Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Aksara Sunda: ᮞᮀᮠᮡᮀ ᮞᮤᮊ᮪ᮞ ᮊᮔ᮪ᮓᮀ ᮊᮻᮞᮤᮃᮔ᮪, biasa disingkat SSKK) merupakan naskah didaktik berbahasa Sunda Kuno berbentuk prosa, yang memberikan aturan, tuntunan serta ajaran agama dan moralitas kepada masyarakat umum yang ditulis oleh kalangan agamawan (karesian). Teksnya terdapat dalam dua naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta yaitu pada nomor koleksi L 630 dan L 624.[1][2][3] Pada tahun 2022, naskah ini telah teregistrasi sebagai Ingatan Kolektif Nasional (IKON) oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Naskah
Naskah L 630 disimpan dalam peti (laci kabinet) nomor 16, terdiri dari 30 lembar daun gebang, ditulis dengan tinta hitam[2] menggunakan aksara Buda model Jawa Barat.[1] Naskah ini bertanggal nora catur sagara wulan (0-4-4-1), yaitu tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi. Sejauh ini, naskah L 630 merupakan naskah Sunda Kuno tertua yang mencantumkan tahun penulisannya.[4] Naskah 630 merupakan bagian dari koleksi yang diberikan oleh Raden Saleh untuk BGKW, sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional RI. Tidak ada keterangan pasti darimana Raden Saleh mendapatkan naskah ini, namun K.F. Holle menduga naskah ini mungkin berasal dari Galuh di Priangan Timur.[2]
Naskah ini pertama kali diungkapkan oleh K.F. Holle dalam sebuah artikel berujudul "Lontar Handschriften afkomstig uit Soenda-landen" yang terbit dalam jurnalTijdschrift voor Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) edisi XVI.[5] Ia mengdentifikasinya sebagai MSB (Manuschript SoendaB) dengan kesimpulan bahwa penulis MSB berbeda dengan MSA (belakangan diketahui sebagai naskah Amanat Galunggung[6]); memiliki nilai yang sangat tinggi, karena di dalamnya termuat ajaran mengenai kehidupan rumah-tangga yang harus ditaati oleh segenap golongan masyarakat Sunda jaman dahulu; dalam abad ke-16, di daerah Sunda masih berlangsung penulisan naskah-naskah Hinduístis. Sejak publikasi tulisan itu naskah ini telah menarik minat para peneliti lainnya. Edisi lengkapnya yang disertai terjemahan, pengantar, komentar dan glosari ditulis dalam kertas stensil pertama kali diumumkan oleh Atja dan Danasasmita (1981).[5] Kemduian, diterbitkan kembali dalam bentuk buku oleh Danasasmita dkk. tahun 1985 dan 1987.[7][8]
Naskah lainnya, yaitu L 624 dalam peti kabinet nomor 69 didapatkan dari pemberian Bupati BandungWiranatakusumah IV (1846-1874) kepada BGKW sekitar paruh kedua abad ke-19. Berbeda dengan L 630, naskah L 624 ditulis pada daun lontar berukuran 36,2 x 3,2 cm. Jumlah lempirnya 20 (40 halaman) yang ditulis rekto-verso (depan-belakang) dan mengandung empat baris tulisan pada setiap halamannya. Sebagian lempiran lontar dari naskah ini tampaknya tercecer di kropak lain, yaitu dalam kode 1** dalam peti 88 bersama naskah lontar beraksara Bali dan aksara Buda model Merapi-Merbabu.[1] Naskah ini menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno, tanpa tahun penulisan, tetapi ada keterangan bahwa naskah ini ditulis di Nusakrata.[1][2][3]
Judul
