Kesultanan Aceh Darussalam (bahasa Aceh: Acèh Darussalam; Jawoë: كاورجاون اچيه دارالسلام) merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496–1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[3] menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[4]
Tentara Aceh (kiri) bertempur melawan orang Portugis.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795–1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857–1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, di mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[7]
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[8]
Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar pada masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.[9]
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[10]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[11]
Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya
Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[12]
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088–1098 H = 1678–1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[13] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.[14]
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[15]
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
— Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[16] Di akhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan akik yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.[17] Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.[6]
Kebudayaan
Arsitektur
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]
Kesusasteraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[15]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606–1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan RisalahMasailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[12]
Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.[18] Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[19]
^20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980. hlm. 376–377.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104.
^ abHasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 130 – 133.
^Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
^El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42.
Henry the NavigatorAdipati Viseu, Infante PortugalHenrique sang Navigator.[1]Adipati of ViseuKedudukan tetap1394–1460PenerusFernando IInformasi pribadiKelahiran(1394-03-04)4 Maret 1394Porto, Kerajaan PortugalKematian13 November 1460(1460-11-13) (umur 66)Sagres, Kingdom of the AlgarvePemakamanMonastero BatalhaWangsaWangsa AvizAyahJohn I dari PortugalIbuPhilippa dari LancasterAgamaGereja Katolik RomaPekerjaanPenjelajah dan Deking Henrique sang Navigator (4 Maret 1394 –…
Badan Pengelola Keuangan Haji BPKHGambaran umumSingkatanBPKHDidirikan26 Juli 2017; 6 tahun lalu (2017-07-26)Dasar hukum pendirianUndang-Undang Nomor 34 Tahun 2014Sifatbersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri AgamaLembaga sebelumnyaBadan Pengelola Dana Abadi UmatStrukturKetua Dewan PengawasFirmansyah N. Nazaroedin[1]Anggota Dewan Pengawas Deni Suardini (anggota, unsur masyarakat); Heru Muara Sidik (anggota, unsur masyarakat); Dawud Arif Khan (anggota, un…
Tartu CountyCounty di Estonia BenderaLambang kebesaranCountryEstoniaCapitalTartuPemerintahan • GovernorEsta TammLuas • Total2.993 km2 (1,156 sq mi)Populasi (Jan 2009[1]) • Total149.605 • Kepadatan50/km2 (130/sq mi)Kode ISO 3166EE-74 County Tartu (Esti: Tartu maakondcode: et is deprecated ), atau Tartumaa (Jerman: Kreis Dorpatcode: de is deprecated ) merupakan sebuah county di Estonia yang memiliki luas wilayah 2.993…
Drymonema Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Cnidaria Subfilum: Medusozoa Kelas: Scyphozoa Ordo: Semaeostomeae Famili: Cyaneidae Genera Cyanea Desmonema Cyaneidae adalah sebuah famili ubur-ubur sejati dari ordo Semaeostomeae, kelas Scyphozoa. Ada sekitar 20 spesies dalam familia ini, termasuk yang paling terkenal, surai singa. Spesies Sebagaimana didefinisikan secara tradisional familia ini juga meliputi genus Drymonema, tetapi kemudian ada yang memindahkan genus ini ke familia terpisa…
Extinct Indo-European language of central Anatolia PhrygianRegionCentral Anatolia (now Turkey)ExtinctAfter the 5th century CELanguage familyIndo-European (?) Graeco-Phrygian[1][2][3]PhrygianWriting systemPhrygian alphabetGreek alphabetLanguage codesISO 639-3xpgLinguist ListxpgGlottologphry1239This article contains IPA phonetic symbols. Without proper rendering support, you may see question marks, boxes, or other symbols instead of Unicode characters. For an introductory g…
PT Bank KB Bukopin SyariahJenisPrivatIndustriPerbankan SyariahDidirikanJakarta, Indonesia (1990)KantorpusatJakarta, IndonesiaTokohkunciDery Januar (Presiden Direktur)IndukBank KB BukopinSitus webkbbukopinsyariah.com Logo Bank Syariah Bukopin (2008-2021) Bank KB Bukopin Syariah (dahulu: Bank Syariah Bukopin) adalah lembaga keuangan yang berjenis Jasa Keuangan Perbankan. Sebagai salah satu bank nasional di Indonesia, sejarah Perseroan dimulai pada 1990 dengan meleburnya 2 (dua) bank pasar, yakni B…
Сечевые стрельцыукр. Січові Cтрільці Годы существования 1914—1919 Страна УНР Входит в Армию Украинской Народной Республики Численность до 25 000 Участие в Советско-украинская война[d] Командиры Известные командиры Коновалец, Евгений Михайлович Медиафайлы на Викискладе …
