Bayan berparuh-lebar atau bayan gagak(karena warnanya hampir mirip dengan gagak) (bahasa Inggris: broad-billed parrot, raven parrot;nama ilmiah: Lophopsittacus mauritianus) adalah spesies burung bayan besar yang telah punah. Burung ini termasuk ke dalam familiPsittaculidae. Spesies ini hidup di Mauritius,yang merupakan bagian dari Kepulauan Mascarenhas sebelah timur Madagaskar, Samudra Hindia. Tidak jelas apakah spesies ini memiliki kerabat dekat, namun ia diklasifikasikan sebagai anggota sukuPsittaculini bersama dengan burung bayan kepulauan Mascarenee lainnya. Spesies ini memiliki kemiripan dengan bayan Rodrigues (Necropsittacus rodricanus), sehingga mereka mungkin kerabat dekat.
Bayan berparuh lebar memiliki ukuran kepala lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya dan terdapat bulu jambul yang khas pada bagian depan kepala. Burung ini memiliki paruh yang sangat besar, mirip dengan paruh makaw hyacinth, sehingga membuatnya dapat memecahkan biji-bijian yang keras. Hasil penelitian terhadap tulang-tulang (subfosil) mengindikasikan bahwa spesies ini memiliki perbedaan ukuran yang besar pada ukuran kepala dan ukuran tubuh secara keseluruhan dengan burung-burung bayan yang masih hidup. Tidak diketahui secara pasti warna bulunya, namun catatan kontemporer mengindikasikan bayan berparuh-lebar memiliki beragam warna seperti kepala yang biru atau mungkin tubuh dan paruh berwarna merah. Burung ini diyakini seekor penerbang yang lemah, tapi bukan burung yang tak dapat terbang.
Burung bayan berparuh lebar pertama kali disebut sebagai "gagak India" dalam jurnal-jurnal kapal Belanda sejak 1598. Hanya sedikit catatan kontemporer dan tiga penggambaran yang ditemukan. Spesies ini pertama kali dijelaskan secara ilmiah dari sebuah subfosil rahang bawah pada 1866. Tetapi tidak sesuai/mirip dengan catatan-catatan lama sampai ditemukannya sketsa mendetail pada tahun 1601 yang cocok dengan subfosil dan catatan-catatan lama. Bayan berparuh-lebar telah punah pada abad ke-17 akibat penggundulan hutan, dimangsa oleh pendatang, dan mungkin juga oleh perburuan.
Taksonomi
Deskripsi burung bayan paruh lebar yang paling awal diketahui, dibuat oleh pelancong Belanda selama Ekspedisi Belanda Kedua ke Indonesia yang dipimpin oleh Laksamana Belanda Jacob Cornelis van Neck pada tahun 1598. Mereka muncul dalam laporan yang diterbitkan pada tahun 1601, yang juga berisi ilustrasi pertama tentang burung itu, bersamaan dengan seekor dodo. Deskripsi ilustrasi tersebut berbunyi: "5* Adalah burung yang kami sebut Gagak India. Dua kali lebih besar dari burung parkit dengan dua atau tiga warna".
Para pelaut Belanda yang mengunjungi Mauritius mengkategorikan burung bayan paruh lebar secara terpisah dari burung beo, dan menyebut mereka sebagai "gagak Indische" (diterjemahkan sebagai "gagak India") tanpa disertai deskripsi yang jelas sehingga menyebabkan kebingungan ketika jurnal mereka dipelajari.[1][2] Pelukis Belanda Jacob Savery tinggal di sebuah rumah di Amsterdam yang disebut "In de Indische Rave" (Bahasa Belanda untuk "gagak India") sampai 1602 (rumah-rumah Belanda memiliki papan nama, bukan angka pada saat itu). Meskipun dia dan saudaranya, pelukis Roelant Savery, tidak melukis atau membawa spesies ini dari Mauritius, mereka mungkin telah membaca atau mendengarnya dari kontak terakhir mereka dengan istana Kaisar Rudolf II ( Roelant melukis spesies Mauritius lainnya yang punah di kebun binatang kaisar).[3]
