Pembantaian Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Dili) adalah sebuah tragedi berdarah penembakan massal terhadap demonstran pro-kemerdekaan yang mengakibatkan sedikitnya 271 orang meninggal dunia pada tanggal 12 November 1991 di pemakaman Santa Cruz, Kotif Dili, Provinsi Timor Timur.[1] Peristiwa ini merupakan rentetan pelanggaran HAM berat masa pendudukan Indonesia di Timor Timor dan merupakan bagian dari genosida Timor Timur.[2]
Latar belakang
Pada bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari anggota parlemen Portugal dan 12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi Timor Timur. Para mahasiswa telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini. Namun rencana ini dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan yang berusaha mengangkat isu-isu perjuangan di Timor Timur. Kekecewaan ini menyebabkan situasi memanas antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa. Puncaknya pada tanggal 28 Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili. Pada akhirnya, Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastião Gomes ditembak mati oleh tentara ABRI.
Pembantaian
Saat tentara Indonesia berhadap-hadapan dengan pengunjuk rasa, beberapa demonstran dan seorang mayor, Geerhan Lantara, ditusuk.[3] Stahl mengklaim Lantara menyerang pengunjuk rasa, termasuk seorang anak perempuan yang mengibarkan bendera Timor Leste. Aktivis FRETILIN, Constâncio Pinto, mengatakan beberapa orang mengaku dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia.[4][5] Saat iring-iringan warga mulai memasuki areal TPU, beberapa orang terus berunjuk rasa di depan pagar dan 200 tentara dikerahkan sambil menenteng senjata ke arah kerumunan.[6] Di dalam TPU Seroja, tentara melepaskan tembakan ke arah ratusan warga sipil tak bersenjata. Sedikitnya 250 warga Timor Timur tewas dalam peristiwa ini.[7] Salah satu korban jiwa adalah warga negara Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang mahasiswa ilmu politik dan aktivis hak asasi manusia yang kuliah di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn, dan direkam oleh Max Stahl yang diam-diam membuat liputan untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Saat Stahl sedang merekam, Goodman dan Nairn mencoba "melindungi warga Timor Timor" dengan berdiri di antara mereka dan tentara Indonesia. Beberapa tentara mulai memukuli Goodman. Nairn juga dipukuli dengan senapan saat mencoba melindungi Goodman; tengkoraknya retak.[8][9] Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada Saskia Kouwenberg, wartawan Belanda, untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video ini ditayangkan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor[10] di ITV di Britania pada Januari 1992. Videonya juga tayang di beberapa dokumenter terkini. Rekaman Stahl, ditambah kesaksian Nairn, Goodman, dan rekan-rekan sejawatnya, memicu respons keras di seluruh dunia.[11] Program In Cold Blood: The Massacre of East Timor mendapat anugerah Amnesty International UK Media Awards pada tahun 1992.[12][13]
Pemerintah Indonesia mengklaim insiden ini reaksi spontan atas kekerasan oleh pengunjuk rasa atau "kesalahpahaman" semata.[14] Sejumlah pihak membantahnya dengan dua alasan utama: tentara Indonesia berkali-kali terbukti melakukan kekerasan massal di berbagai tempat seperti Quelicai, Lacluta, dan Kraras,[15] lalu politikus dan perwira Indonesia selalu mengeluarkan pernyataan yang membenarkan tindak kekerasan ABRI. Dua hari setelah peristiwa ini, Try Sutrisno, Panglima ABRI, mengatakan, "Tentara tidak bisa diremehkan. Pada akhirnya kami harus menembak mereka. Perusuh seperti ini harus ditembak, dan mereka pasti kami tembak."[16]
Buntut
Aktivis di seluruh dunia menyatakan sikap solidaritasnya dengan rakyat Timor Timur. Meski beberapa orang dan organisasi sudah memperjuangkan HAM dan penentuan nasib sendiri sejak awal pendudukan Timor Timur, aktivitas mereka mulai intens usai pembantaian 1991.[17] TAPOL, organisasi aktivis demokrasi Indonesia yang dibentuk tahun 1973 di Inggris, mulai memusatkan aktivitasnya di Timor Timur. East Timor Action Network dibentuk di Amerika Serikat dan langsung membuka cabang di sepuluh kota.[18] Organisasi solidaritas serupa didirikan di Portugal, Australia, Jepang, Jerman, Malaysia, Irlandia, dan Brasil.
Rekaman pembantaian ini ditayangkan di seluruh dunia sehingga membuat pemerintah Indonesia dipermalukan. Pemberitaan ini menunjukkan sebuah contoh bagaimana perkembangan media baru di Indonesia semakin mempersulit rezim Orde Baru dalam mengendalikan arus informasi keluar-masuk Indonesia, dan pada masa pasca-Perang Dingin di dekade 1990-an, pemerintah Indonesia mulai terus-terusan menjadi bulan-bulanan internasional. Salinan rekaman pembantaian Santa Cruz disebarkan kembali ke Indonesia agar masyarakatnya bisa melihat sendiri tindakan yang ditutup-tutupi oleh pemerintahnya.[19] Sejumlah kelompok mahasiswa pro-demokrasi dan pers mahasiswa tidak hanya mulai berani membahas dan mengkritisi Timor Timur, namun juga mengenai Orde Baru, sejarah dan masa depan Indonesia secara keseluruhan.[17][19][20]
Kongres Amerika Serikat memangkas anggaran program pelatihan IMET untuk militer Indonesia, tetapi penjualan senjata ke ABRI tetap berjalan.[21] Presiden Clinton memutus kerja sama militer dengan Indonesia pada tahun 1999.[22] Tahun 2005, AS melanjutkan kembali program pelatihan dan kerja sama militer dengan Indonesia.[23] Tahun 2012, Presiden Obama menambah anggaran bantuan militer ke Indonesia menjadi US$1,56 miliar dan menyetujui program pelatihan langsung pasukan khusus Indonesia oleh militer AS.[24][25]
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Pembantaian ini memaksa pemerintah Portugal untuk menggencarkan diplomasinya. Portugal mendorong negara-negara Uni Eropa untuk menekan Indonesia, tetapi gagal. Britania Raya, misalnya, memiliki hubungan ekonomi erat dengan Indonesia yang melibatkan penjualan senjata.[26]
Masyarakat Australia mengkritik pemerintahnya yang mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Pemerintah Australia saat itu sudah mempererat kerja sama dengan militer Indonesia. Pada 1999, Australia sementara memutus hubungan militer akibat kekerasan yang terjadi usai referendum kemerdekaan tahun itu.[27] Menteri Luar Negeri Australia, Gareth Evans, menyebut peristiwa ini "anomali, bukan bagian kebijakan pemerintah [Indonesia]".[28]
Kejadian ini kini diperingati sebagai Hari Pemuda oleh negara Timor Leste yang merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.
^Carey, p. 50; Pinto and Jardine, p. 191; Anderson, pp. 149–150; Alatas, p. 58; Singh, pp. 157–159. Pinto insisted that "there was no provocation", while Anderson discussed in detail the lack of warning shots. Amnesty International (1991) confirmed these claims via eyewitness testimony.
^Carey, p. 51; Jardine, p. 16. The Portuguese solidarity group A Paz é Possível em Timor Leste compiled a careful survey of the massacre's victims, listing 271 killed, 278 wounded, and 270 "disappeared".