Setelah pecahnya Revolusi Xinhai pada tanggal 10 Oktober 1911, pemimpin revolusi Sun Yat-sen terpilih menjadi Presiden Sementara dan mendirikan Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok. Untuk memelihara persatuan nasional, Sun menyerahkan kursi kepresidenan kepada orang yang memiliki kekuatan militer, Yuan Shikai, yang membentuk Pemerintahan Beiyang. Setelah usaha gagal untuk menjadikan dirinya sebagai Kaisar Tiongkok, Yuan meninggal tahun 1916, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang mengakibatkan Tiongkok dibagi menjadi beberapa kelompok panglima perang dan pemerintah saingan. Mereka secara semu dipersatukan pada tahun 1928 oleh pemerintahan yang berbasis di Nanjing pimpinan GeneralissimoChiang Kai-shek, yang setelah Ekspedisi Utara memerintah dengan sistem negara satu-partai di bawah Kuomintang, dan kemudian memperoleh pengakuan internasional sebagai representasi pemerintah Tiongkok yang sah .
Setelah Perang Dunia II, perang saudara antara Kuomintang yang berkuasa dan Partai Komunis Tiongkok berlanjut kembali, meskipun adanya upaya mediasi oleh Amerika Serikat. Pemerintah Nasionalis mulai merancang Konstitusi Republik Tiongkok di bawah Majelis Nasional, namun diboikot oleh pihak komunis. Dengan berlakunya konstitusi, Pemerintahan Nasionalis dihapus dengan sendirinya dan digantikan oleh Pemerintahan Republik Tiongkok. Meskipun begitu, Kuomintang dikalahkan dalam perang saudara pada tahun 1949 dan memindahkan pemerintahan konstitusional ke Taiwan.
Setelah meninggalnya Sun Yat-sen bulan Maret 1925, Chiang Kai-shek menjadi pemimpin KMT. Empat bulan kemudian pada tanggal 1 Juli 1925, Pemerintahan Nasionalis Republik Tiongkok terbentuk di Guangzhou. Tahun berikutnya, Chiang memimpin Ekspedisi Utara di seluruh Tiongkok dengan tujuan untuk mengalahkan para panglima perang (warlord) dan mempersatukan negara. Chiang menerima bantuan dari Uni Soviet dan Komunis Tiongkok; namun dia segera menyingkirkan penasihat Soviet-nya. Dia yakin, bukannya tanpa alasan, bahwa mereka ingin menyingkirkan KMT (dikenal juga sebagai pihak Nasionalis) dan mengambil alih kekuasaan.[2] Chiang memutuskan untuk menyerang lebih dulu dan membersihkan pihak Komunis, membunuh ribuan dari mereka.
Pada saat yang sama, konflik kekerasan lainnya terjadi di selatan Tiongkok di mana pihak Komunis menerjunkan pasukan dalam jumlah yang lebih besar dan membantai para pendukung pihak Nasionalis. Peristiwa ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya Perang Saudara Tiongkok antara pihak Nasionalis dan Komunis. Chiang Kai-shek mendesak pihak Komunis ke pedalaman sebagai upaya untuk menghancurkan mereka, dan memindahkan pusat Pemerintahan Nasionalis ke Nanjing pada tahun 1927.[3] Kelompok kiri dalam KMT yang masih bersekutu dengan pihak Komunis telah membentuk Pemerintahan Nasionalis saingan di Wuhan dua bulan sebelumnya, namun segera bergabung dengan Chiang di Nanjing bulan Agustus 1927. Pada tahun berikutnya, tentara Chiang merebut Beijing setelah menggulingkan Pemerintahan Beiyang dan mempersatukan seluruh negara, paling tidak secara teori, yang menandai dimulainya Dekade Nanjing.
