Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya.
[1] Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan filsuf tentu memiliki pandangan yang berbeda.[1] Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antarkeberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya.
Mengingat jangkauan kajian yang dipusatkannya, metafisika menjadi sebuah disiplin yang fundamental dalam kajian filsafat. Sepanjang sejarah kefilsafatan, metafisika menjangkau problem-problem klasik dalam filsafat teoretis. Umumnya kajian metafisika menjadi "batu pijakan" atas struktur gagasan kefilsafatan dan prinsip-prinsip yang lebih kompleks untuk menjelaskan problem lainnya. Sehingga, dalam pemahaman metafisika klasik, metafisika membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang jawaban-jawaban atasnya dapat digunakan menjadi dasar bagi pertanyaan yang lebih kompleks.[butuh rujukan] Misalnya: adakah maksud utama dalam beradanya dunia ini? Lalu apakah keberadaannya sebatas keberadaan yang "mengada" atau dependen terhadap keberadaan lainnya?; Apakah tuhan/tuhan-tuhan ada? Lalu, jika ada, apa saja hal-hal yang bisa manusia tahu/tidak tahu tentangnya?; Benarkah terdapat hal semacam intellectus, terutama dalam pembahasan mengenai pembedaan antara problem pemisahan entitas jiwa–badan?; Apakah jiwa sesuatu yang nyata, dan apakah ia berkehendak bebas?; Apakah segalanya tetap atau berubah? Apakah terdapat hal atau relasi yang selalu bersifat tetap yang bekerja dalam berbagai fenomena?; dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sejenis.
Objek bahasan metafisika bukan semata-mata hal-hal empiri atau hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengamatan individual, melainkan hal-hal atau aspek-aspek yang menjadi dasar realitas itu sendiri. Klaim-klaim atas metode dan objek kajian metafisika telah menjadi problem perenial kefilsafatan.
Pembahasan mengenai metafisika memiliki berbagai subbahasan. Misalnya pembahasan sentral metafisika adalah ontologi, yaitu proses analitis dan penggalian klasifikasi berdasarkan prinsip-prinsip kategori keberadaan dan relasi di antaranya. Bahasan sentral lainnya adalah kosmologi metafisik, yaitu kajian mendalam atas prinsip keberadaan dunia, realitas, asal mula, dan makna keberadaan atasnya.
Sejarah Konsep
Kata "metafisika" dicatat dari set karya Aristoteles yang terdiri dari 14 kelompok karya tentang problem-problem filosofis. Pada mulanya tidak terdapat nama untuk merujuk kajian kefilsafatan ini, hingga Andronikus dari Rodesia menyusun karya-karya filsafat Aristotelian dengan delapan buku di luar label "Fisika" dinamai τὰ μετὰ τὰ φυσικά βιβλία (tà metà tà Physika biblia; buku/karya (yang adalah) setelah/disamping Φυσικὴ ἀκρόασις (Phusike akroasis)).[butuh rujukan] Sehingga timbul istilah "Metafisika" yang, secara turun temurun berbelok maknanya dan dimengerti sebagai "sesuatu/ilmu di balik fisika/kulit terluar (yang menutupi sesuatu)".
Terdapat berbagai pemahaman atas maksud kata Metafisika sebenarnya dan menjadi problem bagi para filsuf dan sejarawan hingga saat ini. Sehingga makna sebenarnya masih belum jelas, mengingat Arisoteles pun tidak menggunakan istilah tersebut untuk menamai teori-teori metafisikanya.[2] Kata "Metafisika" tidak pernah—pun jika pernah ada di masa Aristotelian—dipakai oleh Aristoteles sendiri, melainkan sering kali ia rujuk sebagai "filsafat awal".[butuh rujukan]
Akan tetapi, para cendekiawan dan komentator mulai mempertanyakan dan mencari arti intrinsik di balik kepantasan atas kesesuaian nama yang diberikannya. Kegiatan beberapa cendekiawan abad ke-20 turut mengarahkan arti alternatif atas metafisika itu sendiri. Pemahaman-pemahaman abad Renaisans melahirkan ide-ide baru seperti ‘meta-bahasa’ atau ‘penyangga korpus kefilsafatan’ dan membuat metafisika dipahami sebagai "ilmu atas dunia di luar physis (φύσις, biasanya diterjemahkan sebagai 'alam')."[3] Kajian physis yang dimaksud umumnya berkenaan dengan hal-hal yang melampaui hal-hal keduniaan yang, secara umum, dapat dipahami sebagai ilmu atas hal-hal imaterial (seperti alam kajian Newton, Einstein, atau Heisenberg). Lain halnya dengan Thomas Aquinas yang merujuk metafisika sebagai ilmu tinggi dari urutan kronologi atau pedagogi tahap studi filsafat. Sehingga ilmu metafisika dipahami sebagai "hal yang dipelajari setelah menguasai ilmu-ilmu yang berurusan dengan hal-hal fisik."[4] Akan tetapi, dari semua konsepsi yang telah disebutkan, tidak ada suatu definisi yang disepakati di lintas ilmu kefilsafatan. Dalam karya Aristoteles, bagian karya yang disebut pasca-Fisika tersebut menggambarkan hal yang "tidak mengalami perubahan."
