Reaktor nuklir di Indonesia (
lihat)
Reaktor penelitian
Lokasi yang direncanakan
Program Nuklir Indonesia merupakan program Indonesia untuk membangun dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir baik di bidang non-energi maupun di bidang energi untuk tujuan damai. Pemanfaatan non-energi di Indonesia sudah berkembang cukup maju. Sedangkan dalam bidang energi (pembangkitan listrik), hingga tahun 2019 Indonesia masih berupaya mendapatkan dukungan masyarakat, walaupun sudah dianggap oleh kalangan internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya menggunakannya.
Kegiatan pengembangan dan pengaplikasian teknologi nuklir di Indonesia diawali dari pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet tahun 1954. Panitia Negara tersebut mempunyai tugas melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik.
Dengan memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat, maka melalui Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1958, pada tanggal 5 Desember 1958 dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) berdasarkan UU No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Selanjutnya, setiap tanggal 5 Desember yang merupakan tanggal bersejarah bagi perkembangan teknologi nuklir di Indonesia dan ditetapkan sebagai hari jadi BATAN.
Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, pada tahun 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung. Kemudian berturut-turut, dibangun pula beberapa fasilitas litbangyasa yang tersebar di berbagai pusat penelitian, antara lain Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta (1967), dan Reaktor Serba Guna 30 MW (1987) disertai fasilitas penunjangnya, seperti: fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktif dan fasilitas nuklir lainnya.
Penelitian teknologi nuklir di Indonesia, selain di bidang energi, juga teknologi nuklir untuk kegunaan medis, pertanian dan pangan, industri, serta lingkungan. Pemanfaatan teknologi nuklir dan radiasi paling banyak saat ini ada di bidang medis, diantaranya karena pemanfaatan radioisotop untuk terapi dan diagnostik beberapa penyakit. Meskipun sinar rontgen tidak termasuk tenaga nuklir, namun karena dianggap radiasi pengion, maka di Indonesia dimasukkan dalam sistem pengawasan tenaga nuklir.
Untuk meningkatkan infrastruktur organisasi nuklir di Indonesia, maka pada tahun 1997 ditetapkan UU No. 10 Tentang Ketenaganukliran yang diantaranya mengatur pemisahan unsur pelaksana kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir (BATAN) dengan unsur pengawas tenaga nuklir (BAPETEN).
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) didirikan tahun 1998. BAPETEN terutama bertugas dalam pengawasan 3S (safety, security dan safeguard) kegiatan dan fasilitas nuklir dan radiasi. BAPETEN juga mempunyai tugas menyusun peraturan terkait nuklir bekerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya. Disamping itu, organisasi tersebut juga mempunyai kewenangan dalam perizinan pemanfaatan tenaga nuklir dan radiasi.
Sejarah program PLTN di Indonesia dimulai sejak era 1970an, dan telah dilakukan studi kelayakan di Jepara, Jawa Tengah, dan pulau Bangka (2011-2013). Namun saat ini belum ada keputusan terkait rencana pembangunan PLTN, Program PLTN sempat dihentikan tahun 1997 karena penemuan gas alam Natuna dan krisis ekonomi dan politik. Tetapi program ini kembali dijalankan sejak tahun 2005.[1] Sejak 2015, BATAN juga mempunyai program Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yaitu mendesain reaktor daya non komersial 10 MWth menggunakan teknologi genereasi IV High Temperature Gas Cooled Reactor (HTGR).
Protes terhadap rencana PLTN muncul pada Juni 2007 didekat Jawa Tengah[1] dan juga demo anti nuklir besar terjadi pada pertengahan 2007.[2]
Pada maret 2008, melalui menteri Riset dan Teknologi, Indonesia memaparkan rencananya untuk membangun 4 buah PLTN berkekuatan 4800 MWe (4 x 1200 MWe). [2]
Indonesia telah meratifikasi NPT (Non-proliferation Treaty) dan Comprehensive Safeguard Agreement program, sehingga secara sukarela program teknologi nuklirnya dipantauInternational Atomic Energy Agency (IAEA). Beberapa kali Direktur Jenderal IAEA hadir di Indonesia, diantaranya Mohammed ElBaradei diundang untuk mengunjungi Indonesia pada Desember 2006, kemudian Yukiya Amano berkunjung pada Januari 2015 dan Februari 2018 untuk mengetahui perkembangan pemanfaatan teknologi nuklir di tanah air.
