Perang Padri (juga dikenal sebagai PerangMinangkabau) adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat. Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri.
Latar Belakang
Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan Belanda, dan merupakan konflik yang pecah di negeri Minangkabau ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak Islami. Namun setelah pendudukan Kerajaan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman, salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di Padang untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.[1]
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di Kekhalifahan Sokoto di Afrika Barat, adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kembali[2] dengan terinspirasi untuk membawa Al-Quran dan syariah ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20.
Perang Padri I 1803-1825
Awal mula 1803-1821
Sepulangnya tiga orang alim ulama dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan Yang Dipertuan PagaruyungSultan Arifin Muningsyah untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Pagaruyung di bawah pimpinan Tuanku Lintau menyerang Kaum Padri dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Catatan Thomas Stamford Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]
Keterlibatan Belanda 1821-1825
Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Meski demikian, beberapa Kaum Adat yang lain merasa bahwa Bagagarsyah tidak memiliki hak mewakili Kerajaan Pagaruyung.[7] Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan daerah Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10]
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]
Gencatan Senjata 1825 - 1831
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[14] Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[16] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[17]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]
Perang Padri II 1831-1838
Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayahdarek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock. Pada awal Agustus1831, Lintau berhasil ditaklukkan dan menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Sentot dibuang dan ditahan di Bengkulu, sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan KolonelFerdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[18] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[19] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada 29 Januari1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[20]
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[21] Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[22] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tunggul Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia. Dalam catatan Belanda Sultan Tunggul Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[24]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[25]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[26]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[27]
Pengepungan Bonjol 1835-1837
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[28]
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[30] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayjen Cochius, Letkol Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[31]
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, pada akhir 1838 ia dipindahkan ke Ambon. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.[31] Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,[32] dan 2004 di Padang.[31][33]
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[26] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[35] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
^The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.
^Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
^Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
^Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
^Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
^Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
^Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
^Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
^J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
^Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
^ abBoelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.
^Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
^Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
^G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
^IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe
Library, DS646.15.S76.I43.
^Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.
Bacaan lanjutan
1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.
Las causas y antecedentes de la guerra del Pacífico son las expectativas, relaciones, estructuras, intenciones e intereses de Perú, Bolivia y Chile que los condujeron a la guerra del Pacífico ocurrida entre 1879 y 1883. Las causas de la guerra fueron varias, profundas y complejas. Entre ellas se han nombrado las difusas fronteras coloniales entre Chile y Bolivia, los intereses económicos contrapuestos por la explotación del salitre, la lucha por la hegemonía en la costa oeste de América d…
Kanton Kobanê Kantona Kobaniyêprovinsi di Rojava BenderaLambangEmpat kanton Rojava: Kanton Afrin (jingga), Kanton Kobanê (merah), Kanton Jazira (hijau), dan Kanton Shahba (merah muda)Negara RojavaKegubernuranAleppoDeklarasi otonomi27 Januari 2014 (2014-01-27)Pusat administrasiKobanîPemerintahan • Perdana MenteriEnver MuslimPopulasi • Perkiraan (2004[1])322.227Zona waktuUTC+2 (EET) • Musim panas (DST)UTC+3 (EEST)Kode area telepon+963 …
Caught in the RainCharlie Chaplin dalam Caught in the RainSutradaraCharlie ChaplinProduserMack SennettDitulis olehCharlie Chaplin (tak disebutkan)PemeranCharlie ChaplinMack SwainAlice DavenportAlice HowellSinematograferFrank D. WilliamsPerusahaanproduksiKeystone StudiosDistributorMutual FilmTanggal rilis 04 Mei 1914 (1914-05-04) Durasi16 menitNegaraAmerika SerikatBahasaFilm bisuInggris (intertitel asli) Caught in the Rain Caught in the Rain adalah sebuah film bisu komedi Amerika 1914 yang d…
Poisoned shirt in Greek mythology Lichas bringing the garment of Nessus to Hercules (as Heracles was known in Roman mythology), woodcut by Hans Sebald Beham, circa 1542-1548. In Greek mythology, the Shirt of Nessus, Tunic of Nessus, Nessus-robe, or Nessus' shirt (Ancient Greek: Χιτών τοῦ Νέσσου, romanized: Chitṓn toû Néssou) was the poisoned shirt (chiton) that killed Heracles. It was once a popular reference in literature. In folkloristics, it is considered an instance o…
Ongoing COVID-19 viral pandemic in New Hampshire, United States COVID-19 pandemic in New HampshireThe NH National Guard loading boxes of personal protective equipment in Concord DiseaseCOVID-19Virus strainSARS-CoV-2LocationNew Hampshire, U.S.Index caseGrafton CountyArrival dateMarch 2, 2020Confirmed cases344,823[1]Hospitalized cases849 (cumulative)185 (current)Recovered19,864[1]Deaths2,662[1]Government websitewww.nh.gov/covid19 The COVID-19 pandemic in New Hampshire is pa…
Martin LandauLandau pada tahun 1968Lahir(1928-06-20)20 Juni 1928Brooklyn, New York, Amerika SerikatMeninggal15 Juli 2017(2017-07-15) (umur 89)Los Angeles, California, Amerika SerikatSebab meninggalSerangan jantungPendidikanJames Madison High SchoolAlmamaterInstitut PrattPekerjaanAktor dan pelatih aktingTahun aktif1955–2017OrganisasiActors StudioSuami/istriBarbara Bain (m. 1957; c. 1993)AnakSusan Bain Landau FinchJuliet Landau M…
SMA Negeri 5 PadangInformasiAkreditasiA[1]Nomor Statistik Sekolah301086109005Kepala SekolahAzwarman, S.Pd., M.M.Jurusan atau peminatanIPA dan IPSRentang kelasX, XI IPA, XI IPS, XII IPA, XII IPSKurikulumKurikulum Tingkat Satuan PendidikanAlamatLokasiJl. Balai Baru, Padang, Sumatera BaratMoto SMA Negeri (SMAN) 5 Padang, merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri yang ada di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Sama dengan SMA pada umumnya di Indonesia masa pendidikan sekolah di …
علمدو الموقع الصومال صوماليلاند إحداثيات 10°44′09″N 47°14′42″E / 10.73583333°N 47.245°E / 10.73583333; 47.245 السلسلة جبال أوغو تعديل مصدري - تعديل علمدو (بالصومالية: Buuraha Calmadow) هي سلسلة جبال في الصومال، [1] تمتد من مدينة عيرجابو بمحافظة سناج إلى محافظة باري شمال …
العلاقات التشيكية الكورية الجنوبية التشيك كوريا الجنوبية التشيك كوريا الجنوبية تعديل مصدري - تعديل العلاقات التشيكية الكورية الجنوبية هي العلاقات الثنائية التي تجمع بين التشيك وكوريا الجنوبية.[1][2][3][4][5] مقارنة بين البلدين هذه مقارنة ع…