Sejak abad pascaklasik dan abad pertengahan, studi metafisika telah disebut sebagai disiplin filsafat yang berdiri sendiri. Pada abad pertengahan, studi metafisika diberi nama ἐποπτεία (epopteía; melihat, mencerap, memahami).[2] Di sisi lain, kata sifat metafisis, terutama pada abad-abad pencerahan dan abad XIX, biasanya digunakan sebagai julukan dan kata populer untuk menamai sesuatu hal sebagai hal yang "berbau spekulasi", "tidak ilmiah", "totalitarian", atau "pemahaman tidak empiris".
Penolakan terhadap metafisika
Dalam perkembangannya, terma dan ide mengenai metafisika terus menerus berubah. Beberapa pemikir memulai diskursus dan tanda-tanda kematian-kematian metafisika dengan penolakan dan pembuktian atas kesia-siaan dan ketidakterjangkauannya. David Hume, misalnya, secara keras menyatakan bahwa pengetahuan sejati (genuine knowledge) dibentuk tak lain selain fakta dan rerangkai matematis. Sehingga, terlepas dari keduanya, pengetahuan tersebut salah dan tidak menyatakan realitas.[5] Di lain hal, Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason menyatakan bahwa, tidak seperti Hume yang menolak mentah-mentah pengetahuan selain hal yang empiris dan terukur, terdapat suatu lokus pengetahuan yang disebut sintetis a priori.[6] Menurut Kant, terdapat suatu pengetahuan sejati yang terdiri atas fakta-fakta pengetahuan yang independen, lepas dari pengalaman empiris seperti pengetahuan atas ruang, waktu, dan kausalitas. Klaim Hume pun ditolak dengan pemahaman Kantian bahwa terdapat sesuatu hal yang lepas dari keterjangkauan manusia yang sepenuhnya independen dan asali, sehingga klaim Hume gagal untuk memahami adanya noumenon, esensi yang "ada dalam dirinya sendiri" (an Sich).
Kemudian, penolakan selanjutnya diutarakan oleh pengusung verifikasionisme seperti A. J. Ayer dan Rudolf Carnap. Menimbang pernyataan Hume, menurut verifikasionisme, pernyataan metafisis bukan bernilai benar atau salah, melainkan tak bermakna. Karena suatu hal akan bermakna jika hal tersebut terdapat bukti empiris yang dapat dijangkau dan korespondensi ide dengan realitas.[7]
Perdebatan mengenai status kajian metafisis sebagai bidang ilmu menunjukkan ketiadaannya kesatuan internal dalam pemahaman definitif maupun kontekstual. Akan tetapi argumen mengenai hakikat keberadaan metafisika sebagai bahan kajian tak lepas dari statusnya sebagai bidang ilmu.[butuh rujukan] Mungkin saja tak ada hal semacam metafisika—sebagai bidang studi. Atau mungkin, seperti kebanyakan filsuf, pernyataan metafisis tak bernilai salah ataupun benar. Atau sebaliknya, teori metafisis memiliki nilai kebenaran, akan tetapi tak dapat terjangkau oleh lemahnya manusia. Hal-hal tersebut adalah pernyataan-pernyataan umum atas keberadaan metafisika.
