Kaisar Mughal, dari awal abad ke-16 sampai awal abad ke-18, membangun dan memerintah Kekaisaran Mughal di anak benua India, utamanya meliputi negara-negara modern Bangladesh, India dan Pakistan. Mughal adalah cabang dari dinasti Timuriyah. Kekuasaan mereka makin meredup pada abad ke-18 dan kaisar terakhir dilengserkan pada 1857, dengan pendirian Kemaharajaan Britania.[1] Dinasti tersebut memiliki darah Turko-Mongol dari kawasan Asia Tengah yang sekarang bagian dari negara modern Uzbekistan, dan para kaisar diklaim keturunan langsung dari Timur Lenk (umumnya dikenal di dunia Barat dengan sebutan Tamerlane Agung) dan Genghis Khan, melalui putranya Chagatai Khan.
Mughal memiliki darah Persia dan Rajput India melalui aliansi pernikahan, karena para kaisar lahir dari putri-putri raja Persia dan Rajput.[2][3] Hanya dua kaisar Mughal pertama, Babur dan Humayun, yang sepenuhnya merupakan orang Asia Tengah, sementara Akbar adalah orang setengah Persia, Jahangir adalah orang setengah Rajput dan seperempat Persia, dan Shah Jahan adalah orang tiga per empat Rajput.[4]
Di puncak kejayaan kekaisaran mereka pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, mereka menguasai sebagian besar anak benua India, yang terbentang dari Bengal di timur sampai Kabul dan Sindh di barat, Kashmir di utara sampai cekungan Kaveri di selatan.[5] Populasinya pada masa ikut diperkirakan antara 110 an 150 juta (seperempat populasi dunia), pada wilayah lebih dari 3.2 juta kilometer persegi (1.2 juta mil persegi).[6]
Kekaisaran Mughal
Kekaisaran Mughal didirikan oleh Babur, seorang penguasa Asia Tengah yang merupakan keturunan dari penakluk Turki-Mongol Timur Lenk dari pihak ayahnya dan dari Chagatai, putra kedua penguasa Mongol Genghis Khan, dari pihak ibunya.[7] Diusir dari wilayah leluhurnya di Asia Tengah olehy Uzbek Khan, Pangeran Babur pada usia 14 tahun datang ke India untuk mewujudkan ambisi-ambisinya. Ia mengangkat dirinya sendiri di Kabul dan kemudian secara cepat menekan ke kawasan selatan India dari Afghanistan melalui Perlintasan Khyber.[7] Pasukan Babur menduduki sebagian besar utara India setelah kemenangannya di Panipat pada 1526.[7] Namun, pra-pendudukan dengan perang dan kampanye militer tak membuat kaisar baru tersebut mengkonsolidasikan raihan yang ia dapat di India.[7] Ketidakstabilan kekaisaran menjadi bukti di bawah putranya, Humayun, yang ditekan dari India dan ke Persia oleh para pemberontak.[7] Pengasingan Humayun di Persia mendirikan hubungan diplomatik antara Safawiyah dan Mughal, dan berujung pada meningkatnya pengaruh budaya Asia Barat di pemerintahan Mughal. Restorasi pemerintahan Mughal dimulai setelah Humayun kembali dari Persia pada 1555, tetapi ia wafata akibat kecelakaan fatal tak lama setelahnya.[7] Putra Humayun, Akbar, meneruskan tahta tersebut di bawah seorang wali raja, Bairam Khan, yang membantu mengkonsolidasikan Kekaisaran Mughal di India.[7]
Melalui perang dan diplomasi, Akbar dapat meluaskan kekaisaran tersebut di seluruh arah, dan menguasai hampir seluruh anak benua India di utara sungai Godawari. Ia membuat kelas baru dari bangsawan yang setia kepadanya dari arsitokrasi militer dari kelompok-kelompok sosial India, menerapkan pemerintahan modern dan mendukung pengembangan kebudayaan.[7] Pada saat yang sama, Akbar mengintensifikasikan perdagangan dengan perusahaan-perusahaan dagang Eropa. Sejarawan India Abraham Eraly menyatakan bahwa bangsa-bangsa asing sering kali ditunjang oleh kekayaan melimpah dari pemerintahan Mughal, tetapi menyoroti bahwa pemerintahan tersebut menyembunyikan kenyataan-kenyataan yang lebih glap, yakni tentang seperempat keuntungan produk nasional kekaisaran tersebut dimiliki oleh 655 keluarga sementara sebagian besar 120 juta orang di India hidup dalam kemiskinan.[8] Setelah mengalami apa yang menjadi perebakan epileptik pada tahun 1578 saat berburu harimau, yang ia anggap sebagai pengalaman keagamaan, Akbar makin melonggarkan Islam, dan untuk mendorong perpaduan sinkretistik dari Hindu dan Islam.[9] Akbar membolehkan kebebasan berekspresi keagamaan dan berupaya untuk menyelesaikan perbedaan sosio-politik dan kebudayaan di kekaisarannya dengan mendirikan sebuah agama baru, Din-i-Ilahi, dengan karakteristik kaut dari pemujaan penguasa.