Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Kedudukan hukum di Mahkamah Konstitusi

Agar dapat mengajukan suatu permohonan di Mahkamah Konstitusi, pemohon harus memiliki kedudukan hukum (bahasa Inggris: legal standing, bahasa Latin: locus standi). Harjono mendefinisikan kedudukan hukum sebagai suatu keadaan ketika seseorang atau suatu pihak dianggap memenuhi syarat, sehingga pihak tersebut memiliki hak untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.[1]

Sesuai dengan Pasal 51 UU 24/2003, Mahkamah Konstitusi telah merumuskan beberapa persyaratan agar seseorang dapat dianggap memiliki kedudukan hukum. Pertama-tama mereka harus memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum.[2] Beberapa subjek yang diberikan locus standi oleh Mahkamah Konstitusi adalah:[2]

  1. Perorangan warga negara
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat
  3. Badan hukum publik/privat
  4. Lembaga negara

Persyaratan kedua berkaitan dengan anggapan bahwa hak dan wewenang konstitusional pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang.[2] Untuk memenuhi persyaratan ini, beberapa hal yang harus dipenuhi adalah:[2]

  1. Keberadaan hak/wewenang konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945
  2. Hak/wewenang konstitusional pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang dipermasalahkan
  3. Kerugian tersebut harus bersifat khusus dan aktual atau paling tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi
  4. Harus ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dengan undang-undang yang dipermasalahkan
  5. Terdapat kemungkinan bahwa jika permohonan dikabulkan, kerugian yang menimpa pemohon tidak lagi terjadi

Jika pemohon didapati tidak memiliki locus standi, maka Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa permohonan mereka tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).[1]

Referensi

  1. ^ a b Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2008), hlm. 176
  2. ^ a b c d Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2006), hlm. 43-44
Kembali kehalaman sebelumnya