagaimana Gökböri dan Taqi ad-Din tetap teguh berdiri ketika sisa pasukan mereka melarikan diri. Mereka mengumpulkan pasukan Salahuddin yang tercecar dan memimpin mereka dalam serangan balik yang menentukan pertempuran tersebut.[16][17]
Pada tahun 1190, di tengah Pengepungan Akko (Acra) oleh pasukan Perang Salib Ketiga, saudara Gökböri, Zain ad-Din Yusuf meninggal di Erbil. Gökböri kemudian mengajukan petisi kepada Salahuddin agar warisan pihak ayahnya, yaitu kota Erbil, dikembalikan kepadanya. Salahuddin menyetujui petisi tersebut, dan menyerahkan hak kuasa wilayah Erbil dan Shahrozur, dan sebagai gantinya, Gökböri melepaskan hak kuasanya atas wilayah Edessa, Harran dan Samsat, yang kemudian diberikan Salahuddin kepada Taqi ad-Din. Meskipun pengepungan masih berlangsung, Salahuddin mengizinkan Gökböri pergi ke Erbil untuk mengurus peralihan kekuasaan. Sebagai gantinya, Taqi ad-Din dipanggil untuk mengambil alih pasukan yang sebelumnya dipimpin oleh Gökböri. Gökböri tiba di Erbil pada bulan Januari 1191.[18][19][20]
Penguasa Erbil
Gökböri menjadi gubernur Erbil sampai kematiannya. Setelah kematian Salahuddin pada tahun 1193, ia menyatakan kemandiriannya, dan tidak mengakui penguasa lain atas dirinya kecuali Khalifah Abbasiyah. Dia adalah seorang pendukung utama para penulis, penyair, seniman dan sarjana, yang dia undang ke Erbil.[21] Pemerintahannya di Erbil dibantu oleh ulama Ibn al-Mustawfi, yang menjadi wazir pemerintahan Erbil. Melalui dukungan Gökböri, Ibn al-Mustawfi melakukan kodifikasi sejarah Erbil dalam empat jilid. Gökböri juga merupakan pendukung dan pelindung penulis biografi dan sejarawan Ibn Khallikan. Ia adalah seorang muslim Sunni yang taat dan aktif melaksanakan pembangunan di wilayah kekuasaannya untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan jasmani rakyatnya. Salah satu pembangunan yang ia lakukan adalah mendirikan perguruan tinggi agama, Dar al-Hadith al-Muzaffariya (didirikan pada tahun 1198), tempat peristirahatan sufi (disebut juga dengan khanqah), penginapan bagi para pelancong dan sejumlah tempat pengungsian bagi orang buta, anak yatim dan janda.[22][23]
Ia secara khusus ditulis sebagai seorang yang merayakan Maulid, yakni pembacaan syair pujian untuk merayakan hari kelahiran Muhammad. Sebelum Gökböri, perayaan Maulid merupakan kegiatan pribadi atau dilakukan oleh kalangan istana penguasa Muslim saja. Perayaan Maulid di masa Gökböri diselenggarakan di hadapan khalayak umum, dimulai dengan acara perburuan dan disertai penyembelihan hewan kurban. Hal ini dilihat oleh para sejarawan di kemudian hari sebagai representasi dari tingkat sinkretisme dengan tradisi Turki pra-Islam yang disebut Siğir dan Shölen.[24]
Masa kepemimpinan Gökböri di Erbil yang panjang—di mana Erbil menjadi pusat pembelajaran Sunni yang pesat—sebagian besar disebabkan oleh ketajaman politik Gökböri yang tinggi dan kebijaksanaannya dalam membangun aliansi. Dia selalu menampilkan dirinya sebagai sekutu berkekuatan besar ketimbang menampilkan dirinya sebagai ancaman bagi sekutunya. Meskipun ia menikah dengan keluarga dinasti Ayyubiyah, dua putrinya menikah dengan keluarga dinasti Zanki. Pada masa pemerintahannya, ia membangun aliansi dengan al-Muazzam dari Damaskus sebagai untuk menyeimbangkan ancaman dari al-Malik al-Ashraf dan Badr al-Din Lu'lu'. Badr al-Din Lu'lu' kemudian diangkat Gökböri sebagai atabeg bagi para penguasa Mosul berikutnya, Nur al-Din Arslan Shah II dan adiknya, Nasir al-Din Mahmud. Kedua penguasa tersebut merupakan cucu Gökböri, dan ini mungkin menjelaskan permusuhan yang terjadi kemudian antara dirinya dan Lu'lu'. Pada tahun 1226, Gökböri, dengan dukungan al-Muazzam, menyerang Mosul, sementara sekutunya menyerang Homs. Akibat tekanan militer ini, al-Ashraf dan Lu'lu' menyerah kepada al-Muazzam, meskipun al-Muazzam meninggal pada tahun berikutnya. Nasir al-Din Mahmud adalah penguasa dari dinasti Zanki terakhir di Mosul, ia menghilang dari catatan segera setelah kematian Gökböri. Dia dibunuh oleh Lu'lu', dengan cara dicekik atau dibiarkan kelaparan, dan pembunuhnya kemudian diangkat menjadi penguasa Mosul.[25][23][26]
Kematian
Karena tidak mempunyai pewaris laki-laki, Gökböri menyerahkan Erbil kepada Khalifah Abbasiyah al-Mustansir.[27]
Di usia tuanya, ia bertempur melawan bangsa Mongol, saat mereka mulai mendekati Mesopotamia, yang saat itu dapat ditangkis oleh Gökböri. Gökböri kemudian jatuh sakit dan kembali ke tanah kelahirannya kemudian meninggal pada tanggal 28 Juni 1233.[28] Tiga tahun kemudian, pada tahun 1236, bangsa Mongol menyerang Erbil, namun tidak dapat menduduki bentengnya; pada tahun 1258, pada masa Pengepungan Baghdad, Erbil jatuh ke tangan jenderal Mongol Oroktu Noyan.[29]
Catatan
^juga ditulis sebagai Gokbori, Kukburi atau Kukuburi
^Gelar lengkap: al-Malik al-Muazzam (Penguasa Agung) Muzaffar ad-Din (Sang Pemenang dalam Agama)
^Phillips, Jonathan (2019). "Progress in Syria and Reynald's Red Sea Raid". The Life and Legend of the Sultan Saladin (dalam bahasa English). Random House. hlm. 391. The Turkmen ruler of Harran, Muzaffar al-Din Keukburi ('Keukburi' is a Turkish name meaning 'Blue Wolf') approached Saladin offering to support his plans.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Album, S. (1977) Marsden's Numismata Orientalia Illustrata, Attic Books Limited, London, Ontario ISBN9780915018161. Reprint of a private printing dating from 1823–1825, in London, England, by William Marsden.
Baha' Ad-Din Yusuf Ibn Shaddad (Beha Ed-Din), trans. C.W. Wilson (1897) Saladin Or What Befell Sultan Yusuf, Palestine Pilgrims' Text Society, London. Reprinted, 2002, Elibron Classics, Adamant Media, Boston ISBN9781402192463[1]
Çaǧatay, N. (1968) "The Tradition of Mavlid Recitations in Islam Particularly in Turkey", Studia Islamica, No. 28, Maisonneuve & Larose (Brill, Leiden). DOI: 10.2307/1595265 [2]
Encyclopaedia of Islam, Second Edition First published online: 2012, P. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs (eds.), Brill, Leiden, Online version: section on the Begteginids [3] First published online: 2012. First print edition (1960–2007): ISBN9789004161214
Gibb, H.A.R. (1962) "The Aiyubids", in History of the Crusades, Volume 2: The Later Crusades, 1189-1311, Wolff, R.L. and Hazzard, H.W. (eds.), Ch. XX, pp. 693–714, University of Pennsylvania Press, Philadelphia PA. [4]Diarsipkan 2023-03-26 di Wayback Machine.
Hazard, H.W (1958) "The Rise of Saladin 1169–1189", in A History of the Crusades, Volume 1 (M.W. Baldwin ed.), University of Pennsylvania Press, Philadelphia PA, pp. 563–589. ISBN9780299048440[5]
Howorth, Sir Henry H. (1876) History of the Mongols: From the 9th to the 19th Century, Volume 1, reprinted (2008) Cosimo Inc., New York ISBN9781605201337
Ibn Khallikan (1843) Kitab wafayat ala'yan - Ibn Khallikan's Biographical Dictionary, transl. by Guillaume, Baron Mac-Guckin de Slane, Volume 2, Paris.[6]
Morray D.W. (1994) An Ayyubid Notable and His World: Ibn Al-ʻAdīm and Aleppo as Portrayed in His Biographical Dictionary of People Associated with the City, Brill. Leiden. ISBN9004099565ISBN9004099565
Nicholson, H (trans.) (1997) Chronicle of the Third Crusade: A Translation of the Itinerarium Peregrinorum Et Gesta Regis Ricardi, Ashgate, Farnham. ISBN0-7546-0581-7ISBN0-7546-0581-7
Nicholson, H and Nicolle, D (2006) God's Warriors: Knights Templar, Saracens and the Battle for Jerusalem, Osprey Publishing, Oxford. ISBN1846031435ISBN1846031435
Nováček, K., Amin, N.A.M. and Melčák, M. (2013) A Medieval City Within Assyrian Walls: The Continuity of the Town of Arbil in Northern Mesopotamia, Iraq, Vol 75, pp. 1–42, British Institute for the Study of Iraq, London. DOI: https://doi.org/10.1017/S0021088900000401[7]
Patton, D. (1988) Ibn al-Sāʿi's Account of the Last of the Zangids, Zeitschrift der Deutschen, Morgenländischen Gesellschaft, Vol. 138, No. 1, pp. 148–158, Harrassowitz Verlag Stable URL: https://www.jstor.org/stable/43377738[8]
Stubbs, W. (ed.) (1864) Itinerarium Peregrinorum et Gesta Regis Ricardi (original text in Latin), Longman, Green, Longman, Roberts, and Green, London. Available at Gallica
Bezer, G.Öğün (2002). "KÖKBÖRİ". TDV Encyclopedia of Islam, Vol. 26 (Ki̇li̇ – Kütahya) (dalam bahasa Turkish). Istanbul: Turkiye Diyanet Foundation, Centre for Islamic Studies. hlm. 234-235. ISBN978-975-389-406-7.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)