Ogoh-ogohOgoh-ogoh (Bali: ᬳᭀᬕᭀᬳᭀᬕᭀᬄ) adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang umumnya diarak saat Pengrupukan, tradisi Hindu Bali yang dilaksanakan untuk menyambut Hari Raya Nyepi (Tahun Baru Saka). Tradisi tersebut merupakan bagian dari prosesi Tawur Kesanga, ritual Hindu Bali untuk menetralisir kekuatan negatif di alam sekitar dan "mendamaikan" makhluk-makhluk alam bawah menjelang pergantian Tahun Saka. Dalam pawai saat Pengrupukan, ogoh-ogoh merupakan lambang keburukan sifat-sifat manusia atau negativitas di alam. Maka setelah pawai selesai, ogoh-ogoh akhirnya dibakar sebagai representasi pengenyahan sifat-sifat tadi. Pembakaran biasanya di lapangan kuburan desa.[1] Ogoh-ogoh pada umumnya dibuat di setiap banjar, yaitu komunitas tradisional masyarakat Bali setingkat Rukun Warga. Sosok Butakala, yaitu makhluk jejadian atau penghuni "alam bawah" dalam kepercayaan Hindu merupakan tema ogoh-ogoh yang umum dan dianggap mencirikan kualitas negatif dalam diri manusia, meskipun pada masa kini banyak ogoh-ogoh yang berbentuk hewan mitologis, tokoh-tokoh pewayangan atau sastra Hindu, bahkan dewa-dewi Hindu. Ogoh-ogoh dapat dibuat dalam bentuk individu, berpasangan, maupun berkelompok. Bahan pembuatan yang lazim ialah bambu atau rotan yang dijalin—atau bahkan stirofoam—kemudian dilapisi dengan kertas. Proses pembuatannya memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan tergantung pada tingkat kerumitan dan tenaga penggarapnya. Tradisi ogoh-ogoh seperti yang dikenal sekarang ini merupakan kebudayaan yang relatif baru. Diperkirakan bahwa tradisi ini berkembang pada dasawarsa 1980-an, meskipun pada tahun-tahun sebelumnya ogoh-ogoh sudah ada, tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana dan belum dikenal secara luas. Tradisi lelakut, patung pelebonan, hingga Barong Landung ditengarai sebagai akar tradisi dan inspirasi bagi perkembangan awal ogoh-ogoh. Saat ini, ogoh-ogoh menjadi ciri khas penyambutan Nyepi dan dilombakan hampir setiap tahun di Bali dalam tingkat yang berbeda-beda. Di luar Bali, tradisi ogoh-ogoh juga dilaksanakan di daerah-daerah dengan jumlah umat Hindu yang signifikan (terutama yang merayakan Nyepi), seperti Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan lain-lain. Di daerah-daerah tersebut, pawai ogoh-ogoh dimaknai sebagai bentuk kerukunan antarumat beragama, dan partisipasi tidak terbatas kepada umat Hindu saja. Selain kota-kota di luar Bali, ogoh-ogoh juga dipertunjukkan dalam beberapa pawai budaya di luar negeri. EtimologiSecara etimologi, "Ogoh-ogoh" berasal dari bahasa Bali, yaitu kata ogah yang artinya "goyang"; ngogah artinya "menggoyang".[2] Reduplikasi ogah-ogah artinya "digoyang-goyangkan".[3] Hal tersebut berkaitan dengan cara pengarakan ogoh-ogoh, yaitu digoyang-goyangkan agar terlihat seolah-olah bergerak dan menari. Kata "ogoh-ogoh" ini termasuk kosakata asli Bali yang relatif baru dan tidak ditemukan definisinya dalam kamus bahasa Bali yang disusun sebelum 1980.[4] Pada kamus bahasa Bali terbitan tahun 1991, kata "ogoh-ogoh" ada dan didefinisikan sebagai patung yang dibuat dari bambu atau kertas, berbentuk butakala atau raksasa.[2] SejarahAsal-usul dan akar tradisiTradisi ogoh-ogoh seperti yang dikenal sekarang ini tergolong budaya yang relatif baru,[5] dan tidak berasal dari zaman Bali Kuno,[6] tetapi memiliki akar dan inspirasi dari tradisi kuno.