Seorang naturalis dari Inggris, Hugh Edwin Strickland, memasukkan "gagak India" ke famili rangkong kelompok Buceros pada tahun 1848, karena ia menafsirkan proyeksi di dahi pada ilustrasi 1601 sebagai tanduk.[1] Belanda dan Prancis juga menyebut Makaw Amerika Selatan sebagai "gagak India" selama abad ke-17. Dan nama itu juga digunakan untuk rangkong oleh penutur bahasa Belanda, Prancis, dan Inggris di Hindia Timur.[4] Pelancong Inggris Sir Thomas Herbert menyebut burung bayan paruh lebar sebagai "Cacatoes" (kakatua) pada tahun 1634, dengan deskripsi "burung seperti Parrats (Sic), ganas dan gigih". Tetapi naturalis tidak menyadari bahwa dia mengacu pada burung yang sama.[1]
Ketika subfosil burung bayan yang cocok dengan deskripsi ditemukan, ahli zoologi Prancis, Émile Oustalet, berpendapat pada tahun 1897 bahwa "gagak India" adalah rangkong yang sisa-sisanya menunggu penemuan. Ahli burung Mauritius France Staub mendukung gagasan ini hingga akhir 1993. Tidak ada sisa-sisa rangkong yang dapat ditemukan di pulau itu. Selain spesies yang punah dari Kaledonia Baru, rangkong tidak ditemukan di pulau oseanik mana pun.[4]
Fosil pertama yang diketahui dari burung bayan paruh lebar adalah subfosil rahang bawah yang dikumpulkan bersama dengan kumpulan tulang dodo (yang juga pertama kali ditemukan) di rawa Mare aux Songes.[5] Ahli biologi Inggris Richard Owen meneliti rahang bawah itu pada tahun 1866 dan mengidentifikasinya sebagai milik spesies burung beo besar, yang ia beri nama binomial Psittacus mauritianus.[6][7] Spesimen holotipe ini sekarang sudah hilang.[8]
Nama "burung bayan paruh lebar" pertama kali digunakan oleh Owen dalam sebuah kuliah tahun 1866.[9] Pada tahun 1868, tak lama setelah jurnal 1601 dari kapal Perusahaan Hindia Timur Belanda (Gelderland) ditemukan, ahli burung Jerman Hermann Schlegel memeriksa sketsa tersebut. Ia menyadari bahwa gambar (yang diyakini karya seniman Belanda, Joris Joostensz Laerle) dan gambaran burung bayan yang dijelaskan oleh Owen memiliki hubungan dengan catatan lama.
Karena tulang dan jambulnya sangat berbeda dari spesies Psittacus, ahli zoologi Inggris Alfred Newton memasukkannya ke dalam genusnya sendiri pada tahun 1875, yang ia sebut Lophopsittacus.[10]Lophos adalah kata Yunani Kuno untuk jambul, merujuk pada jambul bagian depan burung, dan psittakos berarti burung beo/bayan.[4][11] Fosil lainnya kemudian ditemukan oleh Theodore Sauzier, dan diteliti oleh ahli burung Inggris Edward Newton dan Hans Gadow pada tahun 1893. Fosil yang ditemukan ini terdapat bagian yang sebelumnya tidak diketahui seperti tulang dada, tulang paha, metatarsus, dan rahang bawah yang lebih besar.[12]
Pada tahun 1973, berdasarkan fosil yang ditemukan oleh naturalis amatir Prancis Louis Etienne Thirioux pada awal abad ke-20, ahli burung Inggris Daniel T. Holyoak menempatkan burung bayan Mauritian subfosil kecil dalam genus yang sama dengan burung bayan paruh lebar dan menamakannya Lophopsittacus bensoni.[13] Pada tahun 2007, berdasarkan perbandingan subfosil, terdapat hubungan antara catatan abad ke-17 dan ke-18 tentang burung beo abu-abu kecil sehingga Hume mengklasifikasikannya kembali sebagai spesies dalam genus Psittacula dan menyebutnya burung bayan abu-abu Thirioux.[4] Pada tahun 1967, ahli burung Amerika James Greenway berspekulasi bahwa laporan tentang burung bayan Mauritian abu-abu mengacu pada burung bayan paruh lebar.[14]
Evolusi
Afinitas (taksonomi) dari burung bayan paruh lebar belum ditentukan, mempertimbangkan rahangnya yang besar dan ciri-ciri osteologis lainnya. Newton dan Gadow menganggapnya berkerabat dekat dengan burung beo Rodrigues (Necropsittacus rodricanus) pada tahun 1893. Tetapi tidak dapat ditentukan apakah keduanya termasuk dalam genus yang sama, karena jambul ditemukan hanya dari penemuan terakhir.[12] Ahli burung Inggris, Graham S. Cowles, malah menemukan tengkorak mereka terlalu berbeda untuk menjadi kerabat dekat pada tahun 1987.[15]
