LancangLancang (juga ditulis sebagai lanchang atau lancha) adalah jenis kapal layar dari kepulauan Melayu. Ia digunakan sebagai kapal perang, kapal angkut, dan sebagai kapal kerajaan, utamanya digunakan oleh orang-orang dari pantai Timur Sumatra,[1] tetapi juga dapat ditemukan di pesisir Kalimantan.[2] EtimologiNamanya berasal dari kata Melayu lancang yang berarti "cepat".[3] Desain dan konstruksiPenyebutan lancang paling awal adalah dari prasasti Julah tanggal 844 Saka (923 masehi), yang menjelaskan perintah raja Sri Ugrasena tentang aturan tertentu. Prasasti ini menyebutkan beberapa istilah untuk kapal seperti lancang, parahu, jukung, talaka, bahitra, dan jong.[4] Bentuk pembuatan perahu tertua tercatat di Gilimanuk, Bali. Para pembuat perahu itu disebut undagi lancang.[5][2] Menurut prasasti Ngantang, lancang juga digunakan oleh Majapahit, dibangun oleh undagi lancang di daerah kekuasaan Majapahit. Lancang pada era ini tidak memiliki layar.[6][2] Lancang memiliki buritan persegi menggantung, di atas buritan garis air yang tajam.[1] Lancang biasanya memiliki 2 tiang layar, tetapi versi dengan 1 dan 3 tiang juga dicatat.[1] Secara historis mereka dikemudikan menggunakan kemudi samping ganda, tetapi pada abad ke-18 mereka juga dapat menggunakan kemudi aksial yang dipasang di linggi buritan.[7] Lancang terkecil (dengan hanya 1 tiang) panjangnya sekitar 5 depa (9,1 m), dengan lebar 1 depa (1,83 m), kedalaman 1,5 kaki (46 cm), freeboard 4 kaki (1,2 m), membawa muatan 5 pikul (312,5 kg), diawaki oleh 4 orang,[1] sedangkan yang terbesar mungkin mencapai sekitar 26 m panjangnya berdasarkan bangkai kapal Sambirejo.[3] Lancang dari era yang lebih tua menggunakan sistem layar tanja, tetapi dipping lugsail atau layar depan-dan-belakang digunakan setelah kedatangan orang Eropa. Lancang memiliki haluan "clipper", dengan anjungan depan segitiga depan untuk jangkar, yang juga bertindak sebagai tiang cucur. Layar haluan dapat digunakan di haluan. Lambungnya dibangun menggunakan teknik carvel-built, dibangun dengan gaya yang sangat mirip dengan kapal-kapal Eropa. Mereka biasanya dipersenjatai dengan meriam pivot.[1] Di Bandar, Malaysia, sejenis lancang yang disebut lancang To'Aru dibangun.[Catatan 1] Ia mirip dengan lancang pada lambungnya, tetapi dengan platform persegi panjang menggantung di atas haluan, di mana dua meriam putar dipasang. Layar menggunakan layar depan dan belakang dengan gap dan bom pada dua tiang. Kapal dengan sistem layar seperti itu di pantai timur semenanjung Melayu umumnya membawa tiang atas yang panjang dan jibboom untuk layar cuaca ringan.[1] PeranPeran lancang tampaknya terutama untuk perang[8] dan sebagai kapal dagang, seperti kapal Melayu lainnya. Catatan Portugis menyebut mereka sebagai lanchão, dengan peran sebagai tongkang atau kapal pengangkut.[9] Hubungan dengan orang-orang Eropa mengurangi pembajakan laut Singapura pada tahun 1820-an, meskipun ia masih ada, menggunakan kapal-kapal yang lebih kecil dari yang sebelumnya digunakan, untuk beberapa dekade setelahnya. Di sekitar perairan Singapura, bajak laut Melayu menggunakan lanchang-lanchang yang membawa 25–30 orang, dengan draft yang dangkal, membuat mereka mudah disembunyikan di hutan bakau. Lanchang yang mereka gunakan umumnya sekitar 50–60 kaki (15,24–18,3 m) panjangnya, 11–13 kaki (3,4–4 m) lebarnya, dengan 5–7 kaki (1,5–2,1 m) kedalamannya.[10] Pada abad ke-20 lancang digunakan oleh negara-negara Melayu sebagai kapal kargo.[11] Di pantai Sumatra digunakan oleh raja-raja Melayu sebagai kapal negara.[1] Di Selangor, kapal kerajaan ini didedikasikan untuk melayani para roh, juga disebut kapal hantu. Ia akan dimuat dengan persembahan dan saji-sajian, kemudian dilarungkan untuk mendamaikan jin di laut.[1][8] Di Sumatra dan Kalimantan, lancang memegang peranan penting dalam upacara-upacara panen dan perahu-perahu ini kadang-kadang dipergunakan dalam upacara-upacara persembahan kepada Tuhan. Pada bagian depan perahu kadang-kadang dipahatkan kepala naga sebagai suatu kekuatan yang menjaga keselamatan manusia.[2] Dalam budaya tradisionalDi Riau, Indonesia, ada tradisi dan kisah lancang kuning, diambil sebagai metafora untuk kekuasaan penguasa dan negara. Sebuah pantun populer menjelaskan hal ini:[12]
Galeri
Lihat jugaCatatan
Referensi
|