[7] Tradisi pembuatan patung raksasa untuk diarak beramai-ramai sudah ada sebelum tradisi ogoh-ogoh yang dikenal sekarang ini. Namun sebelum 1980-an, patung-patung tersebut belum dikenal dengan istilah ogoh-ogoh, dan pengarakannya tidak untuk pawai Pengrupukan (sehari sebelum Nyepi), melainkan untuk upacara kremasi besar atau pelebonan yang menggunakan Bade Awin atau Pengabenan Mawangun.[8] Upacara jenis ini diselenggarakan oleh keluarga bangsawan puri. Patung tersebut juga dapat dibuat saat kremasi pendeta Hindu.[9] Video bersejarah yang direkam oleh komponis Colin McPhee dari Kanada menampilkan sejumlah patung diarak sewaktu pelebon di Gianyar tahun 1933.[10] Menurut budayawan Anom Ranuara, patung-patung yang mengiringi kremasi tersebut menjadi inspirasi ogoh-ogoh seperti sekarang ini.[8] Selain patung-patung yang diusung saat pelebonan, bentuk kesenian yang menampilkan sosok tinggi besar juga terdapat pada Barong Landung, boneka raksasa yang diarak seperti Ondel-ondel. Kesenian ini sudah dikenal masyarakat Bali sejak zaman kuno. Film dokumenter La Isla de Bali (1930) yang dibuat oleh etnolog Miguel Covarrubias dari Meksiko menampilkan sosok Barong Landung dalam suatu upacara pelebon di Bali. Namun Barong Landung tersebut tanpa pasangan, berwajah raksasa dan membawa senjata, berbeda dengan Barong Landung pada umumnya. Kesenian Barong Landung ini ditengarai memiliki kemiripan dengan ogoh-ogoh.[2][7] Tidak ada kepastian tentang kapan tradisi pengarakan ogoh-ogoh―dalam rangka menyambut Hari Nyepi―dilakukan untuk pertama kali. Ada hipotesis bahwa pengarakan ogoh-ogoh terinspirasi dari lelakut (orang-orangan sawah) atau petakut yang berfungsi sebagai pengusir burung di sawah. Lelakut ini diyakini dapat mengandung kekuatan magis apabila pembuatan dan penancapannya sesuai dengan petunjuk dalam lontar atau pustaka Bali Kuno; adapun fungsinya sebagai penolak serangan hama. Menurut budayawan Anom Ranuara, tradisi lelakut kemudian diadopsi sebagai patung yang diarak dalam Pengabenan Mawangun, yang pada akhirnya menginspirasi kemunculan tradisi ogoh-ogoh saat Pengrupukan.[8] Hipotesis lainnya menyatakan bahwa ogoh-ogoh berasal dari tradisi ngelawang, yaitu menolak bala dengan cara membawa barong berkeliling desa.[11] Sebelum adanya tradisi ogoh-ogoh, masyarakat Hindu Bali menyambut Nyepi dengan serangkaian ritual Pengurupukan di lingkungan desa dan rumah masing-masing. Kegiatannya meliputi: pelaksanaan caru, menyalakan obor atau api pada daun kelapa kering, menaburkan rajangan rempah berbau menyengat (jeringau, mesoyi, bawang merah), dan menabuh bunyi-bunyian (kentungan, cengceng). Setelah tradisi ogoh-ogoh berkembang, pengarakan ogoh-ogoh ditambahkan pada akhir rangkaian ritual tadi, dan akhirnya identik dengan Pengrupukan. Beberapa jurnalis dan akademisi memperkirakan bahwa tradisi tersebut berkembang pada dekade 1980-an, meskipun sebelumnya sudah ada tetapi bentuknya masih sangat sederhana,[9] serta belum terlalu dikenal.[12] Perkembangan awalCikal bakal ogoh-ogoh berasal dari tradisi yang dilakukan oleh beberapa komunitas masyarakat Bali (dikenal dengan istilah "banjar", sejenis Rukun Warga) dalam menyambut Nyepi. Di Denpasar, tradisi ini berawal dari lingkungan Puri Kesiman.[9] Wayan Candra, pemilik Sanggar Gases Sesetan memperkirakan bahwa ogoh-ogoh sudah muncul sekitar tahun 1950-an, tetapi mulai dikenal masyarakat pada tahun 1960-an.[12] Prototipe atau bentuk awal ogoh-ogoh berupa boneka jerami (lelakut) dan dipajang di perempatan desa. Setelah rangkaian ritual Pengrupukan usai, boneka tersebut akhirnya dibakar.