[7] Ia meninggalkan para penerusnya sebuah negara yang stabil secara internal, pada pertengahan masa keemasannya, sebelum masa ketegangan politik timbul.[7] Putra Akbar, Jahangir, yang memerintah kekaisaran tersebut pada masa puncaknya, tetapi karena ia kecanduan opium, urusan kenegaraan menjadi terbengkalai, dan menjadi berada di bawah pengaruh para pejabat pemerintahan saingan.[7] Pada masa pemerintahan putra Jahangir, Shah Jahan, budaya dan perkembangan pemerintahan mewah Mughal mencapai puncaknya saat Taj Mahal dibangun.[7] Pada masa itu, keutamaan pemerintahan dimulai untuk pembiayaan melebihi pendapatan.[7]
Putra sulung Shah Jahan, Dara Shikoh yang liberal, menjadi pemangku raja pada tahun 1658, karena ayahnya sakit. Namun, adiknya, Aurangzeb, bersekutu dengan kalangan Islam ortodoks melawan kakaknya, yang menentang agama dan budaya Hindu-Muslim sinkretis, dan naik tahta. Aurangzeb mengalahkan Dara pada tahun 1659 dan dieksekusi.[7] Meskipun Shah Jahan sepenuhnya pulih dari penyakitnya, Aurangzeb mendeklarasikannya tak kompeten untuk memerintah dan memenjarakannya. Pada masa pemerintahan Aurangzeb, kekaisaran tersebut meraih lebih banyak kekuatan politik, tetapi konservatisme dan intoleransi keagamaannya menjatuhkan stabilitas masyarakat Mughal.[7] Aurangzeb meluaskan kekaisaran tersebut untuk melingkupi hampir seluruh Asia Selatan, tetapi di kematiannya pada tahun 1707, beberapa bagian kekaisaran terjerumus dalam pemberontakan terbuka.[7] Usaha-usaha Aurangzeb untuk menaklukkan kembali tanah-tanah leluhur keluarganya di Asia Tengah tak berhasil sementara penaklukan suksesnya di kawasan Deccan berujung pada kemenangan Pyrrhic yang sangat menghabiskan biaya kekaisaran dalam hal darah dan harta benda.[10] Masalah lanjutan bagi Aurangzeb adalah ketentaraan yang selalu berbasis pada aristokrasi kepemilikan tanah India utara yang mengerahkan kavaleri untuk kampanye-kampanye, dan kekaisaran tersebut tak memiliki pasukan yang setara dengan pasukan Janisari dari Kekaisaran Utsmaniyah.[11] Penaklukan yang lama dan menghabiskan biaya dari Deccan telah sangat memeloroti "aura sukses" yang mengelilingi Aurangzeb, dan dari akhir abad ke-17 dan seterusnya, kalangan aristokrasi menjadi makin tak berkehendak untuk menyediakan pasukan bagi peperangan kekaisaran tersebut karena menganggap wilayah hasil dari perang sukses tampak makin lama makin berkurang.[12] Selain itu, fakta bahwa akibat dari penaklukan Deccan, yang sangat selektif memberikan beberapa keluarga bangsawan dengan tanah rampasan di Deccan telah membuat mengabaikan para aristokrat yang tak meraih tanah rampasan sebagai pemberian dan karena penaklukan Deccan benar-benar menghabiskan biaya, dirasa makin mengurungkan dan tak mengkehendaki keikutsertaan dalam kampanye-kampanye lanjutan.[13] Putra Aurangzeb, Shah Alam, mengulang kebijakan-kebijakan keagamaan dari ayahnya, dan berupaya untuk mereformasi pemerintahan. Namun, setelah ia meninggal pada 1712, dinasi Mughal jatuh dalam pertikaian dan kekerasan. Pada tahun 1719 sendiri, empat kaisar secara bergantian memegang tahta.[7]
Pada masa pemerintahan Muhammad Shah, kekaisaran tersebut mulai terpecah, dan sebagian besar wilayah India tengah diserahkan dari Mughal ke Maratha. Perang Mughal selalu berbasis pada artileri berat untuk pengepungan, kavaleri berat untuk operasi ofensif dan kavaleri ringan untuk penyerbuan dan peredaman.[10] Untuk mengendalikan sebuah wilayah, Mughal selalu berusaha untuk menduduki benteng strategis di beberapa kawasan, yang akan dijadikan sebagai titik penting dimana tentara Mughal akan ditempatkan saat musuh manapun menantang kekaisaran tersebut.[10] Sistem ini tak hanya menghabiskan biaya, tetapi juvga membuat tentara menjadi tak fleksibel karena asumsi selalu membuat musuh akan menarik diri ke dalam benteng untuk dikepung atau akan mengadakan pertempuran desisif dari pengosongan medan terbuka.[10] Hindu Maratha militan adalah pakar pasukan kuda yang menolak ikut serta dalam pertempuran, tetapi lebih sering ikut serta dalam kampanye-kampanye perang gerilya, perang penyerbuan, penyergapan dan serangan terhadap garis-garis suplai Mughal.