Syariat Islam (bahasa Arab: شريعة إسلامية) yakni berisi hukum dan aturan Islam adalah hukum agama yang membentuk hmerujuk bagian dari tradisi Islam. Ini berasal dari ajaran agama Islam dan didasarkan pada kitab suci Islam, khususnya Al-Qur'an dan hadits. Dalam bahasa Arab, istilah "syarah" mengacu pada hukum Allah SWT yang tidak dapat diubah dan dikontraskan dengan fiqh, yang mengacu pada interpretasi ilmiah manusia.
Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 36, bahwa sekiranya Allah (Islam) dan rasul- Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam surat Al-Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah SWT.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori asas syara' (uṣūl al-fiqh) dan perkara yang masuk dalam kategori furu' syara' (furūʿ al-fiqh).
Beberapa yurisdiksi di Amerika Utara dan Indonesia telah mengeluarkan larangan penggunaan Syariah, yang dibingkai sebagai pembatasan hukum agama atau asing.[4]Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg (ECtHR) memutuskan dalam beberapa kasus bahwa Syariah "tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi".[5][6]
Definisi
Secara etimologi bahasa, kata syari'ah berarti jalan yang berbekas menuju air, karena sudah sering dilalui.[7] Kemudian maknanya berkembang menjadi sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup. Secara istilah, syari'ah adalah apa yang digariskan dan ditentukan oleh Allah dalam agama sebagai aturan kehidupan para hamba-Nya. Syariah diartikan sebagai segala peraturan yang datang dari Allah, baik berupa hukum-hukum Akidah, hukum yang bersifat praktik, maupun hukum akhlak.
Jinayah
Jinayah adalah sebuah kajian ilmu hukum Islam yang berbicara tentang kejahatan.[8] Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana Islam.[8] Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidanaqisas, hudud, dan takzir.[8]
Qisas
Dasar dari praktik ini adalah bahwa seorang anggota suku tempat si pembunuh diserahkan kepada keluarga korban untuk dieksekusi, setara dengan status sosial orang yang dibunuh.[9]
Kondisi kesetaraan sosial berarti eksekusi terhadap anggota suku pembunuh yang setara dengan yang dibunuh, dalam arti orang yang dibunuh adalah laki-laki atau perempuan, budak atau orang merdeka, elit atau rakyat jelata. Misalnya, hanya satu budak yang bisa dibunuh untuk seorang budak, dan seorang wanita untuk seorang wanita. Pada pemahaman pra-Islam ini ditambahkan perdebatan tentang apakah seorang Muslim dapat dieksekusi untuk non-Muslim selama periode Islam.
Ayat utama untuk implementasi dalam Islam adalah Al-Baqarah ayat 178::
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih."
Qisas adalah penjatuhan coba sanksi yang sama dengan yang telah pelaku lakukan terhadap korbannya, misalnya pelaku menghilangkan nyawa korbannya, maka ia wajib dibunuh.[8] Kecuali, keluarga korban memaafkan si pelaku, maka pelaku hanya akan dikenakan denda yang dinamakan dengan diat atau denda sebagai pengganti dari hukuman.[10]
Takzir adalah hukum yang selain hukum hudud, yang berfungsi mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan maksiat.[8]
Sumber hukum islam
Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.[12] Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al-Qur'an disebut juga sebagai sumber pertama atau asas pertama syara'.
Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al-Qur'an dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Quran namun tidak ada yang saling bertentangan.
Hadis
Hadis terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, di antaranya adalah:
Sahih
Hasan
Daif (lemah)
Maudu' (palsu)
Matruk' (ditinggalkan)
Mungkar
Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat sahih dan hasan, kemudian hadis daif menurut kesepakatan ulama salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh umat Islam. Adapun hadis dengan derajat maudu dan derajat hadis yang di bawahnya wajib ditinggalkan, tetapi tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.
Perbedaan Al-Qur'an dan hadis adalah Al-Qur'an, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran, hukum- hukum dan firman Allah SWT, yang kemudian dibukukan menjadi satu, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan hadis merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fikih dan ahli hadis dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tetapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan umat, tetapi hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.
Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan Al-Qur'an dan hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :
Terkait dengan susunan tertib syariat, Quran dalam Surah Al-Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul- Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Quran dalam Surah Al-Mai'dah[13] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah SWT.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori asas syara'(ibadah mahdah) dan perkara yang masuk dalam kategori furuksyara' (gairu mahdah).
Asas syara' (mahdah)
Asas syara' (uṣūl al-fiqh) adalah perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Qur'an atau Al-Hadits. Kedudukannya sebagai pokok syari'at Islam di mana Al-Qur'an itu asas pertama syara' dan Al-Hadits itu asas kedua syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad ﷺ hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak menaati syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
Furu' syara' (ghoir mahdhoh)
Furu' syara' (furūʿ al-fiqh) yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist. Kedudukannya sebagai cabang syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat sebagai peraturan/perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam :
bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (ilahi)
adil, artinya salam hukum islam keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah salam syariah di tetapkan.
individualistik dan kemasyarakatan yang di ikat dengan nilai-nilai transendental yaitu wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Hukum islam mempunyai 2 sifat:
Al-Tsabah (stabil)
Al-Tathawwur
Konteks sosial-kemasyarakatan
Syariat Islam mengatur persoalan yang berkaitan dengan konteks sosial-kemasyarakatan, khususnya yang berkaitan dengan norma sosial. Ruang lingkupnya dimulai dari tindak kejahatan, minuman keras, perzinaan, hingga pembunuhan. Syariat Islam juga membahas konteks sosial-kemasyarakatan yang lebih luas, yaitu negara. Ruang lingkupnya meliputi hubungan pemerintahan antara pemerintah dengan rakyat yang diperintah.[14] Dalam praktik keuangan, syariah juga diterapkan dalam bisnis syariah, seperti bermuamalah.
^Hajjar, Lisa (2004). "Religion, State Power, and Domestic Violence in Muslim Societies: A Framework for Comparative Analysis". Law & Social Inquiry. 29 (1): 1–38. doi:10.1111/j.1747-4469.2004.tb00329.x. ISSN0897-6546. JSTOR4092696.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Al-Suwaidi, J. (1995). Arab and western conceptions of democracy; in Democracy, war, and peace in the Middle East (Editors: David Garnham, Mark A. Tessler), Indiana University Press, see Chapters 5 and 6; ISBN978-0253209399[halaman dibutuhkan]
^So etwa in: Case Of Refah Partİsİ (The Welfare Party) And Others V. Turkey (Applications nos. 41340/98, 41342/98, 41343/98 and 41344/98), Judgment, Strasbourg, 13 February 2003, No. 123 (siehe S. 39): „The Court concurs in the Chamber’s view that sharia is incompatible with the fundamental principles of democracy, as set forth in the Convention“; vgl. Alastair Mowbray: „Cases, Materials, and Commentary on the European Convention on Human Rights“, OUP Oxford, 29. März 2012, S. 744, Google-Books-Archivierung; siehe auch „The European Court of Human Rights in the case of Refah Partisi (the Welfare Party) and Others v. Turkey“Diarsipkan 2021-07-09 di Wayback Machine., 13. Feb. 2003, Ziffer 123 u. weitere Ziffern im gleichen Dokument
^ abcdefDr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag. (2013). fIqh Jinayah. AMZAH. ISBN978-602-8689-76-2.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^"...dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (Saba' 34:28)
^"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan pada waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Māidah 5:101)