Banyak burung yang hidup di Mascarene, termasuk dodo, memiliki nenek moyang asal Asia Selatan. Ahli paleontologi Inggris Julian P. Hume telah mengusulkan bahwa ini juga berlaku untuk semua burung beo di sana. Karena permukaan laut lebih rendah selama Pleistosen, sehingga spesies mungkin menjajah beberapa pulau yang saat itu kurang terisolasi.[16] Meskipun sebagian besar spesies burung bayan Mascarenes yang telah punah tidak banyak diketahui, sisa-sisa subfosil menunjukkan bahwa mereka memiliki ciri-ciri yang sama seperti kepala dan rahang yang membesar, tulang dada yang berkurang, dan tulang kaki yang kuat. Hume telah mengusulkan bahwa mereka memiliki asal yang sama dalam radiasisuku Psittaculini dengan alasan fitur morfologi dan fakta bahwa burung beo Psittacula telah berhasil menjajah banyak pulau terpencil di Samudera Hindia.[4] Psittaculini mungkin telah menginvasi daerah tersebut beberapa kali, karena banyak spesies yang sangat khusus sehingga mereka mungkin telah berevolusi secara signifikan di pulau-pulau hotspot sebelum Mascarene muncul dari laut.[16]
Deskripsi
Bayan berparuh-lebar memiliki jambul atau bulu depan yang khas. Tonjolan pada tengkoraknya mengindikasikan bahwa jambul tersebut terpasang dengan kuat; tak seperti kakatua, bayan berparuh-lebar tak dapat menaikkan atau menurunkan jambul ini.[8] Pada 2003, Hume mengkaji sketsa dari kapal Gelderland tahun 1601 dengan membandingkan lapisan tinta dengan sketsa pensil yang mendasarinya dan menemukan bahwa sketsa pensil menyajikan beberapa detail tambahan. Sketsa pensil menggambarkan jambul sebagai bulu melingkar yang melekat di bagian depan kepala di pangkal paruh, serta menunjukkan bulu penutup primer yang panjang, bulu sekunder yang besar, dan ekor yang sedikit bercabang.[17] Pengukuran subfosil yang ditemukan pada 1893 menunjukkan bahwa rahang bawahnya memiliki panjang 65–78 milimeter (2,6–3,1 in), lebar 65 mm (2,6 in), tulang pahanya memiliki panjang 58–63 mm (2,3–2,5 in), tulang keringnya berukuran 88–99 mm (3,5–3,9 in), dan jari kaki berukuran 35 mm (1,4 in).[12] Tak seperti bayan Mascarene lainnya, Lophopsittacus mauritianus memiliki tengkorak yang rata.[8]
Subfosil menunjukkan bahwa pejantan berukuran lebih besar, yaitu 55–65 sentimeter (22–26 in), sementara betinanya berukuran 45–55 cm (18–22 in). Kedua jenis kelamin tersebut memiliki ukuran kepala dan paruh yang tidak proporsional. Perbedaan ukuran tengkorak antara pejantan dan betina merupakan dimorfisme seksual yang terbesar di kalangan bayan.[8] Perbedaan pada tulang-tulang lainnya kurang terlihat; meskipun demikian, dimorfisme seksual tulang-tulangnya lebih besar dibandingkan bayan yang hidup saat ini. Perbedaan ukuran antara dua burung dalam sketsa tahun 1601 mungkin disebabkan oleh karakteristik ini.[18] Sebuah catatan pelaut Belanda Reyer Cornelisz tahun 1602 awalnya ditafsirkan sebagai satu-satunya penyebutan kontemporer tentang perbedaan ukuran pada bayan berparuh-lebar, yang mencantumkan "gagak India besar dan kecil" dalam teks yang merincikan hewan-hewan di pulau tersebut. Transkrip lengkap dari teks aslinya baru dipublikasikan pada 2003 dan ternyata ada kesalahan penempatan tanda koma dalam terjemahan bahasa Inggrisnya; "besar dan kecil" seharusnya merujuk pada "ayam betina lapangan", yang mungkin adalah mandar merah dan mandar pohon Sauzier yang lebih kecil.[19]
Muncul beberapa kebingungan tentang warna bayan berparuh-lebar.[20] Laporan pelayaran van Neck tahun 1598, yang terbit pada 1601, berisi ilustrasi pertama dari bayan tersebut, dengan sebuah takarir yang menyatakan bahwa burung tersebut memiliki "dua atau tiga warna".[21] Catatan terakhir tentang burung tersebut, dan satu-satunya penyebutan warna yang spesifik, adalah dari Johann Christian Hoffman pada tahun 1673–1675:
