Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dilahirkan dengan nama Tatiek Dradjad Supriastuti adalah anak ketiga (perempuan tunggal) dari tujuh bersaudara.[1] Ia tinggal dan dibesarkan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ayahnya, Soepono Digdosastropranoto, seorang ABRI yang berasal dari Yogyakarta, dan ibu, Susamtilah Soepono, seorang ibu rumah tangga, yang berasal dari Wates, Kulonprogo.[1] Hingga SMA Tarakanita 1 di Jakarta, dan sempat kuliah di Fakultas Arsitektur, Trisakti, Jakarta namun tidak diselesaikan karena menikah pada tahun 1971.[1][4] Tatiek kemudian pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1972 mengikuti suaminya.[1]
Pertemuan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X
Sejak kecil setiap tahun keluarganya di Jakarta berlibur ke rumah kakeknya, bekas abdi dalem Kraton di Yogyakarta, di Soronatan.[1] Pada tahun 1970-an di Yogyakarta, Tatiek (GKR Hemas) bertemu Herjuno Darpito, putera tertua Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu berkuasa, yang kemudian dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono X di gang.[1] Pada umur 19 tahun Tatiek menikah dengan Herjuno Darpito (6 tahun lebih tua) dan meninggalkan kuliahnya.[1] Namanya diganti untuk pertama kalinya menjadi Mangkubumi, dan berganti tiga kali hingga yang terakhir Gusti Kanjeng Ratu Hemas saat Herjuno Darpito naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X.[1] Pernikahannya dikaruniai lima puteri; GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendara.[4]
Pada awal kegiatannya di Kraton Yogyakarta aktivitas sosial Ratu Hemas berkisar di Yayasan Sayap Ibu dan kegiatan pemberantasan buta aksara di Yogyakarta sebagai pengajar.[1] Selain itu, ia juga pernah pula menjadi pemimpinredaksi untuk Majalah Kartini.[4]
Pada tahun 2004 Ratu Hemas mengajukan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa partai politik dan terpilih. Ia juga aktif pada organisasi GPSP (Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan) karena ingin memahami kegiatan perempuan, hak-hak perempuan dan alasan terjun dalam dunia politik.[1]
Pada November 2008 Ratu Hemas mengungkapkan pandangan politiknya menentang Undang Undang Pornografi karena dinilai menyudutkan perempuan.[1] Ratu Hemas bahkan ikut turun ke jalan, berdemonstrasi bersama ribuan rakyat Bali menentang hal tersebut, karena walaupun setuju untuk perlindungan anak dan bahaya internet, ia tidak setuju penggunaan undang-undang untuk hal tersebut.[1]
Pada November 2012 Ratu Hemas bersama dengan Laode Ida, I Wayan Sudirta, dan John Pieris mewakili Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menggugat uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan pasal 22 D UUD 45 mengenai hak-hak yang sama antara lembaga DPD dan DPR, dan melemahkan hubungan antara pusat dan daerah.[3] Selama ini pada proses pembuatan hukum DPD mendapat kekuasaan untuk memberi masukan, tetapi tidak mendapat peran untuk meloloskan hukum tersebut.[6]DPD ingin badan legislasi giat mendukung keinginan rakyat di daerah, dan mendapat peran untuk kuasa ini.[6]
Pada tanggal 21 Desember 2018, Ratu Hemas diberhentikan sementara dari DPD karena beberapa kali tidak menghadiri sidang paripurna DPD serta sudah melewati tahapan sanksi lainnya.[butuh rujukan] Akan tetapi, ia akan melawan keputusan Badan Kehormatan DPD melalui jalur hukum.[7]