Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Mangrove Bintuni adalah hutan bakau seluas 225.367 hektar atau 52 persen dari total keseluruhan hutan bakau di Papua Barat. Menurut Kepala Dinas Pariwisata setempat, hutan mangrove terluas di Papua Barat berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni.[1] Bahkan, mangrove Bintuni ditetapkan menjadi tempat tumbuh bakau terbaik di dunia setelah Raja Ampat. Hutan mangrove Bintuni mencakup 10 persen dari luas hutan mangrove di Indonesia. Kekayaan mangrove Bintuni memungkinkan penduduk sekitar mengembangkan komoditas perikanan, seperti udang dan kepiting.
Pada 1980, World Wild Foundation atau WWF mengusulkan hutan mangrove di Teluk Bintumi masuk dalam cagar alam. Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Konservasi Internaional (CI), untuk pengembangan cagar alam, Teluk Bintuni masuk dalam kawasan strategis nasional, setelah Raja Ampat. Salah satu program pemerintah daerah setempat adalah peningkatan pembangunan berbasis konservasi. Alasan peningkatan pembangunan berbasis konservasi dikarenakan mangrove dinilai penting bagi perdagangan karbon.
Kabupaten Teluk Bintuni sendiri merupakan satu dari dari empat daerah di Papua yang akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK. Tiga daerah lain adalah Raja Ampat, Sorong, dan Merauke. Untuk mencapai Teluk Bintuni, wisatawan yang menempuh jalur laut bisa naik perahu dan bersandar di Distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni. Sejauh mata memandang, kapal dan hutan mangrove menjadi pemandangan yang menghiasi tepian perairan.[2]
Hutan mangrove sering juga disebut hutan bakau. Meskipun demikian, secara ilmiah istilah hutan bakau kurang tepat karena bakau hanyalah nama lokal dari marga rhizophora, karena orang sering mengenali dengan keberadaan spesies bakau yang dominan. Sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai, yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada surut. Komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Degradasi
Saat ini, keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni, sedang mendapat tekanan dan terancam oleh aktifitas perusahaan-perusahaan pembalakan kayu dan perusahaan tambang minyak dan gas. Aktivis lingkungan hidup di Kabupaten Teluk Bintuni, Yohanes Akwan, mengatakan, sejak tahun 2002, kawasan hutan mangrove di Teluk Bintuni mengalami perubahan. Saat ini, hutan semakin terbuka dan terdegradasi (rusak). Hal ini dikarenakan kebijakan pembangunan pemerintah daerah, aktivitas perusahaan dan perkembangan penduduk. Padahal, hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan manusia dan biota laut.
Harapan Yohanes Akwan adalah adanya langkah-langkah pencegahan laju deforestasi dan degradasi mangrove Bintuni oleh Bupati Teluk Bintuni dan instansi teknisnya. Kesadaran bersama antara pemerintah, masyarakat dan para pihak terkait juga dapat mengembangkan kebijakan dan program edukasi untuk melindungi hutan mangrove yang tersisa di Teluk Bintuni. Masyarakat Teluk Bintuni diharapkan keterlibatannya untuk melestarikan hutan mangrove yang adalah aset bagi pembangunan manusia dan lingkungan.[3]
Kemanfaatan
Sudah sejak lama masyarakat adat dipesisir pantai Teluk Bintuni hidup dari hutan mangrove yang mempunyai manfaat ekonomi dan ekologi, seperti mencegah erosi pantai, tempat hidup biota laut, seperti kepiting, udang, ikan, kerang, ulat tambelo, yang bermanfaat menunjang mata pencaharian masyarakat.
Kusmana melalui penelitiannya di kawasan mangrove Teluk Bintuni mengemukakan manfaat tanaman dari hutan mangrove antara lain: Avicennia Marina (nama lokal pai), daunnya buat sayur dan makanan koloni kumbang penghasil madu, berpotensi sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci; Avicennia Gymnorrihiza (nama lokal sarau) kayunya bermanfaat buat arang bakar, kulitnya menambah rasa sedap ikan bakar; Bruguiera Sexangula (nama lokal sarau, daunnya mengandung alkaholid dapat mengobati tumor kulit, akarnya untuk menyan, buahnya untuk campuran obat cuci mata; Ceriops Tagal (nama lokal parum), bermanfaat sebagai bahan pewarna dan pengawet jala-jala ikan dan untuk industri batik, kayunya untuk industri kayu lapis dan kulit batang untuk obat.[1]