Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Kodokushi

Kodokushi (孤独死) atau mati kesepian mengacu pada fenomena orang Jepang yang mati sendirian dan tidak ditemukan untuk jangka waktu yang lama.[1] Fenomena ini pertama kali dijelaskan pada 1980-an.[1] Kodokushi telah menjadi masalah yang semakin meningkat di Jepang dan fenomena ini sering dikaitkan dengan masalah ekonomi serta populasi orang tua Jepang yang semakin meningkat.[1][2] Fenomena ini juga dikenal sebagai koritsushi (孤立死) – "mati terisolasi", dan dokkyoshi (独居死) – "mati sendirian".

Sejarah

Kodokushi pertama kali didokumentasikan di surat kabar Jepang selama tahun 1970-an, dan studi yang mengeksplorasi fenomena tersebut dimulai sejak tahun 1973. Studi tentang Kodokushi tersebut didasarkan pada survei yang dilakukan oleh Dewan Kesejahteraan Sosial Nasional dan Persatuan Nasional Komisaris Kesejahteraan Distrik Sukarela.[3] Contoh pertama yang menjadi berita nasional di Jepang adalah pada tahun 2000 ketika mayat seorang pria berusia 69 tahun ditemukan tiga tahun setelah kematiannya yang mana sewa bulanan dan biaya tagihan telah ditarik secara otomatis dari rekening banknya dan ketika uang tabungannya habis, beberapa pihak terkait mencarinya dan akhirnya menemukan kerangka tubuhnya di rumah. Tubuhnya telah dimakan oleh belatung dan kumbang.[4]

Statistik

Statistik mengenai kodokushi seringkali tidak lengkap atau tidak akurat. [1][5] Penyiar publik Jepang NHK melaporkan bahwa 32.000 orang tua di seluruh negeri meninggal sendirian pada tahun 2009. [6] Jumlah kodokushi meningkat tiga kali lipat antara tahun 1983 dan 1994, dengan 1.049 mati kesepian dilaporkan di Tokyo pada tahun 1994. [7] Pada tahun 2008, ada lebih dari 2.200 kematian yang dilaporkan di Tokyo. [1] Angka serupa dilaporkan pada tahun 2011. [8] Salah satu perusahaan swasta yang bergerak di jasa perpindahan di Osaka melaporkan bahwa 20 persen pekerjaan perusahaan pindahan (300 per tahun) melibatkan pemindahan barang-barang milik orang-orang yang meninggal saat kesepian.[1] Sekitar 4,5% pemakaman pada tahun 2006 melibatkan kasus kodokushi. [9]

Kodokushi kebanyakan dialami oleh pria yang berusia 50 tahun atau lebih. [1]

Penyebab

Beberapa alasan peningkatan kodokushi telah diusulkan. Salah satu alasan yang diusulkan adalah peningkatan isolasi sosial. Penurunan proporsi orang tua Jepang yang tinggal di perumahan multi-generasi dan malah hidup sendiri.[7] Orang lanjut usia yang tinggal sendiri lebih cenderung kurang kontak sosial dengan keluarga dan tetangga, dan karena itu lebih mungkin untuk meninggal sendirian dan tetap tidak ditemukan.[7]

Selain itu, kemerosotan ekonomi di Jepang sejak tahun 1990 disebut-sebut sebagai penyebab meningkatnya kematian akibat kesepian. [1] Sejak tahun 1990, banyak pengusaha Jepang terpaksa pensiun dini. [1] Banyak dari pria ini tidak pernah menikah dan menjadi terisolasi secara sosial ketika dikeluarkan dari budaya perusahaan. [1]

Masaki Ichinose, kepala Institut Studi Kematian dan Kehidupan Universitas Tokyo, berhipotesis bahwa peningkatan kodokushi terkait dengan budaya kontemporer Jepang yang mengabaikan kematian.[1] Beberapa ratus tahun yang lalu ketika orang Jepang umumnya menghadapi kematian, pada umumnya jenazah biasanya dikubur oleh anggota keluarga.[1] Sebaliknya, di Jepang modern, banyak tetangga atau keluarga yang tidak tahu mengenai kematian orang terdekatnya atau di sekitarnya dan kematian sering kali tidak pernah dibicarakan atau didiskusikan antar sesama anggota keluarga.[1]

