Lambang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Praja Cihna (bahasa Jawa: ꦥꦿꦗꦕꦶꦃꦤ) atau Ha-Bha. Bentuknya berupa songkok Mataram dengan sumping, yang memahkotai perisai berwarna merah dengan tulisan aksara Jawa ꦲꦨ (ha-bha) yang berarti Hamengkubuwana (gelar Sultan yang bertakhta). Desain Praja Cihna yang saat ini digunakan diadopsi sejak masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII, tepatnya setelah penyelesaian pembangunan Bangsal Manis pada tahun 1921.
Deskripsi
K.R.T. Wasesowinoto dalam naskah Serat Paréntah Hageng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tentang Praja Cihna: Cihnaning Nagari-Cihnaning Salira Pribadhi (2005) menjelaskan masing-masing elemen yang terdapat dalam Praja Cihna sebagai berikut:[1]
Topi songkok Mataram merupakan jenis topi yang dikenakan oleh raja dan panglima kerajaan (manggalayudha bregada). Elemen tersebut melambangkan sifat Sultan sebagai seorang kesatria yang tangguh dan sigap dalam mengayomi dan memimpin negara dan rakyat.
Sumping dengan ceplik merupakan hiasan yang dikenakan di telinga, yang menggunakan motif daun kluwih sebagai lambang bahwa seorang pemimpin harus memiliki kaluwihan (keunggulan atau kelebihan), yakni sifat waspada, bijaksana, jujur, dan adill; serta bersedia mendengarkan keluh kesah rakyatnya.
Praba melambangkan "sorot cahaya (nur) ilahi", juga melambangkan kedudukan raja yang memiliki kemuliaan, kewibawaan, dan berbudi pekerti luhur, serta bersedia untuk menegakkan kehormatan dan menjadi penjaga budaya Jawa Mataram.
Sepasang sayap yang dibuat berdasarkan burung mitologis garuda melambangkan keagungan dan kewibawaan negara serta raja yang bertakhta. Bentuk sayap melambangkan usaha untuk menggapai cita-cita negara yang luhur.
Tulisan Ha-Bha melambangkan Hamengkubuwana, gelar Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertakhta. Kata hamengku dimanifestasikan menjadi tiga makna: hamangku (lebih banyak memberi daripada menerima), hamengku (melindungi dan mengayomi rakyat), dan hamengkoni (bersikap adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan).
Angka Jawa merupakan simbolisasi Sultan yang bertakhta.
Bunga padma melambangkan kemampuan Sultan dalam menjalankan tugas secara seimbang.
Sulur melambangkan kebudayaan Nusantara yang terus berkembang dan maju serta memberi manfaat bagi peradaban manusia di dunia.
Sejarah
Sebelum mengadopsi bentuknya yang sekarang ini, lambang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat masih mengadopsi elemen-elemen yang berasal dari lambang Kerajaan Belanda, dan lambang tersebut diadopsi pada masa Hamengkubuwana VI (bertakhta 1855–1877). Lambang tertua yang masih ada hingga sekarang muncul pada daun pintu kereta kencana Kanjeng Kyai Garuda Yaksa produksi Hermans & Co., Den Haag, Belanda. Lukisan itu memuat tirai besar merah yang menaungi perisai HB bermahkota yang dipegang sepasang singa, tombak dengan panji-panji Kerajaan Belanda, serta gambar senapan dan meriam.[2] Lambang yang diatur berdasarkan heraldik Eropa ini masih terus diadopsi hingga masa pemerintahan Hamengkubuwana VII; dan digunakan sebagai elemen dekoratif pada alat-alat dan kelengkapan Kesultanan. Selain penggunaan mahkota Raja Belanda, gambar penopang singa juga masih digunakan. Hal ini menunjukkan betapa kentalnya pengaruh Eropa pada hiasan barang-barang milik Keraton pada masa itu.[3] Lambang masa Hamengkubuwana VII juga dipasang pada plakat prasasti di Tugu Pal Putih, tetapi penopangnya sudah berupa padi dan kapas.[4] Desain ini bahkan sempat digunakan di awal-awal pemerintahan Hamengkubuwana VIII.[5]
Desain Praja Cihna yang saat ini digunakan, merupakan perintah Hamengkubuwana VIII untuk membuatkan lambang baru yang sepenuhnya tidak lagi mengadopsi budaya Eropa. Ia memerintahkan menantu dari Hamengkubuwana VII, K.R.T. Josodipoero, untuk menggambar desain lambang tersebut, pada tahun 1921.[3] Purwarupa dari lambang ini diyakini dipasang sebagai hiasan Bangsal Manis di selatan Bangsal Kencana. Lambang yang muncul di atap Bangsal Manis tersebut masih dilengkapi dengan padi dan kapas di bagian bawah lambang.[4] Pada bangsal tersebut, selain keberadaan lambang ini, terdapat ukir-ukiran kluwih, kemamang, dan ular naga, yang kesemuanya itu melambangkan sebuah sengkalan memet yang berbunyi "Kaluwihaning yaksa salira aji", yang berarti 1851 Kalender Jawa atau 1921 Masehi, yang merupakan tahun bertakhtanya Sultan Hamengkubuwana VIII.[6]
Penggunaan
Praja Cihna memiliki dua jenis, yaitu sebagai lambang negara (cihnaning nagari) dan juga lambang pribadi Sultan yang bertakhta (cihnaning pribadhi). Yang membedakan cihnaning nagari dan cihnaning pribadhi adalah aturan pemakaian serta keberadaan angka Jawa di bawah huruf ha-bha. Pada praja cihna, lambang tersebut hanya tertulis ha-bha tanpa adanya angka Jawa; sedangkan pada cihnaning pribadhi, lambang tersebut dilengkapi angka Jawa.[7]Cihnaning nagari biasa dipasang pada bangunan, atau tanda tempat yang berstatus sebagai wilayah milik Kesultanan, sedangkan cihnaning pribadhi biasa digunakan dalam surat-menyurat dalam Keraton.[8]
Praja Cihna sangat populer di kalangan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, karena banyak dibuat dan dicetak pada pin, medali, kaus oblong, dan bahkan pernak-pernik dan cendera mata. Menanggapi masifnya produksi kaus dengan gambar praja cihna, G.K.R. Hayu, putri Hamengkubuwana X, mengkritik sebuah baliho yang menampilkan perempuan yang mengenakan kaus oblong bergambar cihnaning pribadhi, dengan mengatakan:[9]
...yang dijual (kaus oblong yang dikenakan) adalah lambang pribadi Sultan HB X. Nyuwun tulung, tolong, please, pelajari simbol-simbol Kraton yang kalian jual/modif. Sadar dan mampu menempatkan diri ya...
— G.K.R. Hayu di Twitter
Cihnaning nagari
Cihnaning nagari pada masa Hamengkubuwana VIII
Cihnaning nagari pada masa Hamengkubuwana IX. Digunakan dalam akun media sosial dan situs web resmi Kesultanan