[9] Jurnalis I Nyoman Suarna menyatakan bahwa perkembangan ogoh-ogoh di Denpasar diinisiasi oleh kaum pemuda. Pada tahun 1970-an di Denpasar Timur, sekelompok pemuda banjar mengarak lelakut saat menjelang Nyepi, yang kemudian menjadi inspirasi bagi banjar lainnya untuk membuat sesuatu yang lebih menarik. Tahun berikutnya, sekelompok pemuda membuat patung yang lebih representatif, terinspirasi dari lelakut dan patung yang diusung saat kremasi bangsawan puri. Mereka menyebutnya ogoh-ogoh karena digoyang-goyangkan saat diarak keliling desa. Namun aktivitas para pemuda tidak selamanya berjalan mulus karena pada awalnya banyak mendapat tentangan dari generasi tua. Meskipun demikian, kaum pemuda tetap bersikeras mengarak ogoh-ogoh lalu mendapat perhatian masyarakat luas. Tahun-tahun berikutnya, ogoh-ogoh bermunculan di sejumlah banjar.[4] Semenjak Presiden Soeharto menetapkan Nyepi sebagai hari libur nasional (Keputusan Presiden No. 3 tahun 1983),[13] Gubernur Bali Ida Bagus Mantra mengimbau masyarakat untuk memeriahkan penyambutan Nyepi dengan membuat dan mengarak ogoh-ogoh pada saat ritual Pengrupukan.[9] Pada dasawarsa 1980-an, tradisi pengarakan ogoh-ogoh semakin berkembang di sejumlah tempat di Bali. Hal itu mendapat perhatian pemerintah dengan diselenggarakannya lomba ogoh-ogoh tingkat kecamatan.[4] Ogoh-ogoh benar-benar "membumi" di Bali atau berkembang secara merata semenjak dilombakan pada Pesta Kesenian Bali tahun 1990.[12] Dasawarsa 1990 dan 2000Dalam perkembangannya—terutama pada dasawarsa 1990-an dan 2000-an—banyak bentuk ogoh-ogoh yang mencari referensi kepada budaya dan isu populer pada masa tersebut,[6] atau dibuat menyerupai tokoh masyarakat, seperti selebritas, politikus, bahkan narapidana.[14] Dalam perlombaan yang lebih konservatif, komunitas pembuat ogoh-ogoh secara tidak langsung diharuskan untuk menggali cerita Hindu dan Bali untuk diangkat sebagai inspirasi ogoh-ogoh. Namun kreativitas masyarakat Bali tidak lepas dari pantauan pemerintah dan lembaga adat. Mereka memantau ogoh-ogoh yang dibuat masyarakat, serta melarang ogoh-ogoh yang dinilai mengandung unsur SARA dan politik.[15] Pada tahun-tahun politik dasawarsa 1990-an dan 2000-an, tradisi pengarakan ogoh-ogoh pernah dilarang oleh pemerintah daerah.[16][17] Meskipun demikian, beberapa komunitas masyarakat tetap membuatnya tetapi tidak seramai tahun-tahun yang lain, atas pertimbangan bahwa ogoh-ogoh merupakan tradisi dan kreativitas yang tersalurkan.[16][17][18] Dasawarsa 2010Awal dasawarsa 2010-an, ogoh-ogoh yang semula dibuat dari jalinan bambu atau rotan, akhirnya mulai banyak yang dibuat dari stirofoam dengan alasan kemudahan. Atas pertimbangan kesehatan, sejak 2015 pemerintah daerah Bali "melarang" pemanfaatan stirofoam pada proses pembuatan ogoh-ogoh,[19] dan banyak perlombaan ogoh-ogoh yang melarang pemakaiannya.[20] Musik dengan pengeras suara atau sound system juga mulai dilarang untuk mengiringi pawai ogoh-ogoh, karena dinilai tidak menampilkan kebudayaan Bali.[21] Pemerintah dan lembaga adat menganjurkan agar pawai ogoh-ogoh tetap menggunakan gamelan baleganjur, yang juga biasa dipakai mengiringi arak-arakan kegiatan adat di Bali. Selan itu, gamelan dinilai lebih menampilkan budaya Bali, serta meningkatkan taksu atau karisma ogoh-ogoh yang diarak.[21] Pertengahan dasawarsa 2010-an, inovasi tradisi ogoh-ogoh ditandai dengan penggarapan ogoh-ogoh yang digerakkan mesin. Tahun 2016, kelompok pemuda-pemudi di kelurahan Panjer, Denpasar Selatan berinovasi melalui penciptaan ogoh-ogoh "bergerak" yang dikendalikan dengan ponsel pintar, dan dihubungkan dengan sistem Bluetooth.