Terdapat juga angsa, flamingo, tiga spesies merpati dengan beragam warna, parkit hijau dan burik, gagak merah dengan paruh melengkung dan kepala biru, yang terbang dengan susah payah dan diberi nama 'gagak India' oleh Belanda.[21]
Terlepas dari penyebutan beberapa warna, para penulis seperti naturalis Inggris Walter Rothschild mengklaim bahwa jurnal Gelderland mendeskripsikan burung tersebut seluruhnya berwarna biru keabu-abuan, dan ia menuliskan warna tersebut dalam bukunya yang terbit pada tahun 1907, Extinct Birds.[22] Pemeriksaan selanjutnya terhadap jurnal tersebut oleh Julian Hume hanya mengungkapkan deskripsi burung dodo. Ia berpendapat bahwa penggambaran bagian wajah yang berbeda mungkin mewakili warna yang berbeda.[17] Ahli ekologi Inggris Anthony S. Cheke pada tahun 2007 berpendapat bahwa selain dimorfisme ukuran, kedua jenis kelamin mungkin memiliki warna yang berbeda, yang menjelaskan beberapa perbedaan dalam deskripsi lama.[23] Kepalanya jelas berwarna biru, dan pada 2007, Hume menyatakan bahwa paruhnya mungkin berwarna merah, dan sisanya berwarna keabu-abuan atau kehitam-hitaman, seperti yang ditemukan pada anggota Psittaculini lainnya.[8]
Pada tahun 2016, sebuah terjemahan dari laporan tahun 1660-an yang ditulis oleh tentara Belanda Johannes Pretorius tentang persinggahannya di Mauritius (dari 1666 hingga 1669) diterbitkan. Dalam laporan ini, ia mendeskripsikan burung ini "berwarna sangat indah". Hume kemudian menafsirkan ulang catatan Hoffman dan menyatakan bahwa bayan berparuh-lebar mungkin berwarna cerah dengan tubuh merah, kepala biru, dan paruh merah; burung ini diilustrasikan demikian dalam makalah Hume. Adanya kemungkinan bahwa bulu yang mengkilap atau berkilauan warna-warni yang dapat berubah-ubah tergantung sudut cahaya juga dapat memberikan kesan bahwa spesies ini mungkin memiliki lebih banyak warna.[24] Ahli burung Australia Joseph M.Forshaw pada 2017 menyetujui bahwa paruhnya berwarna merah (setidaknya pada burung jantan), tetapi menafsirkan catatan Hoffman sebagai warna coklat kemerahan yang lebih lembut secara umum, dengan kepala abu-abu kebiruan pucat, mirip dengan bayan Mascarene. Burung ini menunjukkan warna-warna bercahaya yang tampak berubah jika dilihat dari berbagai sudut.[25]
Perilaku dan ekologi
Johannes Pretorius (di Mautirius dari 1666 sampai 1669) memelihara berbagai burung Mauritius yang sekarang punah, dan menjelaskan perilaku bayan berparuh-lebar sebagai berikut:
Gagak-gagak India memiliki warna yang sangat indah. Mereka tak dapat terbang dan tidak mudah untuk ditemukan. Burung jenis ini memiliki watak yang sangat buruk. Ketika ditangkap, mereka menolak untuk makan dan lebih memilih mati dari pada hidup di penangkaran.[24]
Meskipun bayan berparuh-lebar mungkin mencari makan di permukaan tanah dan menjadi penerbang yang lemah, tulang tarsometatarsusnya pendek dan kokoh, yang menyiratkan karakteristik arboreal. Newton bersaudara dan banyak penulis setelah mereka menyatakan bahwa spesies ini tak dapat terbang karena sayapnya yang pendek dan berukuran besar, sebagaimana ditampilkan dalam sketsa Gelderland tahun 1601. Menurut Hume, sketsa pensil yang mendasari ilustrasi tersebut sebenarnya menampilkan bahwa sayapnya tak terlalu pendek. Sayapnya tampak besar, sebagaimana spesies lainnya yang beradaptasi terhadap hutan, dan memiliki alula yang tampak besar, karakteristik dari burung yang terbang lambat. Lunas pada tulang dadanya pendek, tetapi tak cukup pendek untuk membuatnya tidak bisa terbang karena bayan terbang Cyanoramphus juga memiliki lunas yang pendek, dan bahkan kakapo yang tak dapat terbang, dengan lunasnya yang vestigial, dapat meluncur (terbang layang).[8] Selain itu, catatan Hoffman menyatakan bahwa spesies ini dapat terbang meskipun dengan kesulitan, dan ilustrasi pertama yang diterbitkan menunjukkan bahwa bayan berparuh-lebar berada di atas pohon, sebuah posisi yang tak memungkinan untuk seekor burung yang tak dapat terbang.[17] Burung ini mungkin berperilaku nyaris tak dapat terbang, seperti kaka Pulau Norfolk yang sekarang punah.[24]