Lokasi reaktor nuklir
Untuk penelitian, reaktor riset telah dibuat di Indonesia:
- Bandung, Jawa Barat. Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Bandung. (reaktor Triga Mark II - berkapasitas 250 kW diresmikan 1965, kemudian ditingkatkan kapasitasnya menjadi 2 MW pada tahun 2000 ).[3] Diarsipkan 2007-12-31 di Wayback Machine.
- Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (Reaktor penelitian nuklir Kartini - kapasitas 100 kW operasi sejak 1979).
- Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten. (reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy - kapasitas 30 MW diresmikan tahun 1987).
Berbagai lokasi yang dipelajari kelayakannya sebagai calon tapak untuk membangun reaktor untuk memproduksi listrik (PLTN):
- Muria, Jawa Tengah.
- Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Berdasarkan UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, PLTN hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan swasta, BUMN atau Koperasi. Sedangkan BATAN berkewajiban menyiapkan infrastruktur dasar seperti persiapan SDM, studi kelayakan calon tapak, kajian teknologi sebagai TSO (technical support organization), dan pengolahan limbah.
Sumber daya alam
Indonesia memiliki dua lokasi eksplorasi uranium, yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Kedua uranium tersebut terletak di Kalimantan Barat. Jika uranium tidak cukup, Indonesia memiliki pilihan mengimpor uranium yang banyak tersedia di pasaran internasional.
Kerjasama
Indonesia adalah anggota aktif IAEA (International Atomic Energy Agency) yang berkedudukan di Vienna, Austria. Kerjasama multilateral via IAEA berlangsung baik dan telah menghasilkan ratusan pakar dan ahli di Indonesia melalui pelatihan di luar negeri maupun via kunjungan ekspert ke Indonesia. Selain itu ada pula kerjasama regional di Asia dan Asean yang berlangsung saling menguntungkan.
Pada tahun 2006, Indonesia menandatangani perjanjian dengan negara lain untuk nuklir, termasuk Korea Selatan, Rusia, Australia dan Amerika Serikat. Australia tidak bermasalah untuk mengirim uranium ke Indonesia, dan terdapat kesepahaman dengan pihak Rusia yang menawarkan untuk membangun reaktor nuklir di Gorontalo.
Motivasi
Indonesia memiliki beberapa alasan untuk membangun reaktor tersebut:
- Konsumsi energi Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk 237 juta (sensus 2010).
- Nuklir akan mengurangi ketergantungan akan petroleum.
- Jika konsumsi energi dapat disediakan dengan nuklir, Indonesia dapat memproduksi lebih banyak minyak bumi.
- Memproduksi energi yang dapat diperbaharui lainnya, seperti angin dan tenaga matahari lebih mahal.
- Jepang, seperti Indonesia, sering terkena gempa bumi, tetapi memiliki reaktor nuklir.
- Emisi gas dapat dikurangi.
Kritik
Rencana nuklir Indonesia dikritik oleh Greenpeace dan sejumlah individual lainnya, seperti Gus Dur. Pada Juni 2007, hampir 4.000 demonstran di Jawa Tengah meminta pemerintah membatalkan rencana pembangunan reaktor nuklir. Mereka menolaknya karena bahaya limbah nuklir, dan lokasi Indonesia di Cincin Api Pasifik, dengan banyak aktivitas geologi, seperti gempa bumi dan letusan gunung, sehingga berbahaya untuk memiliki reaktor nuklir.[1]
Lihat pula
Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar