Artikel ini memuat aksara Bali. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari aksara Bali.
Aksara Bali, juga dikenal sebagai Hanacaraka, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Bali. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi, tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu dengan tambahan dan modifikasi. Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah berkurang.[1]
Aksara Bali adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 18 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Bali adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan sejumlah tanda baca.
Sejarah
Akar paling tua dari aksara Bali adalah aksara Brahmi India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Bali.[2]
Aksara Bali kebanyakan ditemukan dalam media lontar, yakni daun palem yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Media ini telah digunakan di Indonesia sejak periode Hindu-Buddha dan memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Bali, palem yang digunakan sebagai bahan dasar lontar adalah palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan). Hanya palem dari tempat-tempat tertentu yang daunnya layak dipakai sebagai media tulis, dan di Bali palem yang dianggap paling baik berasal dari daerah kering di utara kabupaten Karangasem, di sekitar Culik, Kubu, dan Tianyar. Daun palem dipetik pada bulan-bulan tertentu ketika daun palem sudah cukup berkembang namun belum menjadi terlalu tua, umumnya sekitar bulan Maret–April atau September–Oktober.[3] Daun yang telah dipetik kemudian dibelah dan dijemur, proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan. Setelah itu, daun direndam di dalam air selama beberapa hari, digosok, kemudian dijemur kembali. Setelah pengeringan kedua, lidi tiap daun dibuang. Daun kering kemudian direbus dalam campuran herbal yang bertujuan untuk mengeraskan dan memperkuat lontar. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun diangkat, kemudian dijemur kembali namun dibasahi secara berkala. Berikutnya, daun ditekan dengan alat penjepit yang disebut pamlagbagan atau pamĕpĕsan agar permukaannya mulus dan rata. Daun ditekan selama kurang lebih 15 hari, tetapi dikeluarkan secara berkala untuk digosok dan dibersihkan. Setelah dianggap cukup mulus, daun dipotong sesuai ukuran pesanan, dilubangi, dan diberi garis bantu; lembar lontar kini siap ditulisi.[4]
Lembar lontar yang siap ditulisi, disebut sebagai pĕpĕsan, memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil yang disebut pangropak atau pangutik. Teknik pengguratan lontar cenderung menghasilkan bentuk yang banyak melengkung dan membulat,[5] hal inilah yang menjadi cikal bakal bentuk aksara Bali. Lembar yang telah ditulisi disebut sebagai lĕmpir.[4] Setelah selesai ditulis, guratan aksara pada lĕmpir dihitamkan dengan cara diseka campuran jelaga serta minyak kemiri yang akan masuk ke sela-sela guratan dan membuat aksara menjadi lebih jelas terlihat. Setelah selesai dihitamkan, lĕmpir dibersihkan dan diusap dengan campuran herbal seperti minyak sereh yang bertujuan untuk mencegah kerusakan akibat cuaca atau serangga. Pengusapan ini perlu dilakukan secara berkala agar lĕmpir tetap awet. Kumpulan lĕmpir yang telah ditulisi kemudian disatukan dengan tali yang kedua ujungnya dapat diapit dengan sampul kayu bernama cakĕpan. Jika tidak diapit dengan cakĕpan, lontar dapat disimpan dalam kantong kain (ulĕs), tabung bambu (bungbung), atau kotak kayu bernama kropak untuk naskah-naskah yang dianggap sangat penting.[6][7]
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Namun, dibanding daerah lainnya di Nusantara, kertas relatif sulit didapat di Bali sehingga lontar terus dipertahankan sebagai media tulis utama masyarakat Bali selama berabad-abad ke depannya. Ketersediaan kertas di Bali perlahan-lahan meningkat semenjak intervensi Belanda yang bermula sejak tahun 1846, kemudian meningkat secara signifikan setelah Belanda menaklukkan wilayah Bali selatan antara tahun 1906 dan 1908, sehingga kertas baru menjadi media tulis yang lumrah di Bali pada awal abad ke-20 meski lontar terus dibuat dan digunakan untuk banyak teks.[8]
Penggunaan
Penggunaan Aksara Bali
Lontar yang berisi catatan pengamatan astronomis untuk menentukan agenda bertani, koleksi Tropenmuseum
Cuplikan Kakawin Rāmāyaṇa yang disalin tahun 1975, koleksi British Library
Dalam masyarakat Bali dan Lombok pra-kemerdekaan, aksara Bali aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat untuk menuliskan sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Kebanyakan teks sastra disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari irama dan nada pelantunan. Sastra Bali juga digubah menggunakan sejumlah bahasa; Sastra umum digubah dengan bahasa Bali halus yang menggunakan banyak kosakata Kawi, sementara sastra klasik dengan derajat yang tinggi, semisal kakawin, digubah sepenuhnya dengan bahasa Kawi dan Sanskerta. Dalam perkembangannya, berkembang pula genre sastra seperti gĕguritan yang dapat digubah menggunakan bahasa Bali sehari-hari dan bahkan bahasa Melayu.[9][10][a] Selain itu, sastra Sasak di Lombok juga banyak digubah menggunakan bahasa Jawa halus, dan beberapa digubah dengan bahasa Sasak.