Eparki ShamshabadLokasiNegaraIndiaStatistikPopulasi- Katolik130,000[1]Jemaat11 fungsional, 7 sedang dibangun, pada 2017Imam88InformasiGereja sui iurisGereja Katolik Siro-MalabarRitusLiturgi Ritus Siria Timur (Liturgi Santo Addai dan Mari dan Mar Teodorus dari Mopsuestia)Pendirian10 Oktober 2017KatedralGereja Katolik Siro-Malabar Santo Anfonsa, Kukatpally (cathedral)Santo pelindungSanto Tomas Rasul dan Santo Yohanes Paulus IIKepemimpinan kiniPausFransiskusUskupRaphael ThattilPet…
Mariachis de Guadalajara Team logo Cap insignia InformationLeagueMexican League (2021–2023)LocationZapopan, JaliscoBallparkEstadio Panamericano (2021–2023)Established2020Folded2023ColorsBlack and white Websitehttps://mariachisbeisbol.com/Uniforms Home The Mariachis de Guadalajara (English: Guadalajara Mariachis) were a professional baseball team in the Mexican League based in Zapopan, Jalisco, in the Guadalajara metropolitan area. Their home ballpark was the Estadio Panamericano,…
American basketball player-coach Tony DelkDelk at the 2023 NBA Draft CombinePersonal informationBorn (1974-01-28) January 28, 1974 (age 50)Covington, Tennessee, U.S.Listed height6 ft 1 in (1.85 m)Listed weight189 lb (86 kg)Career informationHigh schoolHaywood (Brownsville, Tennessee)CollegeKentucky (1992–1996)NBA draft1996: 1st round, 16th overall pickSelected by the Charlotte HornetsPlaying career1996–2008PositionPoint guard / shooting guardNumber00, 28, 7, 5Co…
Voce principale: Unione Sportiva Foggia. Unione Sportiva FoggiaStagione 1977-1978 Sport calcio Squadra Foggia Allenatore Ettore Puricelli Presidente Antonio Fesce Serie A15º posto Coppa ItaliaPrimo turno. Maggiori presenzeCampionato: Bordon, Memo e Sali (30) Miglior marcatoreCampionato: Bordon e Iorio (6) StadioStadio Pino Zaccheria 1976-1977 1978-1979 Si invita a seguire il modello di voce Questa voce raccoglie le informazioni riguardanti l'Unione Sportiva Foggia nelle competizioni uffici…
Italian professional golfer This article is about the golfer. For the opera conductor, see Francesco Molinari-Pradelli. Francesco MolinariMolinari in 2008Personal informationBorn (1982-11-08) 8 November 1982 (age 41)Turin, ItalyHeight1.72 m (5 ft 8 in)Weight72 kg (159 lb; 11.3 st)Sporting nationality ItalyResidenceTurin, ItalyLondon, EnglandSpouse Valentina (m. 2007)Children2CareerCollegeUniversity of TurinTurned professional…
Denial of the 1937 massacre by Japan Part of a series onDenial of mass killings Instances of denial Denial of atrocities against Indigenous peoples Armenian genocide Holodomor Romani genocide The Holocaust trivialization inversion Congo Free State Nanjing Massacre Genocide of Serbs in the Independent State of Croatia Indonesian mass killings Bangladesh genocide Cambodian genocide Tiananmen Square massacre Katyn massacre Khojaly massacre Rwandan genocide Bosnian genocide Rohingya genocide Scholar…
Giovanni Tarcaniota (in greco Ἰωάννης Ταρχανειώτης?, Iōannēs Tarchaneiōtēs; prima del 1259 – dopo il 1304) era un aristocratico e generale bizantino sotto l'imperatore Andronico II Paleologo (regno 1282-1328). Pur essendo legato per sangue alla dinastia dei Paleologi, si distinse come uno dei principali leader degli Arseniti, i sostenitori del deposto patriarca di Costantinopoli Arsenio Autoreiano, che contestavano la legittimità della dinastia. Abile militare, fu…
This article needs additional citations for verification. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed.Find sources: List of people banned from Major League Baseball – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (February 2009) (Learn how and when to remove this message) A ban from Major League Baseball is a form of punishment levied by the Office of the Commissioner of Major Le…
Neighborhood of Santa Clarita in Los Angeles, CaliforniaSaugusNeighborhood of Santa ClaritaSaugus High SchoolSaugusPosition in Los Angeles CountyShow map of Santa ClaritaSaugusSaugus (the Los Angeles metropolitan area)Show map of the Los Angeles metropolitan areaSaugusSaugus (California)Show map of CaliforniaCoordinates: 34°26′N 118°31′W / 34.44°N 118.52°W / 34.44; -118.52Country United States of AmericaState CaliforniaCounty Los AngelesCity Santa Clarit…