[22] Tahun-tahun berikutnya, sejumlah banjar di Depasar berinovasi dalam pembuatan ogoh-ogoh yang dapat digerakkan mesin, serta mengedepankan bahan-bahan yang ramah lingkungan.[23] Denpasar Utara melakukan inovasi penciptaan ogoh-ogoh yang dapat rebah dan berdiri dengan memanfaatkan sistem hidrolik.[24] Dalam berproses, sejumlah banjar dapat menggelontorkan dana mencapai puluhan juta rupiah, serta melibatkan mahasiswa teknik dalam penggarapan ogoh-ogoh berteknologi mutakhir.[24] Banjar dengan ogoh-ogoh inovatif pun kerap mengikuti perlombaan di tingkat kota. Saat memasuki tahun politik 2019, pemerintah daerah tidak melarang pembuatan ogoh-ogoh di Bali, tetapi meregulasi agar tidak ada pembuatan ogoh-ogoh yang dinilai mengandung unsur politik. Lomba ogoh-ogoh pun tetap diadakan pada tahun tersebut.[25] Dasawarsa 2020Memasuki dasawarsa 2020-an, pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, termasuk Bali. Pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan larangan berkerumun atau mengadakan keramaian, dan menetapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat pada Februari 2020. Hal ini juga berdampak kepada tradisi pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh yang telanjur dibuat pada awal 2020 (sebelum pembatasan kegiatan masyarakat) akhirnya batal diarak, meskipun ritual menyambut Nyepi tetap dilaksanakan dengan pembatasan yang ketat.[26] Pada tahun 2021, saat pandemi Covid-19 belum berakhir, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Desa Adat, dan pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan surat edaran untuk meniadakan pawai ogoh-ogoh pada tahun tersebut.[27] Tahun 2022, pemerintah provinsi Bali juga mengeluarkan larangan yang sama.[28] Pawai ogoh-ogoh kembali diadakan pada tahun 2023, ditandai dengan pengumuman lomba ogoh-ogoh yang diedarkan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.[20] Pada masa kini, ogoh-ogoh tidak hanya diarak sehari sebelum Nyepi, tetapi ada yang dilombakan dan diarak pada festival penyambutan Hari Raya Nyepi.[29] Terdapat pula Museum Ogoh-ogoh di Mengwi, Bali yang menyimpan sejumlah ogoh-ogoh dan dikelola oleh pihak swasta.[30] PembuatanOgoh-ogoh dibuat sebagai simbol keburukan atau kejahatan yang akan diarak dan dibakar menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru Saka). Ini merupakan tradisi memeriahkan ritual Tawur Kesanga, salah satu prosesi menyambut Nyepi. Berbeda dengan upacara Melasti dan Tawur Kesanga, tradisi ogoh-ogoh bukan merupakan suatu kewajiban dalam menyambut Nyepi,[26] melainkan pemeriah ritual,[31] sehingga tradisi ini sempat tidak diadakan pada tahun-tahun tertentu, terutama saat tahun politik dan pandemi Covid-19. Pada umumnya, ogoh-ogoh dibuat oleh komunitas tradisional orang Bali yang disebut banjar, terutama seka teruna-teruni (STT), yaitu divisi dalam suatu banjar yang menaungi kegiatan pemuda-pemudi di banjar tersebut. Kreativitas yang dicurahkan serta dana yang digelontorkan membuat ogoh-ogoh kerap menjadi kebanggaan dan prestise kelompok pemuda-pemudi di Bali setiap menyambut Nyepi.[32] Banyak pula ogoh-ogoh yang dibuat oleh komunitas lain di luar banjar, meliputi kelompok lingkungan perumahan serta seka demen (kelompok sehobi). Bahan dasar ogoh-ogoh ialah bambu atau rotan yang dijalin membentuk kerangka sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Di Bali, banyak ogoh-ogoh yang dibentuk pada suatu rangkaian besi yang berfungsi sebagai "tulang" yang menopang dan memperkuat konstruksi ogoh-ogoh.