[11][12] Karena banyak karya sastra memiliki bahasa halus yang arkais, teks umum dibaca bersama-sama dengan cara yang umum dikenal sebagai pĕsantian di Bali dan pĕpaosan di Lombok. Dalam cara ini, suatu teks dibaca berganti-gantian oleh dua orang pembaca: pembaca pertama melantunkan cuplikan teks dengan nada dan irama yang sesuai tembang, sementara pembaca kedua memberikan terjemahan dan parafrase yang dapat menjelaskan maksud cuplikan teks tersebut kepada para hadirin. Pembaca yang terampil sering kali diundang untuk membacakan cuplikan lontar dengan tema yang sesuai acara untuk meningkatkan kekhidmatan upacara. Semisal di Bali, upacara pernikahan dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pernikahan Arjuna dari Kakawin Arjunawiwāha.[13] Sementara itu di Lombok, upacara potong rambut bayi (ngurisan) dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pemotongan rambut Nabi Muhammad dari Aparas Nabi.[14][15] Pada tingkat dusun, kegiatan ini diwadahi oleh perkumpulan yang bertemu secara berkala untuk membahas (mabasan) isi lontar dan berlatih pĕsantian/pĕpaosan. Kegiatan ini terdokumentasi telah dilakukan di kalangan ningrat dan pendeta sejak abad ke-19, tetapi kemudian menyebar ke masyarakat umum pada awal abad ke-20.[16]
Selain sastra, aksara Bali juga lumrah digunakan dalam surat dan catatan untuk berbagai kegiatan sehari-hari, dari agenda bertani hingga bukti pembayaran pajak. Sejumlah desa di Bali bahkan memiliki sistem administrasi tradisional yang menuliskan berbagai perihal desa, seperti aturan (awig-awig), organisasi masyarakat (sĕkaha), dan koordinasi subak, dalam catatan lontar yang dipertanggung-jawabkan oleh seorang sekretaris (panyarikan). Kebanyakan catatan ini ditulis dalam bahasa sehari-hari, tetapi tidak jarang ditemukan catatan dengan banyak campuran kata-kata Kawi atau bahkan sepenuhnya menggunakan bahasa Kawi, terutama untuk urusan resmi yang melibatkan kaum ningrat.[17][18]
Bersamaan dengan meningkatnya ketersediaan kertas di Bali pada awal abad ke-20, berkembang pula teknologi cetak aksara Bali yang diprakarsai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Fon aksara Bali cetak pertama dikembangkan oleh Landsdrukkerij atau Percetakan Negeri di Batavia untuk kamus Kawi-Bali-Belanda karya Herman Neubronner van der Tuuk yang dicetak pada tahun 1897. Semenjak itu materi cetak beraksara Bali dihasilkan oleh sejumlah penerbit, utamanya buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah rakyat dan sastra Kawi yang digarap oleh akademisi.[19][8] Fon cetak ini masih disimpan oleh Percetakan Bali yang dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Bali, tetapi percetakan massal aksara Bali kini mengandalkan fon komputer yang pembuatannya diprakarsai oleh I Made Suatjana pada 1980-an.[20][21]
Penggunaan kontemporer
Hingga kini, lontar beraksara Bali masih dihasilkan dan digunakan untuk sejumlah fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Aksara Bali dan praktek menulis pada lontar masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal di sekolah-sekolah Bali dan Lombok, dan sejumlah juru tulis masih aktif menerima pesanan untuk membuat dan menyalin ulang lontar. Tiap banjar di Bali umumnya memiliki kelompok pĕsantian yang diundang untuk membacakan lontar di sejumlah acara dan saling berlomba antara satu sama lainnya dalam kompetisi hingga tingkat provinsi.[22][16] Meski begitu, berkurangnya penggunaan sehari-hari aksara Bali (misal untuk catatan biasa) serta konotasi keramat lontar dalam berbagai upacara membuat sebagian masyarakat Bali segan-segan dengan lontar. Sebagian masyarakat Bali kontemporer menganggap bahwa semua lontar memiliki sifat tĕngĕt, semacam potensi kekuatan angker, sehingga sebaiknya tidak dipegang orang awam. Hal ini disayangkan sejumlah penulis karena sikap ini cenderung malah menghalang-halangi masyarakat untuk mempelajari isi dan merawat fisik lontar warisan masing-masing.[23][b] Hingga 2019, Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali masih melaporkan "kekangan mitos tĕngĕt" pada sejumlah pemilik lontar yang enggan membuka lontar miliknya untuk dirawat, meski isinya tidak diketahui dan kondisinya dimakan rayap. Namun begitu pada tahun yang sama, Penyuluh juga melaporkan tumbuhnya kesadaran untuk merawat lontar dilihat dari semakin banyaknya warga yang meminta kunjungan para penyuluh untuk merawat koleksi lontar di rumah masing-masing.[24]
Sebagai upaya melestarikan dan melumrahkan penggunaan aksara Bali dalam ranah publik, Pemerintahan Provinsi Bali melalui Peraturan Gubernur no. 80 tahun 2018 mewajibkan sekolah, pura, lembaga pemerintahan, dan fasilitas-fasilitas umum untuk menggunakan aksara Bali dalam penulisan plang nama masing-masing.[25] Selain itu, bulan Februari juga dinyatakan sebagai sebagai Bulan Bahasa Bali yang akan diisi oleh berbagai acara dan perlombaan bertema pelestarian sastra, bahasa, dan aksara Bali, salah satunya misal dengan perlombaan menulis aksara Bali.[26][27] Meskipun begitu, hingga 2020 masih banyak tempat usaha yang belum menerapkan penggunaan aksara Bali,[28] dan tidak jarang pula ditemui papan nama dengan penulisan aksara Bali yang memiliki sejumlah kesalahan.[29] Salah satu yang menerima cukup banyak sorotan adalah kesalahan penulisan aksara Bali di terminal domestik Bandara Ngurah Rai.[30] Beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya kesalahan di antaranya adalah keengganan tempat usaha untuk berkonsultasi pada instansi dengan kompetensi memadai, serta ketergantungan pada program komputer yang tidak diimbangi dengan kemampuan baca tulis alami sehingga pengguna sering kali tidak sadar atau tidak mampu memperbaiki galat dan langsung mencetak apa yang tertera di layar. Akan tetapi, upaya ini tetap diapresiasi oleh banyak pihak dan diharapkan dapat menjadi batu pijakan untuk meningkatkan kualitas penerapan aksara Bali ke depannya.[31]