Dimorfisme seksual dalam ukuran paruh mungkin memengaruhi perilaku burung ini. Dimorfisme semacam ini merupakan hal umum pada bayan lainnya, contohnya kakatua palem dan kaka Selandia Baru. Pada spesies yang memiliki dimorfisme seksual pada paruh, perbedaan jenis kelamin menentukan perbedaan ukuran makanan, pejantan memakai paruhnya dalam ritual, atau jenis kelamin memiliki peran khusus dalam pembuatan sarang dan pengeraman. Selain itu, perbedaan ukuran kepala pejantan dan betina terrefleksi dalam ekologi setiap jenis kelamin, meskipun tak mungkin ditentukan.[8][26]
Pada 1953, pakar ornitologi asal Jepang Masauji Hachisuka menyatakan bahwa bayan berparuh-lebar bersifat nokturnal, seperti kakapo dan bayan malam, dua bayan penghuni tanah yang ada. Catatan kontemporer tak membandingkan hal tersebut, dan orbit dari ukuran yang sama dari spesies bayan diurnal lainnya.[8]Lophopsittacus mauritianus tercatat tinggal di wilayah kering Mauritius, yang dapat diakses oleh masyarakat, dan menyatakan babwha burung-burung tersebut paling sering ditemukan di dekat pantai, yang mengindikasikan bahwa fauna dari wilayah semacam itu lebih beragam. Spesies tersebut bersarang di celah pohon atau batu, seperti amazon Kuba. Istilah raven atau crow (gagak) disugestikan oleh kicauan keras burung tersebut, perilakunya, atau warna gelapnya.[8] Deskripsi oleh Jacob Granaet dari tahun 1666 berikut ini menyebutkan beberapa Lophopsittacus mauritianus yang tinggal dihutan, dan dapat mengindikasikan sifatnya:
Di dalam hutan terdapat burung beo, kura-kura dan merpati liar lainnya. Ada juga burung gagak yang nakal dan luar biasa besar [burung bayan paruh lebar], elang, kelelawar dan burung lain yang belum pernah saya lihat sebelumnya.[21]
Spesies yang secara morfologi mirip dengan Lophopsittacus mauritianus, seperti makaw hyacinth dan kakatua palem, menyediakan penglihatan dalam ekologinya. Makaw Anodorhynchus, yang menghuni tanah habitual, menyantap kacang palem yang sangat keras.[8] Carlos Yamashita bersugesti bahwa makaw-makaw tersebut sempat bergantung pada megafauna Amerika Selatan yang sekarang punah untuk menyantap buah-buahan dan memecahkan biji, dan mereka kemudian dibantu sapi-sapi jinak untuk melalukannya. Selain itu, di Australasia, kakatua palem menyantap biji-biji tak dicerna yang dijatuhkan kasuari.[8] Yamashita bersugesti bahwa kura-kura Cylindraspis dan dodo menunjukkan fungsi yang sama di Mauritius, dan bahwa Lophopsittacus mauritianus, dengan paruh mirip makaw-nya, bergantung pada mereka untuk meraih biji yang bersih.[30] Beberapa jenis palem dan tumbuhan mirip palem di Mauritius menghasilkan biji-bijian keras yang dapat disantap oleh Lophopsittacus mauritianus, yang meliputi Latania loddigesii, Mimusops maxima, Sideroxylon grandiflorum, Diospyros egrettorium, dan Pandanus utilis.[8]
