Penyerangan bus Poso 2002 |
---|
Lokasi | Sulawesi Tengah, Indonesia
|
---|
Tanggal |
- Ke-1 – 5 Juni 2002
- Ke-2 – 12 Juli 2002
- Ke-3 – 8 Agustus 2002
|
---|
Sasaran |
|
---|
Jenis serangan |
|
---|
Korban tewas | 7 korban
- Ke-1 – 5
- Ke-2 – 1
- Ke-3 – 1 (Lorenzo Taddei)
|
---|
Korban luka | 26 luka-luka
- Ke-1 – 17
- Ke-2 – 5
- Ke-3 – 4
|
---|
Pelaku | Terduga militan Islam lokal |
---|
Penyerangan bus Poso 2002 (bahasa Inggris: 2002 Poso bus attacks), adalah sebuah rangkaian aksi terorisme yang menargetkan kendaraan transportasi masyarakat yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia, antara tanggal 5 Juni dan 8 Agustus 2002. Total 7 orang tewas dan 26 orang terluka, termasuk seorang wisatawan Italia.[1] Serangan pertama terjadi pada 5 Juni 2002, saat sebuah bom meledak di sebuah bus masyarakat milik Antariksa yang melayani rute Palu, Poso dan Tentena. Empat orang penumpang tewas di tempat dan 17 lainnya terluka, salah satu di antaranya meninggal dua minggu kemudian.[2][3][4]
Pada 13 Juli 2002, serangan kedua terjadi di Jalan Raya Trans-Sulawesi saat sopir bus menemukan sebuah tas di tengah jalan dan meminta kondektur untuk memungutnya, memicu perangkat peledak: seorang pejalan kaki yang lewat dan berusia 18 tahun tewas, dan sedikitnya 4 orang terluka parah dalam ledakan itu [1] Dalam serangan ketiga, pada 8 Agustus 2002, seorang turis Italia tewas dan setidaknya 4 warga Indonesia terluka ketika para penyerang tak dikenal menembakkan senjata otomatis ke bus lain.[5][6]
Serangan pertama
Pada siang hari tanggal 5 Juni 2002, sebuah alat peledak improvisasi meledakkan bus yang dioperasikan oleh perusahaan Antariksa yang mengangkut 25 penumpang, kebanyakan dari Tentena.[2] Ledakan terjadi saat bus melewati wilayah dusun Landangan, desa Toini, kecamatan Poso Pesisir.[7] Mereka yang tewas karena ledakan kemudian teridentifikasi sebagai; Edy Makawimbang, Edy Ulin, Gande Alimbuto dan Lastri Octovia Alimbuto. Penumpang kelima – Yanti Alimbuto – meninggal karena luka yang dialaminya di Rumah Sakit Umum Tentena pada 13 Juni.[2]
Serangan kedua
Pada siang hari tanggal 12 Juli 2002, sebuah bus yang berangkat dari Palu menuju Tentena melewati Jalan Raya Trans-Sulawesi, berhenti untuk menyelidiki tas mencurigakan yang tergeletak di tengah jalan di dekat bukit kelurahan Kawua dan Ranononcu.[6] Sopir bus meminta kondektur untuk menggeser tas. Ketika digeser, perangkat aktivasi bom di dalamnya meledak, membuat empat orang terluka parah, termasuk kondektur bus. Bom kedua juga dilaporkan dilemparkan di jendela bus, membunuh seorang penumpang wanita berusia 18 tahun yang masih berada di dalam bus.[1] Serangan ini terjadi hanya 20 meter dari pos keamanan gabungan TNI dan Polri.[6]
Serangan ketiga
Pada pagi hari tanggal 8 Agustus 2002, sekelompok orang bersenjata tak dikenal dengan senjata otomatis menembak ke arah bus yang melewati desa Mayoa di kecamatan Pamona Selatan, menewaskan seorang turis Italia dan melukai 4 orang Indonesia.[5][6] Orang Italia yang tewas diidentifikasi sebagai Lorenzo Taddei, yang melakukan perjalanan dari Tana Toraja dengan istrinya.[8][9][10] Setelah serangan itu, Pangdam Wirabuana Mayjen. TNI Amirul Isnaeni mengakui bahwa sejumlah personel Kopassus telah ditempatkan di daerah untuk menyelidiki keberadaan warga negara asing yang tinggal di Poso, beberapa di anatar mereka mungkin memiliki hubungan ke al Qaeda.[9][10]
Penyelidikan
Peledakan bom dihubungkan dengan konflik sektarian antara Muslim dan Kristen di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang menewaskan setidaknya 577 orang dan membuat 86,000 mengungsi selama periode tiga tahun sebelum gencatan senjata yang disponsori pemerintah pada bulan Desember 2001.[11]
Kegagalan pemerintah Indonesia untuk menangkap para penyerang atau mengungkap identitas dan keberadaan mereka memicu spekulasi bahwa sebagian kecil dari pasukan keamanan bisa jadi terlibat dalam kekerasan di Sulawesi Tengah. Seorang tokoh Muslim berspekulasi bahwa kekerasan telah meningkat setelah komando daerah militer Wirabuana, yang berbasis di ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar, mengirim personel pasukan khusus Angkatan Darat (Kopassus) ke Poso.[12]
Dalam menanggapi serangan, Tentara Nasional Indonesia menyerukan penerapan keadaan darurat sipil atau darurat militer di Kabupaten Poso yang bergolak pada saat itu. Saran itu merupakan tanggapan dari isu kehadiran beberapa orang asing bersenjata yang diduga masuk Poso dengan menggunakan visa turis. Namun, Gubernur Sulawesi Tengah Aminuddin Ponulele, dan Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen. Pol. Zainal Abidin Ishak menyuarakan penentangan terhadap rencana tersebut.[13]
Referensi