Bentuk
Aksara
Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Bali memiliki sekitar 45 aksara dasar, tetapi tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi dibedakan secara fonetis dan hanya digunakan untuk ejaan etimologis dalam konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Bali dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
Wyañjana
Aksara wyañjana (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬯ᭄ᬬᬜ᭄ᬚᬦ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Bali memiliki 33 aksara wyañjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[1][32]
^3 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Bali modern:
^4 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
^5 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
^6 /ɕa/ mendekati pengucapan sya dalam kata "syarat"
Dalam perkembangannya, bahasa Bali modern tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi sehingga aksara Bali modern hanya menggunakan 18 bunyi konsonan dan 18 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara wrĕṣāstra (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬯᬺᬱᬵᬲ᭄ᬢ᭄ᬭ). Aksara yang tersisa digunakan untuk mengeja kata serapan Sanskreta-Kawi dan disebut sebagai aksara śwalalita (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬰ᭄ᬯᬮᬮᬶᬢ). Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[32]
Meski pelafalannya tidak lagi dibedakan, śwalalita tetap lumrah digunakan dalam berbagai kata karena tata tulis Bali mempertahankan banyak aspek dari ejaan Sanskerta-Kawi. Sebagai contoh, kata desa tidak ditulis menggunakan aksara wrĕṣāstra sa dantiᬤᬾᬲ. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan tersebut dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena desa merupakan kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: deśaᬤᬾᬰ, menggunakan aksara śwalalita sa sagaᬰ alih-alih sa dantiᬲ. Bahasa Bali tidak membedakan pelafalan antara sa saga dan sa danti, tetapi ejaan asli yang menggunakan sa saga tetap dipertahankan dalam penulisan. Pengejaan berdasarkan akar kata (alih-alih pelafalan kontemporer) ini dikenal sebagai pasang pagĕh, yang salah satu fungsinya adalah untuk membedakan sejumlah kata yang kini bunyinya sama, misal antara pada (ᬧᬤ, tanah/bumi), pāda (ᬧᬵᬤ, kaki), dan padha (ᬧᬥ, sama), serta antara asta (ᬳᬲ᭄ᬢ, adalah), astha (ᬳᬲ᭄ᬣ, tulang), dan aṣṭa (ᬅᬱ᭄ᬝ, delapan).[33][34][35]
Swara
Aksara swara (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬲ᭄ᬯᬭ) adalah aksara yang digunakan untuk suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Aksara Bali memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[36]
^8 dalam penulisan bahasa Sasak dan Melayu digunakan pula untuk hentian glottal apabila dilekatkan dengan diakritik adĕg-adĕg
Sebagaimana aksara wyañjana, bahasa Bali modern tidak lagi membedakan pelafalan semua aksara swara dan hanya aksara untuk vokal pendek yang bersifat fonemis. Aksara vokal panjang digunakan untuk pengejaan kata serapan Sanskerta-Kawi namun dilafalkan sebagaimana padanan pendek masing-masing aksara.[34]
Ra rĕpaᬋ, ra rĕpa tĕdungᬌ, la lĕngaᬍ, dan la lĕnga tĕdungᬎ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[37][38] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Bali modern, ra rĕpa dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara la lĕnga dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ᬭᭂ → ᬋ) serta la+pepet (ᬮᭂ → ᬍ) tanpa terkecuali.[39]
Modre
Aksara modre (ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬫᭀᬤ᭄ᬭᬾ) adalah aksara suci yang terutama dipakai dalam bidang keagamaan untuk upacara, mantra, rajah, dan fungsi-fungsi keramat lainnya. Aksara tipe ini memiliki berbagai macam rupa, tetapi umumnya ditandai dengan adanya diakritik ulu candra atau ulu ricĕm. Pembahasan mengenai rupa dan jenis modre dapat ditemukan pada lontar dengan judul krakah atau griguh. Beberapa contohnya dapat dilihat sebagaimana berikut:[40][41][42]
Diakritik (panganggĕᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂ) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Bali juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.
Swara
Panganggĕ swara (ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂᬲ᭄ᬯᬭ) adalah panganggĕ yang digunakan untuk merubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya sebagaimana berikut:[36]
^6 bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta. Pelafalan tepatnya kurang diketahui
Sebagaimana aksara swara, hanya panganggĕ vokal pendek yang memiliki fungsi fonetis dalam bahasa Bali kontemporer, sementara panganggĕ vokal panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.
