Sejarah ateisme
Ateisme (berasal dari kata bahasa Yunani kuno ἄθεος atheos artinya "tanpa tuhan; tak bertuhan; sekuler; menyangkal atau menolak tuhan, khususnya tuhan yang diakui resmi"[1]) adalah ketiadaan atau penyangkalan keyakinan keberadaan deitas. Istilah tersebut dipakai setidaknya sejak awal abad keenam belas dan gagasan-gagasan ateistik dan pengaruhnya memiliki riwayat yang panjang. Sepanjang berabad-abad, kaum ateis mendukung kurangnya keyakinan mereka terhadap tuhan melalui berbagai ranah, yang meliputi catatan saintifik, filsafat dan ideologi. Di dunia Timur, kehidupan dasar yang tak terpusat pada gagasan dewa-dewi dimulai pada abad keenam SM dengan kebangkitan agama-agama India seperti Jainisme, Buddhisme dan berbagai sekte-sekte Hinduisme di India kuno, dan Taoisme di Tiongkok kuno. Dalam mazhab-mazhab astika ("ortodoks") dari filsafat Hindu, mazhab Samkhya dan Mimamsa awal tak menerima sosok pencipta dalam sistem mereka masing-masing. Weda di anak benua India hanya menyatakan kemungkinan bahwa dewa-dewi itu ada namun tak menyebut hal lebih lanjut. Tidak ada doa maupun ibadah yang disarankan dalam cara apapun oleh suku-suku tersebut.[2] Pemikiran filsafat ateis mulai muncul di Eropa dan Asia pada abad keenam atau kelima SM. Dalam The Story of Civilization, Will Durant menjelaskan bahwa suku-suku pigmi tertentu yang ditemukan di Afrika tak memiliki kultus atau ritus. Tak ada totem, tak ada dewa, dan tak ada roh. Jasad mereka dikubur tanpa acara khusus atau penyertaan barang dan tak meraih perhatian lebih lanjut. Mereka bahkan tampak kurang penjunjungan sederhana, menurut laporan para penjelajah. Filsafat IndiaAbad PertengahanDunia IslamDalam Islam abad pertengahan, para cendekiawan Muslim mengakui gagasan ateisme dan kemudian menyerang kafir, meskipun mereka tak dapat menyebut ateis manapun.[3] Saat orang-orang dituduh ateis, mereka biasanya dipandang sebagai bidaah ketimbang proponen ateisme.[4] Namun, terdapat rasionalis dan ateis terbuka, salah satu tokoh terkenalnya adalah cendekiawan abad kesembilan Ibnu al-Rawandi, yang mengkritik catatan nubuat agama, termasuk dari Muhammad, dan menyatakan bahwa dogma agama tak dapat diterima akal budi dan harus ditolak.[5] Kritikus agama lain di dunia Islam meliputi dokter dan filsuf Abu Bakr al-Razi (865–925), penyair Al-Maʿarri (973–1057), dan cendekiawan Abu Isa al-Warraq (hidup pada abad ke-9). Al-Maʿarri menulis dan mengajarkan bahwa agama itu sendiri adalah sebuah "fabel yang diciptakan oleh orang-orang kuno"[6] dan bahwa manusia terbagi menjadi "dua jenis: orang dengan otak, tetapi tanpa agama, dan orang dengan agama, namun tanpa otak."[7] Abad PencerahanMeskipun tak membuat sejumlah besar masyarakat meninggalkan agama, ragam-ragam deisme mempengaruhi kelompok-kelompok intelektual tertentu. Jean Jacques Rousseau menantang pernyataan Kristen bahwa umat manusia ternodai oleh dosa sejak Taman Eden, dan sebagai gantinya mencetuskan bahwa manusia awalnya baik, hanya kemudian dirusak oleh peradaban. Figur berpengaruh Voltaire, menyebarkan pernyataan deistik ke khalayak umum.[8] Voltaire menulisnya dalam menanggapi Risalah Tiga Penyaru, sebuah dokumen (yang tampaknya) ditulis oleh John Toland yang menolak seluruh tiga agama Abrahamik.[9] Buku pertama pada zaman modern yang dianggap didedikasikan khusus untuk mempromosikan ateisme ditulis oleh imam Katolik Prancis Jean Meslier (1664–1729), yang secara anumerta menerbitkan esai filsafat panjang (bagian dari judul asli: Thoughts and Feelings of Jean Meslier ... Clear and Evident Demonstrations of the Vanity and Falsity of All the Religions of the World[10]) yang menolak konsep tuhan (dalam Kristen dan juga dalam esensi Deistik), jiwa, mukjizat dan disiplin teologi.[11] Filsuf Michel Onfray menyatakan bahwa karya Meslier menandai permulaan "sejarah ateisme sejati".[11] Catatan kaki
Referensi
Pranala luar
|