[33] Kemudian bentuk dari jalinan bambu atau rotan tersebut dilapisi dengan kertas dalam beberapa tahap sampai mencapai ketebalan atau tekstur yang diharapkan. Proses berikutnya ialah pelapisan dengan bahan bertentu, lalu pewarnaan dengan cat. Beberapa ogoh-ogoh dibuat dengan menambahkan bulu-bulu, serat, atau bahan lainnnya sesuai kreativitas. Kain, perhiasan, dan aksesoris merupakan pelengkap yang dipasang belakangan. Ada pula ogoh-ogoh yang berbahan dasar stirofoam atau gabus, suatu produk busa sintetis dari polistirena. Pembuatan ogoh-ogoh berbahan stirofoam marak di Denpasar sejak 2011, karena bahan tersebut mudah dibentuk.[34] Namun ogoh-ogoh harus dibakar, dan asap yang ditimbulkan dari pembakaran stirofoam lebih berbahaya untuk dihirup dibandingkan dengan bahan yang lebih alami.[33][35] Sejak 2015, pemerintah daerah Bali meregulasi larangan pembuatan ogoh-ogoh berbahan stirofoam.[19][34] Usai pandemi Covid-19, pemanfaatan bahan organik sebagai bahan dasar ogoh-ogoh—misalnya daun dan kulit pohon—menjadi tren di sebagian besar seka teruna-teruni atau komunitas pemuda Bali.[36] Lamanya proses pengerjaan suatu ogoh-ogoh tergantung kepada desain, tingkat kerumitannya, serta tenaga kerja. Ada yang berkisar antara 1 minggu hingga 1 bulan,[37] bahkan ada yang mencapai 5 bulan.[38] Tinggi ogoh-ogoh pun bervariasi, mulai dari ogoh-ogoh mini yang tingginya kurang dari 1 meter―biasa dipajang di toko-toko seputar Depasar menjelang Nyepi―hingga ogoh-ogoh buatan banjar yang dapat mencapai 8 meter.[39] Sementara itu, beberapa lomba mensyaratkan tinggi maksimal ogoh-ogoh yaitu 6 meter.[24] Berat rata-rata ogoh-ogoh juga tergantung kepada tinggi dan konstruksinya, antara 100 kg[40] hingga 1 ton.[41] BentukSebagaimana tujuan pembuatannya, ogoh-ogoh diharapkan menampilkan bentuk yang menakutkan, mencirikan sifat-sifat negatif (kekerasan, angkara murka, kejahatan), atau adarma (adharma; keburukan, kebatilan) yang bakal dibakar atau dimusnahkan. Butakala merupakan bentuk ogoh-ogoh yang umum, biasa diwujudkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud raksasa. Pembakaran ogoh-ogoh pada akhir ritual Tawur Kesanga bermakna "membakar yang jahat-jahat".[42] Wujud seperti dewa-dewi Hindu dan awatara identik dengan sifat darma sehingga bertolak belakang dengan makna pengarakan dan pembakaran ogoh-ogoh sebagai representasi pengenyahan sifat-sifat adarma.[42] Tokoh-tokoh baik dalam sastra Hindu seperti Pandawa dan Rama juga dinilai tidak layak untuk dijadikan ogoh-ogoh karena bukan tokoh kejahatan, sehingga menyimpang dari tujuan pembuatan ogoh-ogoh.[43] Seiring dengan perkembangan zaman dan kreativitas masyarakat, ogoh-ogoh tidak terbatas kepada simbol adarma atau raksasa. Selain wujud raksasa, ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di dunia, swarga, dan naraka, seperti: hewan mitologis (naga, garuda, makara), makhluk gaib (detya, wanara, bidadari), tokoh wayang dan sastra Jawa Kuno (tokoh Ramayana, Mahabharata, Calon Arang) bahkan dewa-dewi Hindu.[44] Pada dasawarsa 1990-an dan 2000-an banyak ogoh-ogoh yang terinspirasi dari tokoh masyarakat dan pesohor, serta isu-isu populer pada masa tersebut. Bentuk yang lebih tradisional—seperti makhluk dalam mitologi Hindu atau cerita rakyat Bali—lebih disarankan dan dihimbau oleh lembaga adat dan keagamaan yang konservatif.[6] Sarana opini publikDalam perkembangan dan dinamika zaman, ogoh-ogoh dapat menjadi bentuk karya seni untuk menyalurkan aspirasi atau opini publik. Ogoh-ogoh juga dianggap dapat menjadi sarana untuk menyampaikan kritik sosial.