Menurut teori "Tiga Tahapan Revolusi" Sun Yat-sen, KMT akan membangun kembali Tiongkok dalam tiga fase : tahap pertama adalah penyatuan militer, yang dicapai melalui Ekspedisi Utara; tahap kedua adalah "pengawasan politik", yang merupakan pemerintahan sementara yang dipimpin oleh KMT untuk mendidik rakyat tentang hak-hak politik dan sipil mereka, dan tahap ketiga adalah pemerintahan konstitusional.[4] Pada tahun 1928, pihak Nasionalis telah mengambil alih kekuasaan secara militer dan menyatukan Tiongkok kembali, memulai tahap kedua, yakni memaklumkan sebuah konstitusi sementara dan memulai periode yang dinamakan "pengawasan".[5]
KMT dikritik karena melembagakan totaliterisme, tetapi mengklaim hal tersebut sebagai upaya untuk membangun masyarakat demokratis modern. Antara lain, dengan mendirikan pada waktu itu Academia Sinica (中央研究院), Bank Sentral Tiongkok, dan lembaga lainnya. Pada tahun 1932, Tiongkok mengirimkan tim untuk pertama kalinya ke Olimpiade. Sejarawan, seperti Edmund Fung, berpendapat bahwa membangun demokrasi di Tiongkok pada waktu itu tidak mungkin. Negara berada dalam kondisi perang dan terpecah antara pihak Komunis dan Nasionalis. Korupsi dalam pemerintahan dan kurangnya pengarahan juga mencegah terjadinya setiap reformasi yang signifikan. Chiang menyadari kurangnya kerja nyata yang dilakukan dalam pemerintahannya dan mengatakan kepada Dewan Negara : "Organisasi kita menjadi semakin buruk.....banyak anggota staf hanya duduk berpangku di meja mereka dan menatap langit, yang lain membaca surat kabar, sedang yang lainnya tidur."[6]
Pemerintah Nasionalis menyusun rancangan konstitusi pada tanggal 5 Mei 1936.[7] Pembunuhan massal oleh nasionalis menjadi umum dengan jutaan orang tewas. Pembunuhan massal yang terkenal termasuk kematian dari pemaksaan wajib militer tentara dan Teror Putih.[8]
Pemerintah Nasionalis menghadapi tantangan baru dengan invasi Jepang ke Manchuria pada tahun 1931, dengan peperangan kecil terus berlanjut sampai Perang Tiongkok-Jepang Kedua, bagian dari Perang Dunia II, dari tahun 1937 sampai 1945. Pemerintah Republik Tiongkok mundur dari Nanjing ke Chongqing. Pada tahun 1945, setelah perang delapan tahun, Jepang menyerah dan Republik Tiongkok, di bawah nama "Tiongkok", menjadi salah satu negara pendiri PBB. Pemerintah kembali ke Nanjing pada tahun 1946.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Taiwan diserahkan kepada Sekutu, dengan pasukan Republik Tiongkok menerima penyerahan garnisun Jepang. Pemerintah Republik Tiongkok memproklamasikan "penyerahan kembali" Taiwan kepada Republik Tiongkok dan membentuk pemerintahan provinsi di pulau tersebut. Pemerintahan militer dari Republik Tiongkok diperluas ke Taiwan, yang menyebabkan kerusuhan meluas dan meningkatkan ketegangan antara penduduk lokal Taiwan dan Tiongkok daratan.[9]
Penembakan seorang warga sipil pada tanggal 28 Februari 1947 memicu kerusuhan di seluruh pulau, yang secara brutal ditindas dengan kekuatan militer yang sekarang dikenal sebagai Insiden 28 Februari. Perkiraan tertinggi korban berkisar dari 18.000 sampai 30.000 jiwa, terutama kalangan elit Taiwan.[10][11] Insiden 28 Februari memiliki efek luas pada sejarah Taiwan berikutnya.
