Kekayaan riil didefinisikan oleh Arthur Cecil Pigou sebagai penjumlahan dari jumlah uang beredar dan obligasi pemerintah dibagi dengan tingkat harga. Pigou berpendapat bahwa teori umumKeynes sangat lemah dalam menentukan hubungan keseimbangan riil dengan konsumsi saat ini dan penyertaan efek kesejahteraan seperti efek Pigou akan membuat keseimbangan ekonomi menjadi sesuai dengan mekanisme pasar sehingga menurunkan permintaan agregat dari perkiraan Keynes.[4] Karena efeknya berasal dari perubahan keseimbangan riil, kritik terhadap Keynesianisme ini juga disebut sebagai Efek Keseimbangan Riil.[5]
Sejarah
Efek Pigou pertama kali dipopulerkan oleh Arthur Cecil Pigou pada tahun 1943, dalam artikel berjudul The Classic Stationary State di Jurnal Ekonomi Universitas Oxford.[6] Pigou telah mengusulkan teori tentang hubungan neraca keseimbangan pasar terhadap konsumsi dan Gottfried Haberler mengajukan teori serupa setahun setelah terbitan buku Teori Umum oleh Keynes.[7]
Mengikuti mazhab ekonomi klasik, Pigou menyukai gagasan peningkatan ekonomi sesuai mekanisme pasar yang akan memulihkan ekonomi dalam banyak kasus, meskipun Pigou tetap mengakui bahwa pembentukan harga yang kaku mungkin masih mencegah pengembalian ke tingkat output alami setelah goncangan permintaan terhadap barang dan jasa. Pigou melihat efek keseimbangan riil sebagai mekanisme untuk menggabungkan model Keynesian dan klasik.[8]
Integrasi dengan permintaan agregat Keynesian
John Keynes berpendapat bahwa penurunan permintaan agregat dapat menurunkan kesempatan kerja dan tingkat harga secara bersamaan, suatu kejadian yang sering terjadi dalam deflasibesar-besaran.[9] Dalam model kurva pasar barang dan pasar uang (IS-LM) yang diadaptasi dari teori keynesian sebagaimana diformalkan oleh John Hicks,[10] kejutan permintaan agregat negatif akan menggeser kurva IS ke kiri; akibatnya upah dan tingkat harga yang turun secara simultan akan menggeser kurva LM ke kanan karena meningkatnya pasokan uang riil yang disebut sebagai efek Keynes.[11] Efek Pigou pada gilirannya akan mencegah penurunan permintaan agregat, melalui peningkatan neraca keseimbangan riil saat kenaikan pengeluaran melalui efek pendapatan, sehingga menggeser kurva IS kembali ke kanan.[12]
Hipotesis Pigou terhadap jebakan likuiditas
Jebakan likuiditas (liquidity trap) tidak bisa mendorong sektor moneter untuk meningkatkan output karena hanya ada sedikit hubungan antara pendapatan dan permintaan uang.[13]John Hicks berpendapat bahwa jebakan likuiditas adalah alasan utama (bersama dengan harga yang kaku) yang menyebabkan kenaikan jumlah pengangguran secara terus-menerus.[10] Namun, efek Pigou menciptakan suatu solusi untuk keluar dari jebakan likuiditas, yaitu keseimbangan pasar tenaga kerja di bawah tingkat pekerjaan penuh (tingkat alami yang sesuai mekanisme pasar) hanya dapat terjadi jika harga dan upah kaku secara bersamaan.[14][15]
Kritik Kalecki tentang efek Pigou
Efek Pigou dikritik oleh Michał Kalecki karena penyesuaian terhadap keseimbangan riil sesuai mekanisme pasar yang sesuai dengan ekonomi klasik akan menyebabkan meningkatkanya hutang nilai riil sehingga akibatnya akan menyebabkan kebangkrutan sektor grosir dan krisis kepercayaan dari investor.[16]
Efek Pigou dan deflasi Jepang
Jika efek Pigou diterapkan oleh Bank Sentral Jepang tentang kebijakan suku bunga nominal mendekati nol di Jepang pada awal 1990-an, kemungkinan besar dapat mengakhiri krisis deflasi 1990-an lebih cepat.[17][18]
Bukti dari efek Pigou yang dapat menjelaskan deflasi Jepang yaitu suatu fenomena umum di masyarakat Jepang pada tahun 1980-an hingga 1990-an suka menunda pembelian supaya harga-harga barang menjadi jatuh. Efek Pigou menjelaskan bahwa penurunan harga barang sesuai mekanisme pasar akan membuat konsumen merasa lebih kaya dan cenderung meningkatkan pengeluaran.[17][18]
Utang pemerintah dan efek Pigou
Robert Barro berpendapat bahwa kesetaraan Ricardian (Ricardian equivalence) dengan adanya motif hibah, masyarakat tidak tertipu dengan berpikir mereka akan lebih kaya ketika pemerintah menerbitkan dan menjual obligasi kepada masyarakat, karena surat obligasi pemerintah harus dibayar dari peningkatan pajak di masa depan.[19] Oleh karena itu, Barro berpendapat bahwa pada tingkat tertentu pada ekonomi mikro, tingkat kesenjangan akan berkurang dengan bagian dari hutang yang diambil oleh pemerintah nasional. Akibatnya obligasi tidak boleh dianggap sebagai bagian dari kekayaan bersih di tingkat ekonomi makro. Hal tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada cara bagi pemerintah untuk menciptakan fenomena efek Pigou dengan menerbitkan obligasi, karena tingkat kekayaan agregat tidak akan meningkat.[19]
^Kalecki, Michael (1944). "Professor Pigou on the "Classical Stationary State" A Comment". The Economic Journal. 54 (213): 131–132. doi:10.2307/2959845. JSTOR2959845.