Nat (bahasa Burma: နတ်; MLCTS: nat; IPA: [naʔ]) merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada roh-roh yang dipuja di Burma (atau Myanmar) dalam hubungannya antara agama tradisional Burma dan Buddhisme. Mereka dikelompokkan menjadi dua, yaitu 37 Nat Agung dan roh-roh lainnya (seperti roh pepohonan, air, dan sebagainya). Hampir ke-37 Nat Agung awalnya merupakan manusia yang mengalami kematian yang mengenaskan {စိမ်းသေ, lit. "kematian hijau") sehingga disebut nat sein (နတ်စိမ်း; lit. roh-roh hijau). Kata sein, meskipun bermakna "hijau", dalam konteks ini digunakan dalam pengertian "mentah".
Dalam agama tradisional Burma, Nat dikelompokkan menjadi dua bagian: Nat rendah atau auk nats (အောက်နတ်), baik yang memiliki nama maupun yang tidak, dan Nat tinggi atau ahtet nats (အထက်နတ်), yaitu Dewa-dewa yang menempati keenam surga.[1] Meskipun menyerupai pemberian gelar kesucian, nat bisa diberikan untuk berbagai alasan, termasuk nat yang hanya dikenal pada suatu wilayah lokal di Burma. Pemujaan kepada Nat lebih umum dilakukan di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan, dan dilakukan di antara etnis minoritas maupun etnis mayoritas Bamar. Namun, bentuk upacara dan ritual yang dilakukan penganut agama Buddha Bamar jauh lebih berkembang.[2]
Setiap desa di Myanmar memiliki satu nat sin (နတ်စင်) yang digunakan sebagai kuil kecil bagi nat pelindung desa atau ywa saung nat (ရွာစောင့်နတ်). Sebuah persembahan berupa kelapa (နတ်အုန်းသီး) biasanya digantung pada tiang utama rumah bagian tenggara (ဥရူတိုင်), diberi gaung baung (hiasan kepala) dan parfum, sebagai persembahan kepada Min Mahagiri (Penguasa Gunung Besar). Min Mahagiri juga disebut sebagai ein dwin (အိမ်တွင်းနတ်) atau ein saung (အိမ်စောင့်နတ်) (pelindung rumah). Tiap orang bisa mewarisi sejumlah atau misalnya dua dari ke-37 Nat sebagai mi hsaing hpa hsaing (မိဆိုင်ဖဆိုင်; lit. dari sisi ibu, dari sisi ayah) dari salah satu atau kedua belah pihak orang tua untuk dipuja, tergantung dari mana keluarga mereka berasal. Seseorang juga memiliki roh pelindung yang disebut ko saung nat (ကိုယ်စောင့်နတ်).[3]
Pemujaan Nat dan Buddhisme
Pemujaan terhadap Nat sudah ada sebelum kedatangan Buddhisme di Burma. Dengan kedatangan Buddhisme, pemujaan Nat mengalami sinkretisasi dengan Buddhisme. Terdapat perdebatan di kalangan akademisi mengenai apakah Buddhisme di Burma dan pemujaan roh merupakan pemujaan terhadap entitas yang berbeda atau hanyalah dimensi yang berbeda dari satu entitas yang sama. Sebagian masyarakat Burma sendiri menganggapnya hanya sebagai takhayul dan meremehkan perannya dalam kehidupan sosial. Institusi 37 Nat yang dibentuk oleh Raja Anawrahta (1044-1077) dari Bagan pada periode selanjutnya dapat dipandang sebagai suatu proses Burmanisasi untuk meneguhkan supremasi Bamar di lembah Ayeyarwady, setelah penyatuan bangsa dan pendirian Kekaisaran Pertama Burma oleh sang raja.[2]
Pemujaan Nat dan ekologi
Di antara penduduk pedesaan di Burma memiliki kepercayaan bahwa terdapat roh-roh penjaga hutan yang disebut taw saung nat (တောစောင့်နတ်) serta roh-roh penjaga gunung yang disebut taung saung nat (တောင်စောင့်နတ်). Keduanya bertugas menjaga kerusakan lingkungan hingga batas tertentu. Pepohonan angker, terutama yang besar, dianggap sebagai tempat tinggal roh-roh pohon yang disebut yokkazo (ရုက္ခစိုး) sehingga menebang pohon tersebut dapat menyebabkan si pelaku menerima kemarahan dari Nat yang bersangkutan.[4]
Festival-festival terkenal
Tempat ziarah Nat yang paling penting di Burma adalah Gunung Popa, sebuah bekas volkano setinggi 1.300 meter di dekat Bagan, Burma tengah. Di atas gunung ini dibangun banyak kuil dan situs-situs relik. Festival tahunan diadakan pada saat bulan purnama di awal Natdaw (Desember) menurut penanggalan Burma.[5]
Taungbyone, di utara Mandalay, juga merupakan tempat utama yang festival tahunannya dimulai antara bulan baru dan purnama pada bulan kesebelas, termasuk bulan purnama pada bulan Wagaung (Agustus).[6] Festival Yadanagu di Amarapura, diadakan seminggu sebelumnya sebagai penghormatan kepada Popa Medaw ("Ibu Popa"), yaitu ibu dari Taungbyone Min Nyinaung ("Tuan Bersaudara"), juga merupakan salah satu festival Nat yang terkenal.[3]
Para Nat memiliki karakteristik, keinginan, serta kebutuhan selayaknya manusia. Mereka memiliki kekurangan, memiliki hasrat yang dianggap tidak pantas dan tidak bermoral dalam Buddhisme. Selama berlangsungnya nat pwè, yaitu festival untuk mendamaikan Nat, nat kadaw (နတ်ကတော် "pasangan-tuan",[7] yaitu "medium, shaman") mengalami kerasukan, menari dan menjadi perwujudan roh-roh Nat. Menurut sejarah, profesi nat kadaw diturunkan berdasarkan keturunan, yang diteruskan dari ibu ke putrinya. Hingga tahun 1980an, beberapa nat gadaw adalah pria dan jumlahnya semakin meningkat; yaitu para pria transvestit atau transgender.[7]Nat kadaw sebagai profesi resmi medium roh mulai muncul sekitar pertengahan abad ke-19.[2]
Musik bersama hsaing waing ("orkestra") memberi pengaruh terhadap suasana hati selama nat pwè, sehingga banyak yang mengalami kesurupan. Nat kun atau nat naan adalah orang-orang datang dari jauh untuk mengikuti festival pada berbagai kuil Nat. Mereka minum tuak nira dan menari mengikuti irama musik Hsaing waing, dan kerasukan roh-roh Nat.[5]
Nat pwè merupakan perayaan tahunan untuk salah satu dari 37 Nat yang dianggap sebagai roh pelindung suatu wilayah dalam suatu komunitas lokal. Tata ritual diperlihara secara turun-temurun dan pada masa lalu dibiayai oleh kerajaan, sehingga menyerupai ritual yang diadakan di istana. Terdapat pula nat kannah pwè, yaitu ritual yang dilakukan secara individu dengan mendirikan suatu paviliun di dekat rumahnya; ritual umumnya ditujukan kepada seluruh panteon Nat. Nat kannah sendiri dapat dipandang sebagai fenomena perkotaan yang berkembang untuk memuaskan kebutuhan orang-orang pedesaan yang berurbaniasi ke perkotaan serta masih memegang teguh tradisi (yo-ya) mereka, yaitu berdoa kepada roh pelindung mi hsaing hpa hsaing dari tanah asal mereka.[2]
Daftar resmi Nat
Raja Anawrahta of Bagan (1044–1077) menyusun panteon resmi 37 Nat setelah ia gagal melarang pemujaan Nat. Ia menyatukan kultus Nat ke dalam Buddhisme dengan menggambarkan mereka sedang memuja Gautama Buddha di Pagoda Shwezigon; serta memasukkan Śakra, sesosok makluk suci pelindung dalam Buddhisme, sebagai kepala dari panteon di atas Mahagiri, yaitu dengan nama Thagyamin.[5][8] Tujuh dari ke-37 Nat memiliki hubungan dengan masa kehidupan Anawrahta.[8] Panteon resmi didominasi oleh anggota keluarga kerajaan dalam Sejarah Myanmar, tetapi juga ada yang keturunan Thailand (Yun Bayin) dan Shan (Maung Po Tu). Semuanya ditampilkan mengenakan pakaian istana Burma. Berikut ini merupakan daftar ke-37 Nat menurut urutan resmi:
'King Mae Ku: From Lan Na Monarch to Burmese Nat', in: Forbes, Andrew, and Henley, David, Ancient Chiang Mai Volume 1. Chiang Mai, Cognoscenti Books, 2012.
Salek, Kira (May 2006). "Myanmar's River of Spirits". National Geographic Magazine. hlm. 136–157.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
U Kyaw Tun; et al. (2005-01-15). "Nat in My Classroom!". Tun Institute of Learning. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-03. Diakses tanggal 2006-07-03.