Dari tahun 1945 sampai 1947, di bawah mediasi Amerika Serikat, khususnya melalui Misi Marshall, pihak Nasionalis dan Komunis sepakat untuk memulai serangkaian pembicaraan damai yang bertujuan membentuk pemerintahan koalisi. Kedua pihak sepakat membuka pembicaraan multipartai untuk reformasi politik pasca-Perang Dunia II melalui Konferensi Konsultatif Politik. Hal ini tercantum dalam Perjanjian Sepuluh Kembar. Perjanjian ini dilaksanakan oleh Pemerintah Nasionalis, yang menyelenggarakan Sidang Konsultatif Politik pertama dari tanggal 10-31 Januari 1946. Perwakilan dari Kuomintang, Partai Komunis Tiongkok, Partai Pemuda Tiongkok, dan Liga Demokrasi Tiongkok , serta delegasi independen, menghadiri konferensi di Chongqing. Namun, tak lama kemudian, kedua pihak gagal mencapai kesepakatan dan perang saudara berlanjut kembali.[12] Dalam konteks permusuhan politik dan militer, Majelis Nasional dipanggil oleh pihak Nasionalis tanpa partisipasi pihak Komunis dan memberlakukan Konstitusi Republik Tiongkok. Konstitusi ini dikritik oleh pihak Komunis,[13] dan menyebabkan pemutusan akhir antara kedua belah pihak.[14] Perang saudara dalam skala penuh berlanjut kembali dari awal tahun 1947.[15]
Setelah pemilihan anggota Majelis Nasional, rancangan konstitusi disetujui oleh Majelis Nasional pada tanggal 25 Desember 1946, dimaklumkan oleh pemerintah nasional pada tanggal 1 Januari 1947, dan mulai berlaku pada tanggal 25 Desember 1947. Konstitusi ini dipandang sebagai tahap ketiga dan terakhir rekonstruksi Tiongkok dari Kuomintang. Chiang Kai-shek juga terpilih sebagai presiden pertama Republik Tiongkok di bawah konstitusi oleh Majelis Nasional pada tahun 1948, dengan Li Zongren terpilih sebagai Wakil Presiden. Pemerintahan Nasionalis dihapuskan pada tanggal 20 Mei 1948, setelah Pemerintahan Republik Tiongkok terbentuk dengan pelantikan presiden Chiang. Pihak Komunis, meskipun diundang ke konvensi penyusunan konstitusi tersebut, setelah ratifikasi, memboikot dan menyatakan bahwa pihaknya bukan saja tidak akan mengakui konstitusi Republik Tiongkok, tetapi juga semua rancangan undang-undang yang disahkan oleh pemerintah Nasionalis akan diabaikan. Zhou Enlai menantang legitimasi Majelis Nasional pada tahun 1947 dengan menuduh KMT memilih anggota Majelis Nasional 10 tahun sebelumnya sehingga tidak merupakan perwakilan legal rakyat Tiongkok.
Pemerintahan
Pemerintahan Nasionalis memerintah di bawah aparat negara dua-partai, di bawah ideologi Dang Guo, yang secara efektif membuatnya menjadi negara satu-partai.
Pada bulan Februari 1928, dalam Sidang Paripurna ke-4 dari Kongres Nasional Kuomintang ke-2 yang diadakan di Nanjing meluluskan Reorganisasi Undang-undang Pemerintahan Nasionalis. Undang-undang ini menetapkan bahwa Pemerintahan Nasionalis harus diarahkan dan diatur di bawah Komite Eksekutif Pusat Kuomintang, dengan Komite Pemerintahan Nasionalis yang dipilih oleh Komite Sentral KMT. Di bawah Pemerintahan Nasionalis terdapat tujuh kementerian - Dalam Negeri, Luar Negeri, Keuangan, Transportasi, Kehakiman, Pertanian dan Pertambangan, dan Perdagangan, ditambah lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung, Kontrol Yuan, dan Akademi Umum.
Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Pemerintahan Nasionalis pada bulan Oktober 1928, pemerintah direorganisasi menjadi lima cabang berbeda atau Yuan, yaitu Yuan Eksekutif, Yuan Legislatif, Yuan Yudisial, Yuan Pemeriksaan, serta Yuan Kontrol. Pemimpin Pemerintahan Nasional akan menjadi kepala negara dan komandan dari Tentara Revolusioner Nasional. Chiang Kai-shek diangkat sebagai pemimpin pertama Pemerintahan Nasionalis, posisi yang dipertahankannya sampai tahun 1931. Dalam Undang-Undang Dasar juga ditetapkan bahwa Kuomintang melalui Kongres Nasional dan Komite Eksekutif Pusat-nya, akan menjalankan kekuasaan berdaulat selama periode pengawasan politik, dan Dewan Politik KMT akan membimbing dan mengawasi Pemerintahan Nasionalis dalam pelaksanaan urusan nasional yang penting, dan dewan memiliki kekuasaan untuk menafsirkan atau mengubah undang-undang dasar.[16]
Tentara Revolusioner Nasional (Hanzi tradisional: 國民革命軍; Hanzi sederhana: 国民革命军; Pinyin: Guómín Gémìng Jūn; Wade–Giles: Kuo-min Ke-ming Chün), sebelum tahun 1928 kadang disingkat menjadi 革命軍 atau Tentara Revolusioner dan antara tahun 1928 dan 1947 menjadi 國軍 atau Tentara Nasional merupakan sayap militer Kuomintang (KMT) dari tahun 1925 sampai 1947, dan juga tentara nasional Republik Tiongkok selama periode kekuasaan partai KMT yang dimulai pada tahun 1928.
Selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua, angkatan bersenjata Partai Komunis Tiongkok yang secara semu dimasukkan ke dalam Tentara Revolusioner Nasional (meski tetap mempertahankan komando terpisah), namun memisahkan diri untuk membentuk Tentara Pembebasan Rakyat tak lama setelah perang berakhir. Dengan berlakunya Konstitusi Republik Tiongkok pada tahun 1947 dan resmi berakhirnya negara satu-partai KMT, Tentara Revolusioner Nasional berganti nama menjadi Angkatan Bersenjata Republik Tiongkok (中華民國國軍), dengan sebagian besar pasukannya membentuk Angkatan Darat Republik Tiongkok, yang mundur ke Taiwan pada tahun 1949.
Perekonomian
Setelah Kuomintang menyatukan kembali Tiongkok pada tahun 1928, Tiongkok memasuki periode yang relatif makmur meskipun terjadi perang saudara dan agresi Jepang. Pada tahun 1937, Jepang menginvasi Tiongkok dan menghancurkan Tiongkok dalam perang delapan tahun. Era tersebut juga terjadi aksi boikot produk Jepang pertama.
Perindustrian Tiongkok terus berkembang pada tahun 1930-an dengan munculnya Dekade Nanjing pada saat itu, ketika Chiang Kai-shek menyatukan sebagian besar negara dan membawa stabilitas politik. Industri Tiongkok berkembang dan tumbuh dari tahun 1927 sampai 1931. Walaupun parah terkena Depresi Besar dari tahun 1931 sampai 1935 dan pendudukan Jepang di Manchuria tahun 1931, output industri pulih menjelang tahun 1936. Menjelang tahun 1936, produksi industri telah pulih dan melampaui puncak sebelumnya pada tahun 1931 sebelum efek Depresi Besar terhadap Tiongkok. Hal ini ditunjukkan dengan jelas dalam PDB Tiongkok. Pada tahun 1932, PDB Tiongkok mencapai puncaknya pada 28,8 miliar, sebelum jatuh ke 21,3 miliar pada tahun 1934 dan pulih ke 23,7 miliar pada tahun 1935.[17] Menjelang tahun 1930, investasi asing di Tiongkok mencapai 3,5 miliar, dengan Jepang sebagai yang terbesar (1,4 miliar) dan Inggris pada 1 miliar. Menjelang tahun 1948, bagaimanapun, aliran modal terhenti dengan investasi turun menjadi hanya 3 miliar, terutama dari Amerika Serikat dan Inggris.[18]
Namun, ekonomi pedesaan terpukul parah oleh Depresi Besar tahun 1930-an, di mana kelebihan produksi komoditas agrikultural pertanian menyebabkan kejatuhan harga besar-besaran untuk Tiongkok serta peningkatan impor asing (karena barang-barang pertanian yang diproduksi di negara-negara barat yang "dibuang" ke Tiongkok). Pada tahun 1931, impor beras Tiongkok sebesar 21 juta gantang dibandingkan dengan 12 juta pada tahun 1928. Komoditas lain bahkan terjadi kenaikan yang mengejutkan. Pada tahun 1932, 15 juta gantang gandum yang diimpor dibandingkan dengan 900.000 pada tahun 1928. Persaingan yang meningkat ini menyebabkan penurunan harga besar-besaran agrikultural Tiongkok (yang lebih murah) dan demikian juga dengan penghasilan petani di pedesaan. Pada tahun 1932, harga komoditas agrikultural hanya sebesar 41 persen dari level tahun 1921.[19] Penghasilan pedesaan merosot 57 persen dari level tahun 1931 menjelang tahun 1934 di beberapa daerah.[19]
Pada tahun 1937, Jepang menginvasi Tiongkok dan dampak peperangan telah menghancurkan Tiongkok. Sebagian besar pantai timur Tiongkok yang makmur diduduki oleh Jepang, yang melakukan berbagai kekejaman seperti Pembantaian Nanjing pada tahun 1937 dan pembantaian acak seluruh desa. Dalam satu aksi pembersihan antigerilya pada tahun 1942, Jepang membunuh sampai 200.000 warga sipil dalam sebulan. Perang itu diperkirakan telah menewaskan antara 20-25 juta penduduk Tiongkok, dan menghancurkan semua yang telah dibangun Chiang pada dekade sebelumnya.[20] Perkembangan sektor industri pascaperang sangat terhambat oleh konflik yang menghancurkan serta masuknya barang-barang Amerika yang murah. Menjelang tahun 1946, perindustrian Tiongkok beroperasi pada tingkat kapasitas 20% dan memiliki 25% dari output praperang Tiongkok.[21]
Salah satu efek dari perang adalah peningkatan besar-besaran kontrol pemerintah terhadap industri. Pada tahun 1936, industri milik pemerintah hanya 15% dari PDB. Namun, pemerintah Republik Tiongkok mengontrol banyak industri untuk melawan perang. Pada tahun 1938, Republik Tiongkok mendirikan sebuah komisi untuk industri dan tambang untuk mengontrol dan mengawasi perusahaan, serta secara perlahan menerapkan kontrol harga. Menjelang tahun 1942, 70% dari modal sektor industri Tiongkok dimiliki oleh pemerintah.[22]
Setelah perang dengan Jepang, Chiang memperoleh Taiwan dari Jepang dan melanjutkan kembali perjuangannya melawan pihak komunis. Namun, korupsi dari KMT, serta hiperinflasi sebagai akibat dari upaya untuk memenangkan perang saudara, telah mengakibatkan kerusuhan massa di seluruh Republik[23] dan simpati untuk puhak komunis. Selain itu, pihak komunis yang menjanjikan untuk mendistribusikan ulang tanah berhasil memperoleh dukungan dari penduduk pedesaan secara massal. Pada tahun 1949, pihak komunis merebut Beijing dan kemudian juga Nanjing. Republik Rakyat Tiongkok diproklamasikan pada tanggal 1 Oktober 1949. Republik Tiongkok pindah ke Taiwan di mana Jepang telah meletakkan suatu pondasi pendidikan.[24]
^"南京市". 重編囯語辭典修訂本. Ministry of Education, ROC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-03. Diakses tanggal 2015-11-17. 民國十六年,國民政府宣言定為首都,今以臺北市為我國中央政府所在地。(In the 16th Year of the Republic of China [1927], the National Government established [Nanking] as the capital. At present, Taipei is the seat of the central government.)
^Chen, Lifu; Ramon Hawley Myers (1994). Hsu-hsin Chang, Ramon Hawley Myers, ed. The storm clouds clear over China: the memoir of Chʻen Li-fu, 1900–1993. Hoover Press. hlm. 102. ISBN0-8179-9272-3. After the 1930 mutiny ended, Chiang accepted the suggestion of Wang Ching-wei, Yen Hsi-shan, and Feng Yü-hsiang that a provisional constitution for the political tutelage period be drafted.
^(Fung 2000, hlm. 5) "Nationalist disunity, political instability, civil strife, the communist challenge, the autocracy of Chiang Kai-shek, the ascendancy of the military, the escalating Japanese threat, and the "crisis of democracy" in Italy, Germany, Poland, and Spain, all contributed to a freezing of democracy by the Nationalist leadership."
^荆, 知仁. 中华民国立宪史 (dalam bahasa Chinese). 联经出版公司.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^
Gary Marvin Davison (2003). A short history of Taiwan: the case for independence. Praeger Publishers. hlm. 64. ISBN0-275-98131-2. Basic literacy came to most of the school-aged populace by the end of the Japanese tenure on Taiwan. School attendance for Taiwanese children rose steadily throughout the Japanese era, from 3.8 percent in 1904 to 13.1 percent in 1917; 25.1 percent in 1920; 41.5 percent in 1935; 57.6 percent in 1940; and 71.3 percent in 1943.Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
Bibliografi
Sun, Jian, 中国经济通史 Economic History of China, Vol 2 (1840–1949), China People's University Press, ISBN 7-300-02953-1, 2000.