Political convention 1904 Republican National Convention1904 presidential election Nominees Roosevelt and FairbanksConventionDate(s)June 21–23, 1904CityChicago, IllinoisVenueChicago ColiseumChairJoseph G. CannonCandidatesPresidential nomineeTheodore Roosevelt of New YorkVice presidential nomineeCharles W. Fairbanks of IndianaOther candidatesMark HannaVotingTotal delegates994Votes needed for nomination498Results (president)Theodore Roosevelt (NY): 994 (100%)Ballots1‹ 1900 · 19…
Hatt-i Humayun yang berisi perintah dari Sultan Abdulmecid Hatt-i humayun dapat diartikan sebagai tulisan tangan yang berisi perintah,[1] biasanya tulisan ini ditulis secara langsung oleh Sultan di kesultanan utsmaniyah[2] namun dapat juga ditulis oleh penasihat/ juru tulis istana dan diberi catatan atau tanda tangan di atas materai sebagai bentuk perintah yang sah dan tidak dapat dibatalkan.[3][4] Deskripsi Pada umumnya hatt-i humayun memiliki ciri khas tulisan y…
ДостопримечательностьСтароакадемический корпусСтароакадемічний корпус 50°27′56″ с. ш. 30°31′13″ в. д.HGЯO Страна Украина Киев ул. Григория Сковороды, 2 Автор проекта Иоганн-Готфрид Шедель, Андрей Иванович Меленский, Павел Иванович Спарро Архитектор Шедель, Готфр…
1890s Australian laws removing mixed-race Aboriginal children from their families Images of Aboriginal people from a 1914 student textbook. Half-Caste Act was the common name given to Acts of Parliament passed in Victoria (Aboriginal Protection Act 1886) and Western Australia (Aborigines Protection Act 1886) in 1886.[1] They became the model for legislation to control Aboriginal people throughout Australia - Queensland's Aboriginals Protection and Restriction of the Sale of Opium Act 189…
Kansas Air National GuardShield of the Kansas Air National GuardActive17 January 1947 - presentCountry United States of AmericaAllegiance United States of America KansasBranch United States Air ForceRoleTo meet state and federal mission responsibilities.Part of Air National GuardKansas National GuardGarrison/HQNickell Memorial Armory, 2722 SW Topeka Blvd Topeka, Kansas, 66611CommandersCivilian leadershipPresident Joe Biden(Commander-in-Chief)Frank Kendall III(Secretary o…
Tokyu Corporation東急株式会社 Création 2 septembre 1922[1] Fondateurs Keita Gotō Forme juridique Kabushiki gaisha Action Bourse de Tokyo (9005)[2] Siège social 5-6 Nanpeidai-chō, Shibuya-ku, Tokyo 150-8511 Japon Activité Holding Filiales Izukyu Holdings (d)Tokyu Hotels (d)[3]Mauna Lani Bay Hotel & Bungalows (d)Réseau ferré de la Tōkyū (d)Tokyu Bus (d)[4]Tokyu Department Store (en)Tokyu Store (d)Tokyu Lifia (d)[5] Site web www.tokyu.co.jp Chiffre d'affaires 931,3 millions&…
Fandom beralih ke halaman ini. Untuk situs web yang menyerupai Wikipedia, lihat Fandom (situs web).Cosplayer berpakaian layaknya Katniss Everdeen pada Montreal Comiccon, Juli 2015 Sebuah kepenggemaran (Inggris: fandom) adalah subkultur yang terdiri dari sekelompok penggemar yang ditandai oleh perasaan empati dan persahabatan terhadap orang lain yang memiliki minat yang sama. Penggemar biasanya tertarik bahkan pada rincian kecil dari objek yang mereka gemari serta menghabiskan sebagian besar …
Formula One motor race held in 2001 2001 Monaco Grand Prix Race 7 of 17 in the 2001 Formula One World Championship← Previous raceNext race → Race details[1][2]Date 27 May 2001Official name Grand Prix de Monaco 2001Location Circuit de Monaco, La Condamine and Monte-Carlo, MonacoCourse Street circuitCourse length 3.370 km (2.094 miles)Distance 78 laps, 262.860 km (163.334 miles)Weather Warm and Sunny, Air Temp: 23 °C (73 °F), Track 36 to 39 …
George Sabraجورج صبرة Presiden Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah dan Pasukan OposisiPetahanaMulai menjabat 22 April 2013Perdana MenteriGhassan HittoPendahuluMoaz al-KhatibPenggantiPetahana Informasi pribadiLahir11 Juli 1947 (umur 76)Qatana, SuriahAlma materUniversitas DamaskusUniversitas Indiana, BloomingtonSunting kotak info • L • B George Sabra (Arab: جورج صبرة, lahir 11 Juli 1947) adalah presiden terpilih Dewan Nasional Suriah, kelompok oposisi …
Persian writer Fazlallah AstarabadiPersonalBorn1339 or 40Astarabad (present-day Gorgan)Died1394 (aged 53-55)NakhchivanReligionIslamDenominationTwelver ShīʿāMovementHurufismMain interest(s)Sufism Fażlu l-Lāh Astar-Ābādī (Persian: فضلالله استرآبادی, 1339/40 in Astarābād – 1394 in Nakhchivan), also known as Fażlullāh Tabrīzī Astarābādī[1][2] by a pseudonym al-Ḥurūfī[1] and a pen name Nāimī, was an Iranian mystic who founded the Ḥ…
Office skyscraper in Manhattan, New York 399 Park Avenue399 Park Avenue from the ground; 601 Lexington Avenue is at right.General informationStatusCompletedTypeOfficeCoordinates40°45′33″N 73°58′18″W / 40.759184°N 73.971763°W / 40.759184; -73.971763Completed1961OwnerBoston PropertiesHeightRoof524 ft (159.7 m)Top floor470 ft (143 m)Technical detailsFloor count41Floor area1,700,000 square feet (160,000 m2)Design and constructionArchitect(s)Carson & Lundi…
United States destroyer tender For other ships with the same name, see USS Bridgeport. USS Bridgeport (Id. No. 3009) at New York on 1 October 1917. She was originally the German liner SS Breslau. History Germany NameSS Breslau NamesakeBreslau, Germany (today Wrocław, Poland) OwnerNorth German Lloyd Builder Bremer Vulkan Vegesack, Germany Laid down1901 Launched14 August 1901[1] Maiden voyage23 November 1901 to New York[1] Route Bremen–Baltimore, April 1902 Bremen–Baltimore–…