[45] Sebagai contoh, ketika isu reklamasi Teluk Benoa sedang hangat di Bali pada 2016, sekelompok masyarakat membuat ogoh-ogoh yang dimaksudkan untuk menyampaikan permasalahan lingkungan.[46] Isu nasional seperti kenaikan bahan bakar minyak dan kasus korupsi juga pernah menjadi inspirasi pembuatan ogoh-ogoh.[47] Ogoh-ogoh juga menjadi sindiran kepada tokoh masyarakat atau politikus yang tersandung masalah.[48] Meskipun demikian, pemerintah daerah dan adat Bali, serta aparat penegak hukum pada umumnya melarang pembuatan atau pengarakan ogoh-ogoh yang dianggap mengandung unsur SARA atau politik.[15][46] ProsesiTahun Baru Saka atau Hari Nyepi dirayakan oleh umat Hindu Bali setelah bulan baru pada masa ke-9 (Sasih Kesanga) kalender Bali. Menjelang Nyepi, umat Hindu Bali melakukan ritual Melasti untuk pembersihan spiritual terhadap diri beserta lingkungan sekitarnya. Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu Bali melakukan upacara Tawur Kesanga. Bagian dari upacara tersebut ialah Mecaru (Pecaruan) atau Bhuta Yadnya.[49] Pada senja hari setelah Mecaru, umat Hindu melaksanakan Pengrupukan. Kegiatan ditandai dengan menyalakan obor atau menyulut daun kelapa kering (bahasa Bali: mebuu-buu) dan menabuh bunyi-bunyian (kentungan, tawa-tawa, cengceng, atau instrumen musik alternatif lainnya) sambil berkeliling lingkungan rumah atau desa, bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari kekuatan jahat atau pengaruh buruk di alam sekitarnya.[49] Pengrupukan ini seringkali dibarengi dengan pengarakan ogoh-ogoh sebagai representasi (perwakilan) sifat negatif dalam diri manusia (diwujudkan sebagai "butakala"). Ogoh-ogoh tersebut kemudian dibakar sebagai makna pemusnahan sifat negatif tadi.[50] Prosesi ini dipadankan dengan eksorsisme menurut sudut pandang kebudayaan Barat.[49] Makna dan filosofiUmat Hindu Bali meyakini prosesi yang dijalani saat Tawur Kesanga sebagai bentuk "nyomya butakala", yaitu aktivitas untuk menetralisir atau menghilangkan sifat buruk/negatif di alam sehingga berubah menjadi baik/positif dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam.[51] Menurut ajaran Hindu Bali, prosesi ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang mahadashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup—khususnya manusia—dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau pun kehancuran, tergantung dominansi yang dipilih.[11] Pembakaran ogoh-ogoh pada akhir prosesi Tawur Kesanga merupakan tradisi baru, simbolisasi pemusnahan sifat-sifat buruk, atau netralisasi kekuatan negatif di alam sekitar. Meskipun demikian, pemuka agama Hindu Ida Pedanda Gede Made Gunung menilai bahwa pengarakan ogoh-ogoh pada akhir Tawur Kesanga adalah salah kaprah. Ia menyatakan bahwa pada akhir prosesi Tawur Kesanga, butakala sudah "didamaikan" agar tidak mengganggu kehidupan manusia dan sekitarnya. Maka pengarakan ogoh-ogoh dianggap sebagai "membangkitkan" butakala kembali dan mengaraknya berkeliling.[52] Tokoh Hindu lainnya menyatakan bahwa ogoh-ogoh tidak ada kaitannya dengan ritual Tawur Kesanga dan hanya pemeriah suasana penyambutan Nyepi. Sebabnya ialah ogoh-ogoh merupakan tradisi atau kebiasan berulang-ulang tanpa dasar sastra agama, sedangkan ritual Tawur Kesanga memiliki pedoman atau petunjuk pelaksanaan dari sastra agama.[26] Di luar BaliTradisi pengarakan ogoh-ogoh menjelang Nyepi juga ditemukan di luar Bali seiring dengan perkembangan diaspora orang Bali di sejumlah wilayah Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan lain-lain. Pada daerah dengan populasi umat Hindu yang signifikan seperti di pulau Lombok, pawai ogoh-ogoh menjadi wujud kerukunan umat beragama antara komunitas Hindu Bali dan Muslim Sasak. Mereka bersama-sama mewujudkan tradisi ogoh-ogoh mulai dari pembuatan hingga pengarakan. Musik pengiring pawai pun memanfaatkan kesenian daerah setempat, contohnya gamelan Sasak Ale-Ale.