Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Tugu Ngejaman

Tugu Jam (Ngejaman)
ꦠꦸꦒꦸꦔꦺꦗꦩꦤ꧀
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriStruktur
No. RegnasBelum ada
(Pengajuan 30 Maret 2017)
Lokasi
keberadaan
Jalan Marga Mulya, Kalurahan Ngupasan, Kemantrén Gondomanan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tanggal SKSurat Keputusan Wali Kota No. 297 Tahun 2019
PemilikPemerintah Kota Yogyakarta
PengelolaBalai Pelestarian Cagar Budaya Kota Yogyakarta

Tugu Ngejaman (bahasa Jawa: ꦠꦸꦒꦸꦔꦺꦗꦩꦤ꧀, translit. Tugu Ngejaman) (dahulu bernama stadsklok atau "jam kota") atau Wayah Titiyoni adalah penanda waktu yang terletak di depan GPIB Marga Mulya Yogyakarta, tepatnya di Jalan Marga Mulya, Kalurahan Ngupasan, Kemantrén Gondomanan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tugu jam tersebut didirikan sebagai persembahan dari masyarakat Belanda kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa kembali di Jawa pada awal abad ke-19, setelah sebelumnya dikuasai oleh pemerintah Inggris tahun 1811–1816.

Keadaan bangunan

Keadaan Tugu Ngejaman dan GPIB Marga Mulya pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Berdasarkan catatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta, tugu jam tersebut didirikan tahun 1916 sebagai persembahan dari masyarakat Belanda kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa kembali di Jawa pada awal abad ke-19.[1][2][3] Sebagian masyarakat Yogyakarta menamai jam ini Wayah Titiyoni. Wayah berarti "waktu", juga disebut wanci, sedangkan titiyoni bermakna "masa". Kata titiyoni mirip dengan kata titisoni dalam kamus bahasa Jawa Kawi artinya sirep, yang berarti "tidur".[4]

Bangunan ini terdiri atas dua bagian, yaitu alas berbentuk persegi dan sebuah jam berbentuk bulat yang berada di atasnya.[5] Alas jam itu memiliki ketinggian sekitar 1,5 meter dari permukaan jalan dengan diameter jam berukuran 45 sentimeter.[6] Jarum jam ini sendiri bergerak dengan sistem pegas yang harus diputar setiap waktu tertentu.[7] Hal inilah yang menyebabkan warga di sekitar jam tersebut bergantian memutar pegas jam agar tetap bergerak demi kepentingan umum.[8]

Bangunan itu ditetapkan sebagai warisan budaya melalui Surat Keputusan Wali Kota (Kepwal) No. 297 Tahun 2019 tentang Daftar Warisan Budaya Daerah. Penetapan tersebut mengacu kepada Peraturan Daerah DIY Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya.[9]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Tugu Ngejaman". Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Agustus 2020. 
  2. ^ Fauziah, Siti Mahmudah Nur (Oktober 2018). "Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756–1941". Lembaran Sejarah. 14 (2): 179. 
  3. ^ "Top Files: Di Balik Kisah Tugu Ngejaman dan Loji Setan". Okezone.com. Diakses tanggal 17 Agustus 2020. 
  4. ^ "Dua Ngejaman dalam Waktu dan Sejarah Berbeda". For News. Diakses tanggal 26 Mei 2022. 
  5. ^ "Tugu Ngejaman Penanda Satu Abad Belanda Berkuasa di Jawa". Star Jogja. Diakses tanggal 17 Agustus 2020. 
  6. ^ "Tugu Ngejaman, Hadiah Belanda yang Tak Terawat". Medcom. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-11. Diakses tanggal 28 Mei 2022. 
  7. ^ "Mengenal Tugu Ngejaman, Hadiah dari Belanda di Kawasan Malioboro". Liputan6.com. Diakses tanggal 28 Mei 2022. 
  8. ^ Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Ragam Penanda Zaman: Memaknai Keberlanjutan Merawat Jejak Peradaban. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 82. 
  9. ^ "Pemilik Bangunan Bersejarah di Yogyakarta Terbebani Mahalnya PBB". Harian Merapi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Agustus 2021. Diakses tanggal 17 Agustus 2020. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya