Oey Tamba Sia (1827 – 7 Oktober 1856), juga ditulis sebagai Oeij Tambah Sia atau Oey Tambahsia, dulu adalah seorang playboy kaya berlatar belakang Tionghoa-Indonesia yang akhirnya dihukum gantung oleh pemerintah Hindia Belanda, karena terlibat dalam sejumlah kasus pembunuhan di Batavia, ibu kota Hindia Belanda.[1][2][3] Kehidupannya kemudian menjadi bagian dari cerita rakyat Jakarta dan menginspirasi sejumlah karya sastra.[4][5]
Kehidupan
Lahir pada tahun 1827, Oey adalah anak dari Oey Thai Lo, yang juga dikenal sebagai Oey Thoa, seorang pebisnis tembakau asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang kemudian ditunjuk sebagai Letnan CinaKongsi Besar.[6][7] Jabatan tersebut memberinya otoritas politik dan hukum atas komunitas Cina di wilayah tersebut.[8] Sebagai anak dari seorang pejabat Cina, Oey Tamba pun menyandang gelar turunan Sia.[9]
Pada tahun 1838, saat Oey Tamba Sia masih berusia 15 tahun, Letnan Oey Thai Lo meninggal, sehingga anak-anaknya mendapat total warisan sekitar 2 juta gulden.[7][6] Cerita rakyat menyatakan bahwa, walaupun tampan dan modis, Oey adalah seorang pemuda yang arogan dan suka bermain wanita, serta diperparah dengan warisannya yang sangat banyak.[2][7][10] Oey lalu menikahi Sim Hong Nio.[2]
Penulis Phoa Kian Sioe menuduh Oey meremehkan para pejabat Cina di Batavia, yang merupakan teman dan kolega dari mendiang ayahnya di birokrasi Hindia Belanda.[2] Oey terutama berperilaku tidak sopan kepada Tan Eng Goan, Mayor Cina Batavia pertama, karena Tan bergantung pada dukungan keuangan dari ayah Oey.[2] Menurut Phoa, Oey menolak desakan dari Tan agar dirinya berperilaku sopan sesuai ajaran Konfusianisme. Oey juga menolak tawaran Tan yang berniat mengangkatnya menjadi letnan Cina.[2] Oey lalu bersaing ketat dengan menantu Tan, yakni Lim Soe Keng Sia.[2]
Oey kemudian memerintahkan pembunuhan Sutedjo, saudara dari gundiknya, Mas Adjeng Goendjing, yang ia salah duga sebagai kekasih dari gundiknya tersebut.[1][2][10] Oey juga mendalangi peracunan pelayannya, Oey Tjeng Kie, untuk memfitnah pesaingnya, Lim Soe Keng Sia.[1][2][10] Walaupun Lim awalnya ditahan, investigasi polisi dan pengadilan kemudian menyimpulkan bahwa Oey lah yang sebenarnya mendalangi dua pembunuhan tersebut.[1][2][10]
Landraad kemudian memvonis Oey Tamba Sia dengan hukuman gantung.[1][2] Keluarga Oey lalu mengajukan banding ke Raad van Justitie dan mengajukan pengampunan kepada Gubernur Jenderal, tetapi dua upaya tersebut ditolak.[2][10]
Pada sore hari tanggal 7 Oktober 1856, Oey Tamba Sia akhirnya dihukum gantung di halaman depan Stadhuis (kini menjadi Museum Sejarah Jakarta).[2][10]
Signifikansi budaya dan sastra
Kasus Oey Tamba Sia menghebohkan Batavia, karena kasus tersebut melibatkan tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas Cina di sana, termasuk Oey sendiri, pesaingnya Lim, dan mertua Lim, Mayor Tan Eng Goan.[10] Skandal tersebut juga menarik perhatian media internasional. Majalah L'Illustration asal Prancis bahkan menulis satu artikel panjang mengenai skandal tersebut pada tahun 1857.
Lebih lanjut, persaingan antara Oey dan Lim kemudian dilihat sebagai akibat dari kurangnya penerapan nilai-nilai Konfusianisme, sehingga mengemukakan perlunya penerapan kembali tatanan etika dan sosial sesuai ajaran Konfusianisme.[4] Skandal tersebut juga menginspirasi serangkaian cerita rakyat, puisi, dan novella di Hindia Belanda, sehingga kemudian menjadi bagian dari cerita rakyat Jakarta, serta menjadi memori kolektif bagi komunitas Tionghoa-Indonesia.[4]
Pada tahun 1903, Thio Tjin Boen menerbitkan Tambahsia: Soewatoe tjerita jang betoel soedah kedjadian di Betawi antara tahoen 1851-1856, didasarkan pada kehidupan Oey.[11] Tidak lama kemudian, pada tahun 1906, Tjoa Boan Soeij menerbitkan sebuah syair dengan judul Sair swatoe tjeritajang betoel soeda kedjadian di Tanah Betawi dari halnja Oeij Tambah Sia, tatkalah Sri Padoeka toean besar Duymaer van Twist mendjabat Gouverneur General koetika tahoen 1851.[12] Pada tahun 1922, Tjoa menerbitkan karya lain yang didasarkan pada kehidupan Oey dengan judul Tambah Sia.
Pada tahun 1956, sejarawan dan penulis Phoa Kian Sioe menerbitkan Sedjarahnja Souw Beng Kong (tangan-kanannja G.G. Jan Pieterszoon Coen), Phoa Beng Gan (achli pengairan dalam tahun 1648), Oey Tamba Sia (hartawan mati ditiang penggantungan), sebuah koleksi anekdot historis mengenai komunitas Cina di Jakarta.[2][4]
Pada tahun 2013, kehidupan Oey juga menginspirasi sebagian dari musikal 'Ariah' karya Atilah Soeryadjaya.[13]