Tĕngĕnan
Panganggĕ tĕngĕnan (ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂᬢᭂᬗᭂᬦᬦ᭄) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[36]
^1 digunakan untuk menuliskan aksara modre dan kata-kata keramat[c]
^2 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata (lihat gantungan)
^3 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau kalimat (lihat gantungan)
Ardhaswara
Panganggĕ ardhaswara (ᬧᬗᬗ᭄ᬕᭂᬳᬃᬥᬲ᭄ᬯᬭ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[45][36]
Panganggĕ Ardhaswara
-rĕ
-y-
-r-
-l-
-w-
ᬺ
᭄ᬬ
᭄ᬭ
᭄ᬮ
᭄ᬯ
guwung macĕlĕk
nania
guwung
gantungan la
suku kĕmbung
krĕ
kya
kra
kla
kwa
ᬓᬺ
ᬓ᭄ᬬ
ᬓ᭄ᬭ
ᬓ᭄ᬮ
ᬓ᭄ᬯ
Gantungan
Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik adĕg-adĕg. Akan tetapi, adĕg-adĕg normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk gantungan (ᬕᬦ᭄ᬢᬸᬗᬦ᭄) atau gempelan (ᬕᬾᬫ᭄ᬧᬾᬮᬦ᭄) yang dimiliki oleh setiap aksara dasar; gantungan melekat di bawah aksara dasar sementara gempelan melekat di samping aksara dasar. Berbeda dengan adĕg-adĕg, gantungan/gempelan tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ma (ᬫ) yang diiringi bentuk pasangan dari pa (᭄ᬧ) menjadi mpa (ᬫ᭄ᬧ). Bentuknya sebagaimana berikut:[1]
tanda titik tiga (...}}) pada karakter bukanlah bagian dari gantungan/gempelan, tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
Contoh pemakaian gantungan dapat dilihat sebagaimana berikut:
komponen
penulisan
keterangan
+
+
+
=
a + (sa + (adĕg-adĕg + ta)) → a + (sa + (gantungan ta)) = a(sta)
+
+
+
+
=
ba + -u + (da + (adĕg-adĕg + dha)) → bu + (da + (gantungan dha)) = bu(ddha)
Angka
Aksara Bali memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, namun sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Bali, semisal angka 2 ᭒ dengan aksara swara la lĕngaᬍ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca carik untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 23 Ruwah" ditulis ᬢᬗ᭄ᬕᬮ᭄᭞᭒᭓᭞ᬭᬸᬯᬄ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok lontar. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[46]
Angka
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
᭐
᭑
᭒
᭓
᭔
᭕
᭖
᭗
᭘
᭙
Tanda baca
Teks tradisional Bali ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang bentuknya sebagaimana berikut:
Tanda Baca
carikcarik siki
carik parerencarik kalih
carik pamungkah
pamĕnĕng
pantipantĕn
pamada
pasalinan
carik agung
᭞
᭟
᭝
᭠
᭚
᭛
᭟᭜᭟
᭛᭜᭛
Carik digunakan untuk memisahkan kalimat (sebagaimana koma), carik pareren digunakan untuk mengakhiri kalimat (sebagaimana titik), sementara carik pamungkah berfungsi seperti titik dua. Pamĕnĕng merupakan tanda pemenggalan yang digunakan ketika suatu kata terputus di bagian tengah atau akhir baris kalimat lontar. Panti, pamada, dan carik agung umum digunakan sebagai pengawal teks serta penanda pergantian tembang sementara pasalinan digunakan untuk mengakhiri teks.[47]
Notasi musik
Tradisi musik Bali umumnya dipelajari secara lisan dan praktek langsung, namun terdapat beberapa notasi musik lokal yang memanfaatkan aksara Bali. Salah satunya yang paling umum digunakan adalah notasi ding-dong. Notasi ini pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh I Wayan Djirna dan I Wayan Ruma, dan disempurnakan kembali oleh guru Konservatori Karawitan (Kokar) Bali pada tahun 1960 untuk tujuan pedagogis. Notasi ini umumnya digunakan dalam pembelajaran gamelan dan tembang. Cuplikan notasi tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[48][49]
Notasi ini bukanlah satu-satunya skema yang digunakan dalam tradisi musik Bali. Notasi dari daerah lain atau untuk alat musik yang berbeda dapat menggunakan simbol yang sama untuk nada yang berbeda atau memiliki sejumlah simbol-simbol tambahan yang juga diadaptasi dari aksara Bali. Salah satu yang paling tua terdokumentasi adalah notasi gambang dari desa adat Tabola, Sidemen.[48]
Bahasa Bali memiliki banyak kata serapan dari bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Secara umum, ejaan kata-kata serapan tersebut dalam Bahasa Bali dengan aksara Bali mempertahankan ejaan aslinya dalam bahasa Jawa Kuno. Pemertahanan ejaan tersebut dapat dijelaskan dalam tiga aturan, yaitu:
aturan asimilasi konsonan yang didasarkan pada persamaan antara warga sesuai dengan aturan pengucapan
aturan ᬧᬲᬂᬧᬕᭂᬄ (pasang pageh) untuk mengeja sesuai dengan asal mula serapan
aturan ᬫᬤ᭄ᬯᬶᬢ (maduita) aksara yang diakhiri dengan surang maka aksara berikutnya digandakan
Asimilasi konsonan
Aksara yang dilekatkan dengan gantungan tertentu dapat mengalami asimilasi yang menyelaraskan antara warga aksara dasar dengan warga gantungan. Beberapa contoh asimilasi dapat dilihat sebagaimana berikut:[50]
Aturan ᬫᬤ᭄ᬯᬶᬢ (maduita) menyatakan suatu konsonan bergabung dengan konsonan yang sama secara wara aksara. Pasamuhan Agung Kecil 1963 tidak lagi mengharuskan maduita apabila penggabungan konsonan muncul akibat aksara berakhir dengan ᬃ surang.