Atas dasar radiografi, D. T. Holyoak mengklaim bahwa rahang bawahLophopsittacus mauritianus berrekonstruksi lunak dan bersugesti bahwa spesies tersebut lebih dapat menyantap buah-buahan lunak ketimbang biji-bijian biji-bijian keras.[31] Sebagai buktinya, ia menekankan bahwa trabeculae internalnya sangat berrongga, sehinga rahang atasnya luas sementara palatinnya sempit, fakta bahwa tak ada rostrum atas yang ditemukan, yang ia atributkan kepada kelincahannya.[32] Namun, G. A. Smith menekankan bahwa empat genera Holyoak yang dipakai sebagai contoh bayan "berrahang kuat" berdasarkan pada radiografi, Cyanorhamphus, Melopsittacus, Neophema dan Psephotus, sebetulnya memiliki rahang kuat pada masa hidupnya, dan morfologi yang dikutip oleh Holyoak tak mengindikasikan kekuatan.[33] Hume juga menekankan bahwa morfologi rahang bawah dari Lophopsittacus mauritianus berbanding dengan bayan terbesar yang masih hidup, makaw hyacinth, yang dapat membuka kacang palem dengan mudah. Sehingga, Lophopsittacus mauritianus mungkin juga menyantap dengan cara yang sama.[34]
Kepunahan
Meskipun Mauritius sebelumnya dikunjungi oleh kapal-kapal Arab pada Abad Pertengahan dan kapal-kapal Portugis antara 1507 dan 1513, mereka tak bermukim di pulau tersebut.[35] Kekaisaran Belanda menguasai pulau tersebut pada 1598, memberikannya sebutan yang mengambil nama dari Maurice dari Nassau, dan saat ikut memakainya untuk persinggahan kapal-kapal dagang VOC.[36] Menurut para pelaut Belanda yang mengunjungi Mauritius dari tahun 1598, fauna tersebut biasanya diminati karena rasanya yang enak.[20] Dari delapan spesies bayan atau lebih yang menjadi endemik di Mascarene, hanya parkit echo (Psittacula echo) dari Mauritius yang masih ada. Bayan lainnya tampaknya punah akibat kombinasi perburuan berlebihan dan penggundulan hutan.[8]
Karena kurang mampu terbang, ukurannya yang besar dan mungkin memiliki sifat ketergantungan pulau, Lophopsittacus mauritianus dengan mudah ditangkap para pelaut yang mengunjungi Mauritius, dan sarang mereka sangat rentan terhadap predasi dari makaka pemakan kepiting dan tikus yang terbawa. Berbagai sumber mengindikasikan bahwa unggas tersebut bersifat agresif, yang menjelaskan kenapa spesies tersebut tidak dapat bertahan lama melawan hewan-hewan yang terbawa secara keseluruhan. Unggas tersebut diyakini telah punah pada 1680an, saat palem-palem yang dapat bertahan hidup ditanam dalam skala besar. Tak seperti spesies bayan lainnya, yang sering kali dijadikan hewan peliharaan oleh para pelaut, tak ada catatan dari Lophopsittacus mauritianus yang dibawa dari Mauritius yang hidup atau mati, mungkin karena stigma yang diasosiasikan dengan gagak.[8][24] Unggas-unggas tersebut tak akan bertahan hidup dalam perjalanan semacam itu jika mereka menolak untuk menyantap apapun selain biji-bijian.[30]
^Winters, R. (2020). "The Dutch East India Company and the Transport of Live Exotic Animals in the Seventeenth and Eighteenth Centuries". Animal Trade Histories in the Indian Ocean World: 49–54. doi:10.1007/978-3-030-42595-1_2. ISBN978-3-030-42594-4.
^Greenway, J. C. (1967). Extinct and Vanishing Birds of the World. New York: American Committee for International Wild Life Protection 13. hlm. 126. ISBN978-0-486-21869-4.
^ abcHume, J. P. (2003). "The journal of the flagship Gelderland – dodo and other birds on Mauritius 1601". Archives of Natural History. 30 (1): 13–27. doi:10.3366/anh.2003.30.1.13.
^ abcdHume, J. P.; Winters, R. (2015). "Captive birds on Dutch Mauritius: Bad-tempered parrots, warty pigeons and notes on other native animals". Historical Biology. 28 (6): 1. doi:10.1080/08912963.2015.1036750.
^Holyoak, D. T. (1971). "Comments on the extinct parrot Lophopsittacus mauritianus". Ardea. 59: 50–51.
^Holyoak, D. T. (1973). "Comments on taxonomy and relationships in the parrot subfamilies Nestorinae, Loriinae and Platycercinae". Emu. 73 (4): 157–176. doi:10.1071/MU973157.
^Schaper, M. T.; Goupille, M. (2003). "Fostering enterprise development in the Indian Ocean: The case of Mauritius". Small Enterprise Research. 11 (2): 93. doi:10.5172/ser.11.2.93.