Hipotesis lain yang diusulkan adalah alasan psikologis yang meliputi apatisme sosial dan stres hidup.[10] Isolasi sosial digunakan sebagai mekanisme bertahan untuk menghindari situasi stres.[10] Para sarjana juga telah menganalisis bagaimana "wacana kontemporer mengonstruksi Kodokushi sebagai "kematian yang buruk" dan sebagai bukti dari rusaknya ikatan sosial "tradisional", seperti ikatan keluarga, lingkungan, dan perusahaan". Pemerintah dan masyarakat kemudian melakukan inisiatif dengan mendorong "menerapkan sistem kesejahteraan yang baru dan sering menyarankan untuk mengaktifkan kembali ikatan keluarga serta komunitas yang hilang".[11]

Tanggapan

Beberapa distrik di Jepang telah memulai kampanye dan gerakan untuk mencegah Kodokushi. Pejabat di Daerah Shinjuku Tokyo telah memulai kampanye kesadaran kodokushi yang mencakup acara sosial terjadwal dan memeriksa kesejahteraan warga lanjut usia. [1]

Seorang seniman dari Jepang mulai membuat diorama mini ruangan tempat ditemukannya korban Kodokushi. Dia bekerja sebagai pembersih kematian yang kesepian dan miniaturnya adalah gabungan dari tempat-tempat yang dia bersihkan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan fenomena tersebut.[12] [13]

Di negara Lain

Fenomena ini telah disorot sebagai penyebab keprihatinan di Hong Kong dan Korea Selatan. Seperti Jepang, keduanya memiliki populasi yang menua dan peningkatan jumlah orang tua yang hidup sendiri dan terisolasi.[14]

Di Korea Selatan, padanan kosa kata ini adalah godoksa (Hangul: 고독사), pengucapan bahasa Korea dari karakter Hanja. Karena godoksa bukan istilah hukum, kematian seperti itu sering diklasifikasikan sebagai "kematian yang tidak terkoneksi".[15] Istilah ini kemudian diperluas untuk menggambarkan kematian (apakah alami atau bunuh diri) dari orang paruh baya yang masih lajang dan menarik diri dari masyarakat.[16]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n Nobel, Justin (2010-04-06). "Japan: 'Lonely Deaths' Rise Among Unemployed, Elderly". Time. Diakses tanggal 2020-08-04. 
  2. ^ Brasor, Philip (2012-03-04). "Japan's lonely people: Where do they all belong?". The Japan Times. Diakses tanggal 2014-06-22. 
  3. ^ Dahl, Nils (2020-01-02). "Governing through kodokushi . Japan's lonely deaths and their impact on community self-government". Contemporary Japan (dalam bahasa Inggris). 32 (1): 83–102. doi:10.1080/18692729.2019.1680512. ISSN 1869-2729. 
  4. ^ A Generation in Japan Faces a Lonely Death Norimitsu Onishi, New York Times, November 30, 2017
  5. ^ McDonald, Mark (2012-03-25). "In Japan, Lonely Deaths in Society's Margins". The New York Times. Diakses tanggal 2014-06-22. 
  6. ^ Anne Allison (2013). Precarious Japan. Duke University Press. hlm. 126–127. ISBN 978-0822377245. Diakses tanggal 22 June 2014. 
  7. ^ a b c Leng Leng Thang (2001). Generations in Touch: Linking the Old and Young in a Tokyo NeighborhoodPerlu mendaftar (gratis). Cornell University Press. hlm. 177–179. ISBN 0801487323. Diakses tanggal 22 June 2014. 
  8. ^ Mihaela Robila (2013). Handbook of Family Policies Across the Globe. Springer Science & Business. hlm. 327. ISBN 978-1461467717. Diakses tanggal 22 June 2014. 
  9. ^ Hikaru Suzuki (2013). Death and Dying in Contemporary Japan. Routledge. hlm. 13. ISBN 978-0415631907. Diakses tanggal 22 June 2014. 
  10. ^ a b "Noida sisters' case: It's 'kodokushi' in Japan!". News. Zeenews.com. Diakses tanggal 29 November 2011. 
  11. ^ Nils Dahl (2019). "Governing through kodokushi. Japan's lonely deaths and their impact on community self-government". Contemporary Japan. 32 (1): 2. doi:10.1080/18692729.2019.1680512. 
  12. ^ "Dioramas of death: Cleaner recreates rooms where people died alone". TheGuardian.com. 9 June 2019. 
  13. ^ "Kojima Miyu: Bringing to Life the Final Days of the Forgotten - Face to Face - TV | NHK WORLD-JAPAN Live & Programs". 
  14. ^ "A glimpse of Hong Kong's lonely future in South Korea's ageing society". South China Morning Post. 8 August 2019. 
  15. ^ "Report documents instances of lonely deaths in South Korean society". The Hankyoreh. 4 March 2018. 
  16. ^ "Cleaning up after 'godoksa,' lonely deaths in Korea". The Korea Times. 14 May 2022. 
Kembali kehalaman sebelumnya