Aksara maduita
Bali Latin
Bali
Baru
Bali
Lama
Jawa Kuno
Sanskerta
Prakerta (Pali)
arnawa
ᬅᬃᬡᬯ
ᬅᬃᬡ᭄ᬡᬯ
arṇawa
अर्णव (arṇavá)
aṇṇava
bina
ᬪᬶᬦ᭄ᬦ
bhinna
भिन्न (bhinná)
bhiṇṇa
buda
ᬩᬸᬤ᭄ᬥ
buddha
बुद्ध (buddha)
buddha
cita
ᬘᬶᬢ᭄ᬢ
citta
चित्त (cittá)
citta
dikara
ᬥᬶᬓ᭄ᬓᬭ
*dhikkāra
धिक्कार (dhikkāra)
dhikkāra
karma
ᬓᬃᬫ
ᬓᬃᬫ᭄ᬫ
karma
कर्म (karma)
kamma
kartika
ᬓᬵᬃᬢᬶᬓ
ᬓᬵᬃᬢ᭄ᬢᬶᬓ
kārttika
कार्त्तिक (kārttika)
kattiya
marga
ᬫᬃᬕ
ᬫᬃᬕ᭄ᬕ
marga
मार्ग (mārga)
magga
murka
ᬫᬹᬃᬓ
ᬫᬹᬃᬓ᭄ᬓ
mūrkha
मूर्ख (mūrkha)
murti
ᬫᬹᬃᬢᬶ
ᬫᬹᬃᬢ᭄ᬢᬶ
mūrti
मूर्ति (mū́rti)
*mūti
sida
ᬲᬶᬤ᭄ᬥ
siddha
सिद्ध (siddha)
siddha
utara
ᬉᬢ᭄ᬢᬭ
uttara
उत्तर (úttara)
uttara
utpana
ᬉᬢ᭄ᬧᬦ᭄ᬦ
utpan(n)a
उत्पन्न (utpanna)
yuda
ᬬᬸᬤ᭄ᬥ
yuddha
युद्ध (yuddhá)
yuddha
Catatan:
Bahasa Melayu Kuno juga mengeja kata marga dalam bentuk margga.
Singkatan
Dalam naskah lontar tradisional, sejumlah kata sering ditulis menggunakan bentuk singkatan yang disebut aksara añcĕng (ᬅᬓ᭄ᬱᬭᬳᬜ᭄ᬘᭂᬂ). Beberapa contohnya dapat dilihat sebagaimana berikut:[42][51]
Untuk singkatan modern yang didasarkan dari huruf Latin, maka pelafalan tiap huruf dalam singkatan yang bersangkutan akan ditulis satu-per-satu dalam penulisan aksara Bali. Sebagai contoh, SMA ditulis sebagai es-em-aᬏᬲ᭄ᬏᬫ᭄ᬅ, sementara itu DPR ditulis sebagai de-pe-erᬤᬾᬧᬾᬏᬃ.[42][52]
Bunyi non-Indik
Untuk kata-kata serapan selain Sansekerta-Kawi, tata tulis Bali memperlakukan huruf asing sesuai dengan pelafalan lokal huruf tersebut dalam kata serapan yang bersangkutan. Sebagai contoh:[42]
Karena pengaruh Islam dan penulisan Jawa, tata tulis Sasak memiliki sejumlah cara untuk menuliskan bunyi-bunyi asing yang terutama diserap dari bahasa Arab. Aksara ini terutama muncul pada karya berbahasa Jawa dan Sasak seperti Cilinaya, Hikayat Monyeh, Babad Lombok, dan Babad Selaparang.[53][54] Beberapa aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[55]
Fon Aksara Bali untuk komputer pertama kali dibuat adalah Bali Simbar. Fon ini dibuat oleh I Made Suatjana dengan memanfaatkan alokasi dari kodifikasi ASCII untuk dikamuflasekan ke dalam bentuk karakter Aksara Bali.[56] Namun, fon ini memiliki kelemahan yaitu hanya terbatas dalam keperluan pengetikan menggunakan templat untuk Microsoft Word.[57]
Fon Aksara Bali oleh Khoi Nguyen Viet adalah fon Aksara Bali pertama yang dibuat berdasarkan slot Unicode dan implementasi OpenType. Fon ini memiliki 370 glif, tetapi tidak dapat menampilkan taling⟨é⟩ dengan benar.[57] Tim kolaborasi dari Aditya Bayu Perdana, Ida Bagus Komang Sudarma, dan Arif Budiarto berhasil membuat seri fon Aksara Bali: Tantular Bali, Lilitan, dan Geguratan, semua menggunakan slot Unicode dan implementasi OpenType. Tantular memiliki 400 glif.[57] Namun masih memiliki kekurangan.[57]
Fon Unicode lainnya adalah Noto Serif Balinese dari Google.[58] Sayangnya, Noto Serif Balinese masih memperlihatkan beberapa kekurangan, seperti ketidakmampuan menampilkan lebih dari satu diakritik per konsonan.[57]
Sistem operasi BlankOn Linux merupakan distribusi Linux pertama yang menyediakan fon dan sistem input untuk Aksara Bali semenjak versi 6.0 (Ombilin).[59]
Oṁ nāthāya namostute stuti ningatpada ri pada Bhaṭāra nityaśa, sang sūkṣmeng tlĕnging samādhi Śīwa Buddha sira ṣakala niṣkalātmakā, sang śrī parwwata nātha nātha ninganātha sira ta patining jagatpati, sang hyang ning hyangnginiṣṭya cintya ningacintya hanā waya tmaḥ nireng jagat
Sembah sujud kepada hamba yang selalu memuja Paduka Duli Bhaṭāra, yang meresap dalam samādhi bagai Śīwa Buddha dan merupakan jiwa dunia akhirat, Paduka Sang Śrī Par̀wwata pelindung si nista dan rajanya Sang Hyang Jagatpati, Paduka adalah raja sekalian dewa yang paling gaib menjadi kenyataan di atas dunia
Dadiya nĕmbah aturkan sĕrat sang adipati, wus tinampan, sabar sang Bhatāra, dinaos sajĕroning galihe, ucapan sewala, wus puput, nuli sabda sang nyakrawati, lah ta paman aja susah, apan wus titah sang yang agung, maring makhluk luhur ing dunya, nĕmu susah, winalĕs senĕng sayĕkti, pun mangkane qudrat iradat.