[53][54] Di beberapa daerah dengan umat Hindu selain suku Bali, contohnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, praktik agama Hindu Bali menjadi "model" bagi Hindu lainnya di Indonesia sedangkan Bali dianggap sebagai tempat pelestarian peradaban Hindu Jawa,[55] termasuk pelestarian kalender Saka yang awalnya datang dari India lalu diadaptasi di pulau Jawa.[56] Umat Hindu Jawa turut merayakan Tahun Baru Saka (Nyepi) sebagaimana umat Hindu Bali, dan tradisi ogoh-ogoh diadaptasi sebagai pelengkap ritual menyambut Nyepi. Pelataran Candi Prambanan, Yogyakarta menjadi lokasi pengarakan ogoh-ogoh umat Hindu Jawa di sana setiap menyambut Nyepi.[57] Di beberapa tempat lain, contohnya kabupaten Lamongan, tradisi ogoh-ogoh mulai diadaptasi pada dasawarsa 2010-an, meskipun ritual menyambut Nyepi rutin dilaksanakan sebelumnya tanpa membuat ogoh-ogoh.[58] Pada beberapa kesempatan, ekspatriat Hindu Bali di Brussel, Belgia juga mengadakan pawai ogoh-ogoh untuk menyambut Nyepi. Kegiatan tersebut mendapat dukungan dari pemerintah di sana dan bekerja sama dengan kedutaan besar Indonesia. Pawai diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan religius WNI etnis Bali di Belgia sekaligus menarik wisatawan.[59][60] Di luar konteks NyepiIstilah "ogoh-ogoh" juga disematkan pada karya seni representasi makhluk yang berukuran besar, meskipun tidak terkait dengan kebudayaan Hindu Bali. Di luar Bali, patung raksasa yang diarak saat karnaval juga disebut ogoh-ogoh.[61] Ogoh-ogoh pernah diarak pada saat pawai kebudayaan di beberapa tempat di Indonesia, meliputi Jakarta, Medan, Palembang, Semarang, Mataram, Ambon, dan Jayapura.[7] Ogoh-ogoh yang ditampilkan tersebut berada di luar konteks menyambut Tahun Baru Saka (Nyepi), semata-mata bersifat profan dan dimaknai sebagai karya seni atau hiburan belaka.[7] Ogoh-ogoh juga pernah diarak dan dibakar di ruang publik sebagai ungkapan protes masyarakat yang terjadi di luar Bali, contohnya protes akan aktivitas penambangan,[62] atau isu kecurangan saat pemilihan umum.[63] Ogoh-ogoh tersebut dibuat untuk keperluan "boneka pelampiasan" semata dan bukan sebagai karya seni dengan unsur opini publik yang dipersiapkan menjelang Nyepi. Di luar Indonesia, ogoh-ogoh sebagai karnaval atau pameran budaya pernah dilaksanakan di beberapa kota, antara lain: Den Haag (Belanda), sebagai peserta Festival Tong Tong (Tong Tong Fair) atau pasar malam besar tahun 2015;[64] Tokyo (Jepang) sebagai bagian dari parade kebudayaan Indonesia dalam festival Kesennuma tahun 2022;[65] dan tampil beberapa kali dalam karnival yang dikemas secara kontemporer dalam Festival Dark Mofo, di Tasmania, Australia.[66] Karakteristik yang khas menyebabkan warganet memadankan tradisi lain yang melibatkan orang-orangan berukuran raksasa sebagai "ogoh-ogoh";[67][68] contohnya festival Vijayadashami (Hindi-Urdu: Dassahra; ejaan alternatif: Dussehra) yang dirayakan umat Hindu di India. Berbeda dengan Nyepi, festival ini bukan perayaan tahun baru, melainkan peringatan kemenangan Rama atas Rahwana seperti yang dikisahkan dalam wiracarita Ramayana. Puncak festival ialah pembakaran patung tokoh yang dianggap simbol kejahatan, mirip dengan tradisi ogoh-ogoh. Galeri
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Ogoh-ogoh. Referensi
|