Kesepakatan HelsinkiKesepakatan Helsinki atau MoU Helsinki adalah sebutan yang umum dipakai di Indonesia merujuk pada nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.[1][2][3] Kesepakatan ini merupakan pernyataan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Kesepakatan Helsinki memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.[4] Kata MoU dalam nama lain yang dikenal dari kesepakatan ini merupakan singkatan dari memorandum of understanding (nota kesepahaman). IsiKesepakatan Helsinki terdiri dari empat bagian:[4]
Terdapat 71 butir pasal dalam Kesepakatan Helsinki. Di antaranya, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RepublikIndonesia sesuai dengan Konstitusi.[4] ProsesKesepakatan Helsinki tercapai melalui perundingan yang berlangsung lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005. Putaran pertama berlangsung dari 27 hingga 29 Januari 2005, putaran kedua dari 21 Februari 2005 hingga 23 Februari 2005, putaran ketiga dari 12 April 2005 hingga 14 April 2005, putaran keempat dari 26 Mei 2005 hingga 31 Mei 2005, putaran kelima dari 12 Juli 2005 hingga 17 Juli 2005 dan penandatanganan kesepakatan pada 15 Agustus 2005. Delegasi Indonesia pada perundingan tersebut terdiri dari Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah dan I Gusti Wesaka Pudja. Sedangkan tim perunding GAM terdiri dari Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdurrahman dan Bachtiar Abdullah. Fasilitator perundingan adalah Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, dibantu oleh Juha Christensen.[5] Naskah asli Kesepakatan Helsinki terdiri dari tiga rangkap, ditandatangani oleh Hamid Awaluddin selaku Menteri Hukum dan HAM atas nama Pemerintah Republik Indonesia, Malik Mahmud, selaku pimpinan tim perunding GAM dan Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative selaku fasilitator proses negosiasi. KesudahanSetelah 14 tahun Kesepakatan Helsinki, belum keseluruhan pasal di dalamnya telah terealisasi. Di antaranya, poin 1.4.5 yang menyatakan semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.[6] Buku tentang Kesepakatan HelsinkiPara pelaku utama perundingan Helsinki telah banyak mengisahkan proses tercapainya Kesepakatan Helsinki dalam bentuk buku, baik berupa tulisan sendiri maupun dituliskan oleh orang lain. Peran Martti Ahtisaari sebagai fasilitator perundingan ditulis oleh Katri Merikallio dalam buku berjudul Making Peace: Ahtisaari and Aceh (2006).[7] Farid Husain menulis buku To See the Unseen, Kisah di Balik Damai di Aceh (2007).[8] Peran Wakil Presiden Jusuf Kalla diceritakan dalam buku Kalla dan Perdamaian Aceh oleh Fachry Ali, Suharso Monoarfa dan Bahtiar Effendy (2008).[9] Hamid Awaluddin menulis Damai di Aceh : Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki (2007).[10] Referensi
|