Penyebutan judul teks ini dikemukakan pertama kali oleh Atja & Danasasmita tahun 1981 dalam penelitiannya terhadap naskah L 630. Mereka memberikan judul Sanghyang Siksakanda ng Karesian.[5] Kemudian dalam edisi tahun 1985[7] dan 1987[6] judulnya disebutkan sebagai Sanghyang Siksakandang Karesian. Dalam pengantar suntingan naskah 630 tahun 1987 (hlm. 5) dijelaskan mengenai perubahan judul "siksakandang" yang sebelumnya disebut "siksakanda ng" (ng dipisahkan) oleh Atja & Danasasmita (1981) tidak mengakibatkan pergeseran atau perubahan arti. Penggabungan tersebut selain untuk kepraktisan penulisan dan pembacaan, juga mengambil analogi dengan kata-kata lain seperti; rahyangtang, ikang, tegang, dan tang yang ng-nya digabungkan kepada kata induknya.[6] Penyebutan kedua judul demikian tampaknya tetap digunakan dalam penelitian-penelitian berikutnya yang merujuk pada naskah ini.[9][10][11][12][13][14]
Pertimbangan pemilihan bentuk lain terhadap judul ini adalah kata "siksa" dan "kandang" yang dipisahkan, seperti yang dikemukakan oleh Aditia Gunawan berdasarkan keterangan dalam naskah Sanghyang Sasana Maha Guru.[15] Hal demikian mengacu pada adanya tiga konsep siksa (ajaran) dalam teks Sunda Kuno, yaitu siksa kandang, siksa kurung, dan siksa dapur.[15][16]Siksa kandang, secara harfiah berarti ajaran kandang, adalah ajaran yang menyangkut etika dan moral bagi masyarakat umum. Siksa kurung (kurung lebih kecil dari kandang), merupakan aturan etika bagi kalangan agamawan. Terakhir, siksa dapur, secara harfiah berarti ajaran akar, merupakan ajaran pokok bagi agamawan yang telah mencapai level tertinggi. Isinya berupa ajaran-ajaran metafisika dan eskatologis. Berdasarkan itulah Ilham Nurwansah yang mengkaji naskah lontar L 624 menyebut naskah ini dengan judul Sanghyang Siksa Kandang Karesian.[1][2][3] Judul ini pula yang digunakan oleh Aditia Gunawan & Arlo Grifiths dalam artikelnya.[4]
Isi Teks
Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa didaktis, yang mengandung kutipan berbahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian kita masih melihat hubungan Sunda dengan Jawa di satu sisi, juga dengan India di sisi lain yang masih terjaga pada awal abad ke-16. Kutipan berbahasa Sansekerta tersebut ditulis dalam bentuk puisi yang bermakna mendalam:
tataka carita haṅsa, gajendra carita banəm |
matsyanəm carita sagarəm, puspanəm carita baṅbarəm ||
‘Telaga dikisahkan angsa, hutan dikisahkan gajah; laut dikisahkan ikan, bunga dikisahkan lebah.’
Kutipan puisi ini menjadi pengantar bagi pengarang untuk menjelaskan aspek ensiklopedis dari kitab ini. Hewan-hewan yang disebut merupakan alegori terhadap manusia dalam berbagai profesi, sementara alam tempat ia tinggal diibaratkan dengan bidang profesi yang dikuasai oleh para professional tersebut. Sifat dan gaya Bahasa ini dengan demikian menunjukkan ciri yang khas dalam karya ini. Karya ini juga diproduksi oleh kalangan rəsi atau agamawan, Meski demikian, aturan-aturannya ditujukan bukan kepada kalangan agamawan tetapi kepada masyarakat umum. Dengan begitu kita bisa melihat peran agamawan di dalam kehidupan sekuler. Karya ini juga mencerminkan praktek sosial masyarakat yang sangat luas, bukan hanya kelompok elit dan bangsawan saja.
Teks terbagi kedalam 24 Bab, masing-masing Bab mencerminkan diskusi tematik.
^ abcdeAtep Kurnia, Aditia Gunawan (2019). Tata Pustaka: Sebuah Pengantar terhadap Tradisi Tulis Sunda Kuna. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI & Manassa.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)