[10] Maratha tak dapat mengambil alih benteng Mughal melalui penyerbuan atau pengepungan formal karena mereka kekurangan artileri, tetapi melalui secara diam-diam memeriksa kolom-kolom suplai, mereka dapat menyerang benteng-benteng Mughal melalui cara tersebut.[10] Para komandan Mughal suksesif menolak untuk membeberkan taktik-taktik mereka dan mengembangkan strategi kontra-pemerontakan yang disahkan, yang berujung pada kekalahan Mughal terhadap Maratha.[10]Kampanye India oleh Nader Shah dari Persia berpuncak dengan Kejatuhan Delhi dan memusnahkan sisa-sisa kekuatan dan ketonjolan Mughal,[7] serta secara drastis mengakselerasikan penurunannya dan memperingatkan para penginvasi jauh lainnya, termasuk kemudian Inggris. Beberapa kalangan elit kekaisaran sekarang memegang kontrol urusan mereka sendir, dan terpecah untuk membentuk kerajaan-kerajaan independen.[7] Namun, Kaisar Mughal masih menjadi manifestasi tertinggi dari kedaulatan. Tak hanya priyayi Muslim, tetapi para pemimpin Maratha, Hindu, dan Sikh ikut serta dalam pagelaran seremonial kaisar sebagai penguasa India.[14]
Pada dekade-dekade berikutnya, bangsa Afghan, Sikh dan Maratha bertarung melawan satu sama lain dan Mughal, satu-satunya negara terfragmentasi dari kekaisaran tersebut. Kaisar Mughal Shah Alam II membuat upaya untuk memulihkan penurunan Mughal, dan secara mutlak telah memberikan perlindungan dari kekuatan-kekuatan luar. Pada tahun 1784, pasukan Maratha di bawah kepemimpinan Mahadji Scindia memenangkan kesepakatan sebagai pelindung dari kaisar di Delhi, sebuah keadaan masih berlanjut sertelah Perang Inggris-Maratha Kedua. Setelah itu, British East India Company menjadi pelindung dinasti Mughal di Delhi.[14] Setelah pemberontakan pecah yang berujung pada tahun 1857–58, Kaisar Mughal terakhir, Bahadur Shah Zafar, dilengserkan oleh pemerintah Inggris, yang kemudian memegang kekuasaan formal dari sebagian besar bekas kekaisaran tersebut,[7] menandai permulaan Kemaharajaan Britania.
Humayun dilengserkan pada 1540 oleh Sher Shah Suri dari dinasti Suri namun kembali ke tahta pada tahun 1555 setelah kematian Islam Shah Suri (putra dan penerus Sher Shah Suri).
Mengeluarkan firman kepada East India Company pada 1717 yang memberikan mereka hak dagang bea cukai untuk Bengal, menguatkan pos-pos mereka di pantai timur. Firman atau dekrit tersebut membantu perusahaan British East India mengimpor barang-barang ke Bengal tanpa membayar bea cukai kepada pemerintah.
Memajukan Syed Bersaudara. Menghadapi perang panjang dengan Maratha, kehilangan Deccan dan Malwa dalam prosesnya. Mengalami invasi Nader Shah dari Persia pada 1739. Ia merupakan kaisar terakhir yang memegang kontrol efektif atas kekaisaran tersebut.
Catatan:Para Kaisar Mughal menerapkan poligami. Disamping para istri mereka, mereka juga memiliki sejumlah selir di harem mereka, yang menghasilkan anak-anak. Ini menjadikannya sulit untuk mengidentitfikasi seluruh keturunan dari setiap kaisar.[19]
Silsilah keluarga
Silsilah keluarga dari tujuh kaisar Mughal pertama:
^Eraly, Abraham The Mughal Throne The Sage of India's Great Emperors, London: Phonenix, 2004 page 520.
^Eraly, Abraham The Mughal Throne The Sage of India's Great Emperors, London: Phonenix, 2004 page 191.
^ abcdefgD'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from Social Scientist, Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 page 21.
^D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from Social Scientist, Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 page 22.
^D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from Social Scientist, Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 pages 22-23.
^D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from Social Scientist, Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 pages 21-22.
^Emperor of Hindustan Jahangir (2010). The Tuzuk-I-Jahangiri; Or, Memoirs of Jahangir Translated by Alexander Rogers Edited by Henry Beveridge. General Books LLC. hlm. 18. ISBN978-1-152-49040-6.
^Mohammada, Malika (January 1, 2007). The Foundations of the Composite Culture in India. Aakar Books. hlm. 300. ISBN978-8-189-83318-3.
Majumdar, R. C. (ed.), The History and Culture of the Indian People, Volume VI, The Delhi Sultanate, Bombay, 1960; Volume VII, The Mughal Empire, Bombay, 1973.