Menghadap menghormat Adipati menghaturkan surat, sudah diterima, sabar sang Bhatāra, dibaca dalam hati, ucapan pesuruh, sudah sampai waktunya, sambil berkata sang Raja Besar, "Sudahlah paman jangan susah, semua sudah menjadi kehendak Sang Maha Agung, kepada mahluk tertinggi di dunia, menemui susah, berganti dengan sayekti, demikianlah kodrat iradat."
Gĕguritan Nĕngah Jimbaran, pupuh Dhandanggula bait 4[62]
Ĕntah brapakah lamanya kawin, ada timbul pĕnyakit kulora, pulo bali anterone, orang susah tĕrlalu, banyak sakit banyak yang māti, baik orang twa mudha, bai' orang agung, kabanyakan yang mudarat, sbab sakit tlalu kĕras mĕnyakiti, bikin cilaka orang
Lama setelah mereka menikah, timbul wabah kolera, yang melanda seluruh pulau Bali, semua orang kesulitan, banyak yang sakit dan mati, baik orang tua-muda, maupun orang agung (bangsawan), banyak orang yang merugi, lantaran sakitnya yang sangat keras, membuat celaka orang.
Perbandingan dengan aksara Jawa
Kerabat paling dekat dari aksara Bali adalah aksara Jawa. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Jawa sering kali tidak mengindahkan ejaan asli pada kosakata yang memiliki akar Sanskerta dan Kawi, sehingga tata tulis Jawa kontemporer tidak memiliki konsep yang serupa dengan pasang pagĕh. Dalam aksara Jawa, sebagian besar aksara yang dikategorikan sebagai śwalalita dalam aksara Bali dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦩꦸꦂꦢ), yakni aksara yang digunakan untuk menuliskan gelar dan nama terhormat.[63]
Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada. (Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)
Galeri
Raja Buleleng XIV, Gusti Ngurah Kĕtut Jĕlantik, bersama juru tulisnya, Wayan Tubok, sekitar tahun 1865. Keduanya sedang memegang lontar
Surat perkenalan dari Mads Johansen Lange kepada Raja Gianyar (atas, berbahasa Bali) dan Raja Tabanan (bawah, berbahasa Melayu) dari tahun 1852, koleksi British Library
Papan petunjuk arah dalam tiga bahasa di Bali
Kain umbul-umbul sulam
Lontar dengan kotak penyimpanan kropak, koleksi Tropenmuseum
Papan kayu dengan beberapa aksara modre
Injil beraksara Bali yang dicetak di Surabaya sekitar tahun 1910, koleksi Ramseyer-Northern Bible Society
^Sebagai lingua franca di Nusantara, banyak kalangan ningrat Bali pra-kemerdekaan yang fasih berbahasa Melayu untuk keperluan surat-menyurat dan diplomasi. Tidak jarang ditemukan karya sastra Bali dengan sejumlah kata serapan Melayu, dan beberapa karya bahkan digubah sepenuhnya dengan bahasa Melayu, salah satunya adalah Gĕguritan Nĕngah Jimbaran yang ditulis di awal abad ke-20 oleh Raja Badung VII, I Gusti Ngurah Made Agung (1876–1906).[10]
^Dalam wacana mengenai tradisi naskah Lontar Bali yang diterbitkan oleh koran Bali Orti, edisi Radite Kliwon, 21 April 2013, terbit pula artikel pendamping Nentĕn Mĕsti sĕtata Katĕngĕtang ("Tidak Mesti Dipandang sebagai Katĕngĕtang"). Isi artikel tersebut menanggapi reputasi lontar sebagai tĕngĕt yang sebaiknya tidak dipegang orang awam. Sang penulis artikel menyayangkan reputasi ini, dan mendorong masyarakat untuk tidak takut membaca lontar karena dalam kenyataannya lontar memiliki berbagai macam isi dan topik pembahasan.[23]
^Contoh kalimat yang menggunakan diakritik ulu candra dan ulu ricem bersamaan adalah mantra pembuka lontar ong awighnam astu nama siddhamᬒᬁᬳᬯᬶᬖ᭄ᬦᬫᬵᬲ᭄ᬢᬸᬦᬫᬲᬶᬤ᭄ᬥᬀ.[43][44]
^Sulistiati (1993). Babad Selaparang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 29. ISBN979-459-327-3. OCLC29929454.Lebih dari satu parameter |location= dan |place= yang digunakan (bantuan)
^Darusuprapta (2002). Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara bekerja sama dengan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Tengah. hlm. 11-13. ISBN979-8628-00-4.
^Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi(PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12.
Surat pada lembaran emas (1768) dikirim oleh Kanjeng Kyai Angrurah Jambe dari Badung dan Kyai Angrurah Agung dari Mengwi kepada Johannes Vos di Semarang, koleksi British Library no. Egerton MS 765
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini.Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala.Tag ini diberikan pada April 2016. Pornografi adalah penggambaran eksplisit subjek seksual untuk tujuan gairah seksual. Hal ini umumnya dikelompokkan menjadi beberapa subgenre yang berbeda. Pornografi biasanya dikategorikan sebagai softcore (lembut) atau hardcore (kasar). Pornografi lembut u…
Bintang-bintang di Walk of Stars, Village Green Heritage Center Palm Springs Walk of Stars adalah sebuah walk of fame di pusat kota Palm Springs, California, dimana Golden Palm Stars, yang menghormati berbagai orang yang tinggal di kawasan Palm Springs raya, ditempatkan dalam trotoar pinggi jalan. Jalan tersebut meliputi bagian-bagian dari Palm Canyon Drive, Tahquitz Canyon Way, La Plaza Court dan Museum Drive. Beberapa orang yang dihormati adalah Presiden Amerika Serikat, pembawa bisnis acara, …
City in Missouri, United States City in Missouri, United StatesLee's Summit, MissouriCityDowntown Lee's Summit FlagLocation of Lee's Summit in Jackson County and the state of MissouriLee's SummitLocation in MissouriShow map of MissouriLee's SummitLee's Summit (the United States)Show map of the United StatesLee's SummitLee's Summit (North America)Show map of North AmericaCoordinates: 38°55′02″N 94°22′54″W / 38.91722°N 94.38167°W / 38.91722; -94.38167CountryUnit…
Public university in Malete, Nigeria Kwara State UniversityKWASU gatewayMotto...the Green University for community development and entrepreneurshipTypePublicEstablished2009ChancellorJohnson AdewumiVice-ChancellorActing Vice Chancellor Professor Shykh Luqman JimohStudentsover 25,000Undergraduatesover 20,000Postgraduatesover 2,000Doctoral studentsover 500AddressP.M.B 1530 Ilorin, 23431, Malete, Kwara State, NigeriaCampusRuralNicknameKWASUWebsitewww.kwasu.edu.ng Kwara State University, also known a…
City in Alaska, United States This article is about the city on the Kenai Peninsula. For the peninsula in western Alaska, see Seward Peninsula. For other uses, see Seward. City in Alaska, United StatesSeward QutalleqCityAeeial view of Seward FlagSealNickname: Gateway to the Kenai FjordsMotto: Alaska Starts HereSewardLocation in AlaskaCoordinates: 60°07′28″N 149°26′00″W / 60.12444°N 149.43333°W / 60.12444; -149.43333CountryUnited StatesStateAlaskaBoro…
Festival Glastonbury 2010Audience in front of the West Holts stageTanggal23–28 Juni 2010LokasiWorthy Farm, Pilton, Somerset, InggrisPesertaGorillaz, Muse, Stevie Wonder 2010 Glastonbury Festival of Contemporary Performing Arts berlangsung di Pilton, Somerset, Inggris pada bulan Juni 2010. Festival ini headline oleh Gorillaz, Muse dan Stevie Wonder. U2 awalnya diumumkan sebagai headliners, tetapi mengundurkan diri pada 25 Mei 2010 setelah Bono melakukan operasi punggung. Gorillaz diumumkan seba…
هذه المقالة يتيمة إذ تصل إليها مقالات أخرى قليلة جدًا. فضلًا، ساعد بإضافة وصلة إليها في مقالات متعلقة بها. (أغسطس 2023) أوليفييه غيشار Olivier Guichard معلومات شخصية الميلاد 20 يناير 2004باريس (فرنسا) الوفاة 20 يناير 2004 (83 سنة) [1][2] باريس مواطنة فرنسا مناصب وزير العدل ف…
Not to be confused with Actinium fluoride. Acetyl fluoride Names Preferred IUPAC name Acetyl fluoride Systematic IUPAC name Ethanoyl fluoride Other names Methylcarbonyl fluoride Identifiers CAS Number 557-99-3 N 3D model (JSmol) Interactive image ChEBI CHEBI:191932 ChemSpider 10731 Y ECHA InfoCard 100.008.354 PubChem CID 11204 UNII SFP6JT54SF Y CompTox Dashboard (EPA) DTXSID3060326 InChI Key: JUCMRTZQCZRJDC-UHFFFAOYSA-N YInChI=1S/C2H3FO/c1-2(3)4/h1H3 SMILES FC(=O)C Prope…
Disambiguazione – Se stai cercando il singolo di Bob Marley & The Wailers, vedi Buffalo Soldier (singolo). Disambiguazione – Buffalo Soldiers rimanda qui. Se stai cercando altri significati, vedi Buffalo Soldiers (disambigua). Pompey Factor, Buffalo Soldier decorato con la Medaglia d'onore del Congresso nel 1875. Buffalo Soldier, ossia Soldato bisonte, è il soprannome conferito originariamente ai membri del 10º Reggimento di Cavalleria dell'Esercito degli Stati Uniti dalle trib…
