Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Tribangga

Batara Kresna menganjung Gunung Gowardana dalam sikap tribangga.

Tribangga adalah sikap tubuh saat berdiri yang digunakan dalam seni rupa tradisional India, dan seni tari klasik India seperti Odissi.[1] Dibandingkan dengan contrapposto, tribangga (secara harfiah berarti tiga tekuk) dibentuk oleh tiga keluk pada tubuh; di leher, pinggang, dan lutut, membentuk dua cekungan berlawanan arah, yakni di pinggang dan di leher, sehingga bentuk tubuh mendekati bentuk huruf "S".[2] Tribangga dianggap sebagai sikap tubuh yang paling anggun dan memikat indra dalam tari Odissi.[3] Tribangga juga sangat erat dikaitkan dengan Batara Kresna, Dewa Hindu yang sering kali digambarkan dalam sikap tubuh ini.[4]

Tari klasik India, Odissi, bercirikan berbagai bangga atau sikap tubuh, termasuk menghentakkan kaki dan berbagai sikap tubuh yang memukau seperti yang tampak pada arca-arca India. Ada empat macam sikap tubuh, yakni bangga, abangga, atibangga, dan tribangga yang paling lazim dijumpai.[5] Istilah tribangga dalam bahasa Sanskerta berarti tiga-bangga, dan menurut K. M. Varma, bukanlah nama dari sikap tubuh tertentu melainkan istilah yang digunakan dalam Kitab Silpasastra untuk menyebut himpunan “tiga macam bangga”, yakni abangga, samabangga, dan atibangga.[6]

Tribangga dalam seni pahat

Arca Awalokiteswara Putih dari Nepal, abad ke-14, dalam sikap tribangga.
Arca Salabanjika, Belur, dalam sikap tribangga, abad ke-12.

Seperti banyak sikap tubuh lain yang digunakan dalam tari tradisional India, termasuk dalam tari Odissi, tari Bharata Natyam, dan tari Kathak, tribanggi atau tribangga dapat dijumpai pula pada arca-arca India. Menurut tradisi, Yaksi digambarkan sedang menyentuh dahan pohon dalam sikap tribangga, sama seperti Salabanjika. Contoh-contohnya, yang berasal dari abad ke-12, dapat dijumpai di kuil-kuil peninggalan Kemaharajaan Hoysala di Belur, Karnataka Tengah-Selatan, dan juga di kuil-kuil Khajuraho yang didirikan sekitar abad ke-9 M, tempat arca Wisnu terpahat di banyak tempat dalam sikap tubuh yang lazimnya diperuntukkan bagi Kresna, yakni sedang meniup seruling dalam sikap tribangga.[5][7] Naskah-naskah Āgama menganjurkan agar arca-arca Siwa dipahat membentuk sikap tribangga dan menghadap ke arah timur, seperti yang tampak pada kuil-kuil dari abad ke-8 sampai ke-12 M.[8]

Arca utama kuil Simhachalam, di dekat Visakhapatnam, yakni manusia-singa (Narasinga) titisan Batara Mahawisnu, tegak dalam sikap tribangga. Pada bagian belakang arca, terdapat prasasti bertarikh 1098, masa pemerintahan Raja Kulothungga dari Wangsa Chola. Arca Rama Tirumala di Kuil Venkateswara, Tirumala, Andhra Pradesh yang termasyhur itu juga dibuat dalam sikap tubuh yang sama.[9] Gaya pembuatan arca ini ikut terbawa bersama pengaruh budaya India sampai ke Tiongkok, sebagaimana yang tampak pada beberapa arca di Gua Maijishan dari penghujung zaman Wangsa Qin (384-417 M). Beberapa arca Buddha di Thailand juga dibuat dalam sikap tribangga (dalam posisi berbaring), demikian pula beberapa arca Bodhisatwa di Yakushi-ji, kuil kuno Agama Buddha di Nara, Jepang, yang didirikan pada 680 M, yakni pada Periode Hakuhō.

Rujukan

  1. ^ Varma, K. M. (1983). Myth of the so-called "tribhaṅga" as a "pose", or, The nature and number of bhaṅgas. Proddu. hlm. 15. 
  2. ^ "Glossary of Indian Art". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-04-05. Diakses tanggal 2017-05-31. 
  3. ^ Harding, Paul; Patrick Horton; Janine Eberle; Amy Karafin; Simon Richmond (2005). South India. Lonely Planet. hlm. 65. ISBN 1-74104-165-1. 
  4. ^ Dasa, Hayagriva (1985). The Hare Krishna explosion: the birth of Krishna consciousness in America, 1966-1969. Palace Press. hlm. 162. 
  5. ^ a b Sehgal, Sunil (1999). Encyclopaedia of Hinduism: (H - Q). Sarup & Sons. hlm. 868. ISBN 81-7625-064-3. 
  6. ^ Cf. Varma, K. M. Myth of the So-called ‘Tribhanga’ as a ‘Pose’. (Santiniketan, 1983).
  7. ^ Deva, Krishna (1990). Temples of Khajuraho, (Volume 1) Issue 5 of Architectural survey of temples. Archaeological Survey of India. hlm. 205. 
  8. ^ Kalia, Asha (1992). Art of Osian temples: socio-economic and religious life in India, 8th-12th centuries A.D. Abhinav Publications. hlm. 95. ISBN 0-391-02558-9. 
  9. ^ Dr N Ramesan (1981). The Tirumala Temple. Tirumala: Tirumala Tirupati Devasthanams. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya