Pemutusan hubungan kerja (PHK) atau disebut juga pemecatan adalah pengakhiran hubungan kerja yang disebabkan karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha/majikan.
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Pada bab XII pasal 152 UU ketenagakerjaan disebutkan bahwa permohonan pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan dengan cara melakukan permohonan tertulis yang disertai dengan alasan dan dasar kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menerima dan memberikan penetapan terhadap permohonan tersebut.[1]
Pengusaha/majikan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
Pekerja yang sakit menurut keterangan dokter selama tidak lebih dari 12 bulan secara terus-menerus,
Pekerja sedang memenuhi kewajiban terhadap negara.
Pekerja menjalankan ibadah sesuai agamanya.
Pekerja menikah
Pekerja perempuan yang hamil, melahirkan, menggugurkan kandungan atau menyusui bayi.
Pekerja mempunyai ikatan perkawinan atau pertalian darah dengan pekerja lain di dalam satu perusahaan kecuali disebutlkan dalam peraturan perusahaan.
Pekerja melakukan kegiatan yang terkait dengan serikat buruh di luar jam kerja .
Perbedaanpaham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau satsu perkawinan.
Pekerja sakit atau cacat tetap akibat dari kecelakaan kerja.
Jika pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan alasan-alasan di atas maka pengusaha wajib memperkerjakan kembali karena batal demi hukum.
Bila terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon sesuai masa kerja.
Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan kerjanya diputus. Pengusaha harus melakukan segala upaya untuk menghindari memutuskan hubungan kerja.
Pengusaha dan pekerja beserta serikat pekerja menegosiasikan pemutusan hubungan kerja tersebut dan mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Jika perundingan benar-benar tidak menghasilkan kesepakatan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penetapan ini tidak diperlukan jika pekerja yang sedang dalam masa percobaan bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis, pekerja meminta untuk mengundurkan diri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang pertama, pekerja mencapai usia pensiun, dan jika pekerja meninggal dunia.
Pengusaha harus mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi kepada pekerja yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata ditemukan tidak adil.
Jika pengusaha ingin mengurangi jumlah pekerja oleh karena perubahan dalam operasi, pengusaha pertama harus berusaha merundingkannya dengan pekerja atau serikat pekerja. Jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka baik pengusaha maupun serikat pekerja dapat mengajukan perselisihan tersebut kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.