Dasar-dasar
Topik bahasan metafisika
Tujuan utama kajian metafisika adalah pemahaman mengenai struktur dasar dan prinsip-prinsip realitas. Dengan pemahaman dan pandangan filsafat yang beragam, pemahaman metafisika dapat menjadi sesuatu yang khusus, yang umumnya mencakup pembahasan yang kaya.
Sebagai permisalan, metafisika klasik umumnya terdiri dari pertanyaan dasar seperti:
Mengapa keberadaan berada, dan bukan suatu ketiadaan?[8](Seperti) apa realitas atas hal-hal yang "ada"—apa keberadaan dari yang "berada"?[9]
Sehingga, dari pembahasan tersebut, secara khusus metafisika klasik membahas topik seperti:[butuh rujukan]
Apa konsep fundamental dan prinsip-prinsip ontologi untuk menganalisis Ada dan ketiadaan; kehendak dan nirkehendak; realitas dan kemungkinan; kebebasan dan kebutuhan; jiwa dan badan; dan lainnya?
Konsep apa yang menyusun setiap ide dalam pemahaman yang digunakan untuk mengkaji konsep metafisika yang diacu? Apa yang membuat hal tersebut berhubungan dengan ide yang diacu, apa yang membuatnya sahih dan valid? Misalnya:
Apa relasi antara "yang partikular" dan "yang universal" (seperti warna merah (universal) dari sekelompok mawar-mawar merah (partikular))?
Apakah kemerdekaan eksistensi individual (partikular) benar-benar ada dalam komunitas publik (universal)?
Apakah angka-angka (partikular) benar-benar ada dalam jaring-jaring realitas (universal)?
Apakah argumen yang diacu normatif atau deskriptif, ungkapan nilai atau pernyataan atas keberadaan? Apa berelasi dengan pemahaman atau pemahaman religius tertentu? Apa yang membuatnya benar? Apa terdapat hal-hal yang bersifat moralitas (nilai, fakta)? Bagaimana argumen yang diacu berelasi dengan elemen-elemen realitas?
Sistematika dan metodologi
Metafisika tradisional umumnya dibedakan menjadi metafisika umum dan metafisika khusus, dengan metafisika umum membahas ontologi dan metafisika khusus meliputi kajian metafisika dalam ranah spesifik seperti teologi, psikologi dan kosmologi.
Metafisika umum mempertanyakan klasifikasi paling umum dan, karena hal tersebut, meafisika umum berarti kajian mengenai hal-hal fundamental. Metafisika umum berurusan dengan keberadaan, karakteristik, dan relasi di antara keduanya.
Teologi rasional mempertanyakan causa prima, sebab pertama atas segala sesuatu. Misalnya keberadaan tuhan sebagai hal maha tinggi dan dasar dari realitas.
Psikologi rasional atau antropologi metafisik berurusan dengan jiwa atau esensi (manusia) sebagai substansi.
Kosmologi rasional berurusan dengan sifat keberadaan dunia.
Pemahaman metafisis dapat dipahami dengan metodologi yang berbeda:
Adalah sebuah proses deduktif atau spekulatif. Konsep metafisika dapat berawal dari sebuah perandaian yang merepresentasi realitas secara holistik. Hal tersebut misalnya Tuhan, yang-Ada, Monad, der Weltgeist, atau konsep keberadaan spekulatif lainnya.
Adalah sebuah proses induktif. Konsep metafisika didesain sebagai upaya untuk memahami gambaran besar dari pemahaman-pemahaman yang lebih praktis.
Adalah, dapat juga, sebagai sebuah proses reduktif. Konsep metafisika dipahami hanya sebagai spekulasi hiperbolis atas pemahaman atau asumsi yang telah ada.
Beberapa konsep dalam metafisika
Ada
Ada merupakan konsep yang paling universal yang sedemikian rupa, sehingga tidak ada satu halpun yang berada di luar himpunan ada. Istilah ini merujuk pada hakikat atau jenis dari segala sesuatu. Sesuatu yang bereksistensi haruslah terlebih dahulu memiliki sifat ada, sebaliknya tidak semua yang ada merupakan sesuatu yang bereksistensi. Segala sesuatu yang ada, baik ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, bahkan ada dalam kemungkinan merupakan sesuatu yang berada, sehingga ketiadaan merupakan sesuatu tidak memiliki arti apa-apa. Sesuatu yang dikatakan tiada telah lebih dahulu dianggap sesuatu yang ada[10].
Eksistensi dan kesadaran
Eksistensi, sebagai salah satu sub-kajian ontologi, adalah suatu konsep yang aksiomatik—dasar pertama yang tak didasari oleh premis yang lebih sederhana/tak dapat direduksi menjadi premis yang lebih sederhana. Eksistensi tak dapat dilepaskan dari semua kajian pengetahuan dan tak dapat dikenai penolakan atasnya. Pembicaraan atas ketiadaan eksistensi, misalnya, adalah pembicaraan atas eksistensi itu sendiri. Premis eksistensi adalah ada (eksis) membuktikan bahwa konsep tersebut adalah aksioma yang menyatakan bahwa terdapat sesuatu/keberadaan, ketimbang ketiadaan.
Kesadaran, di lain hal, adalah kualitas dan kemampuan menerima dan mengidentifikasi keberadaan yang eksis—baik dirinya sendiri maupun di liar dirinya.[11] Dalam sejarah kefilsafatan dan keilmuan secara umum, kesadaran telah didefinisikan, diasosiasikan, dan dipahami sebagai ke-berakal-an, kesadaran, qualia, subjektivitas, kontrol eksekutif pada budi, dan terma lainnya.[11][12] Dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, kesadaran diabstraksi menjadi pengetahuan, introspeksi (dan segala pengetahuan yang diproduksi dari proses introspeksi itu sendiri, intensionalitas, dan pengalaman atas fenomena.[13]
Formulasi proposisi cartesian cogito ergo sum misalnya, membuktikan bahwa kesadaran adalah hal yang aksiomatik. Hal tersebut karena tidak seorangpun dapat menolak keberadaan pikirannya sendiri, dan di saat yang sama penolakan tersebut menggunakan kesadaran untuk menolak keberadaan pikirannya sendiri. Akan tetapi, Descartes tak mampu untuk menjelaskan dengan jelas mengenai apa itu kesadaran itu sendiri. Beberapa pemikir selanjutnya mendefinisikan konsepsi kesadaran sebagai perseptor atas hal yang ada, sehingga kesadaran memerlukan hal di luar dirinya untuk berfungsi. Sehingga, kesadaran diderivasi oleh/bergantung terhadap eksistensi.
Identitas
Konsep identitas adalah relasi tiap-tiap hal yang merujuk pada dirinya sendiri.[14] Dalam artian lain, identitas adalah suatu hal yang membuat sebuah entitas dapat dikenali dan diuraikan dengan set kualitas atau karakteristik yang membedakan dirinya dengan entitas lainnya. Sehingga, memiliki prinsip ketidakberbedaan ontologis Leibniz: jika x identik dengan y, maka segala kualitas yang dimiliki x juga dimiliki y.
Hukum identitas pertama Aristotelian menyatakan bahwa untuk mengada, sebuah eksisten mesti memiliki identitas unik. Sebuah eksisten tidak dapat disebut sebagai sebuah keberadaan tanpa mengada sebagai sesuatu. Konsep identitas penting karena menjelaskan bahwa realitas memiliki sifat yang berbatas, sehingga dimungkinkan untuk diketahui.
^Aquinas, Thomas; Schultz, Janice L.; Synan, Edward A.; Boethius (2001). An exposition of the On the hebdomads of Boethius : Expositio libri Boetii De ebdomadibus. Thomas Aquinas in Translation. V (original scripture). Catholic University of America Press.
^Pertanyaan ini merujuk pada Grundfrage der Metaphysik Heidegger, Martin (2000). Einführung in die Metaphysik, trans. Gregory Field & Richard Polt. Yale University Press.Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
^Dalam hal ini, kata "ada" dimaknai sebagai sesuatu yang mengada secara ontologis. Terdapat berbagai pemahaman atas Ada yang dirujuk dalam filsafat Heideggerian. Untuk lebih lengkap, lihat pula berbagai problem fundamental dalam fenomenologi. Lihat pula Klostermann, Vittorio (ed.). Heidegger Gesamtausgabe. …interpreted the ancient philosophy and understands the being of beings, the reality of the real, as a presence…that reality constituted of reality, the ideas [are] according to Plato himself the true reality.
^Kattsoff, Louis O (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. ISBN979-8120-01-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)