Stand Up Comedy AcademyMusim 3Penayangan28 Agustus 2017 (2017-08-28) – 22 Oktober 2017Juri Abdel Achrian Raditya Dika Soimah Pancawati Ernest Prakasa Komeng Jarwo Kwat Pandji Pragiwaksono Babe Cabita Boris Bokir Ge Pamungkas Dodit Mulyanto Mudy Taylor Arie Kriting Rina Nose Pembawa acara Gilang Dirga Okky Lukman Nikita Mirzani Ramzi Ardit Erwandha Rina Nose Arie Kriting Gading Marten SaluranIndosiarPeserta35Lokasi finalStudio 1 IndosiarDurasi180 menitPemenang:Bintang EmonAsal Daerah …
Religious principle For other uses, see Karma (disambiguation). Broad classification of Karmas as per Jain philosophy Part of a series onJainism Jains History Timeline Index Philosophy Anekantavada Cosmology Ahimsa Karma Dharma Mokṣa Kevala Jnana Dravya Tattva Brahmacarya Aparigraha Gunasthana Saṃsāra EthicsEthics of Jainism Mahavratas (major vows) Ahiṃsā (non-violence) Satya (truth) Asteya (non-stealing) Brahmacarya (chastity) Aparigraha (non-possession) Anuvratas (further vows) Sāmāy…
Gideon Ezra Jabatan kementerianFaksi yang diwakili dalam Knesset Informasi pribadiLahir30 Juni 1937Yerusalem, Mandat PalestinaMeninggal17 Mei 2012(2012-05-17) (umur 74)Sunting kotak info • L • B Gideon Ezra (Ibrani: גדעון עזרא, 30 Juni 1937 – 17 Mei 2012) adalah seorang politikus Israel. Ia menjabat sebagai anggota Knesset mewakili Likud dan Kadima antara 1996 dan 2012, dan juga menjabat dalam beberapa jabatan kementerian. Referensi Pranala luar Gi…
For the 1959 comedy film, see The Thieves (1959 film). 2012 South Korean filmThe ThievesTheatrical release posterHangul도둑들Hanja盜賊들Revised RomanizationDodukdeulMcCune–ReischauerTodukdŭl Directed byChoi Dong-hoonWritten by Choi Dong-hoon Lee Ki-cheol Produced byAhn Soo-hyunStarring Kim Yoon-seok Kim Hye-soo Lee Jung-jae Jun Ji-hyun Simon Yam Kim Hae-sook Oh Dal-su Kim Soo-hyun Derek Tsang CinematographyChoi Young-hwanEdited byShin Min-kyungMusic by Jang Young-gyu Dalpalan Distribute…
Sebuah perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menggunakan metode baru dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Barat dari tahun 2010 hingga sekarang. Berikut ini akan disajikan penjelasan, sejarah, dan metodologi perhitungan IPM, serta daftar kabupaten dan kota Sulawesi Barat menurut IPM tahun 2013. Penjelasan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk s…
County in Podlaskie Voivodeship, PolandZambrów County Powiat zambrowskiCounty FlagCoat of armsLocation within the voivodeshipCoordinates (Zambrów): 52°59′N 22°15′E / 52.983°N 22.250°E / 52.983; 22.250Country PolandVoivodeshipPodlaskieSeatZambrówGminas Total 5 (incl. 1 urban) ZambrówGmina Kołaki KościelneGmina RutkiGmina SzumowoGmina Zambrów Area • Total733.11 km2 (283.06 sq mi)Population (2019) • Total43,…
British reality television series This article needs additional citations for verification. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed.Find sources: Britain's Next Top Model – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (May 2016) (Learn how and when to remove this message) Britain's Next Top ModelAlso known asBritain & Ireland's Next Top Model(2011–13)GenreReality telev…
Panduan di tempat (Hangul: 현지지도; RR: hyeonjijido; juga tur panduan atau panduan lapangan) adalah sebuah istilah yang dipakai dalam media massa Korea Utara untuk menyebut kedatangan para pemimpin tertinggi Korea Utara, sering kali di tempat-tempat terkait militer atau industri, dimana pemimpin tersebut memberikan arahan. Panduan di tempat adalah aspek penting dari propaganda Korea Utara dan kultus individu Korea Utara dari dinasti Kim. Kim Il-sung, Kim Jong-il dan Ki…
Second Sikh guru from 1539 to 1552 Guru Angadਗੁਰੂ ਅੰਗਦMiniature painting depiction of Guru AngadPersonalBornLehna(1504-03-31)31 March 1504Matte-di-Sarai (Sarainaga), Sri Muktsar Sahib, PanjabDied29 March 1552(1552-03-29) (aged 47)Khadur Sahib, Tarn Taran district[1]ReligionSikhismSpouseMata KhiviChildrenBaba Dasu (1521–1598) Baba Dattu (1524–1575) Bibi Amro (1529–1601) Bibi Anokhi (1531–1608)Parent(s)Mata Ramo and Baba Pheru MalKnown forStandardising the…