Bourdieu adalah filsuf yang terkenal dengan komitmennya sebagai 'intelektual publik' hingga akhir hayatnya. Gagasan utamanya terdiri dari "habitus", "modal", "ranah" atau "arena", dan "kekerasan simbolik." Konsep "habitus" Bourdieu dikenal karena kebaruannya yang dapat mengatasi dualisme antara individu dan masyarakat; struktur dan agen;[9] serta objektivisme dan subjektivisme yang disebut juga sebagai strukturalisme genetik atau konstruktivisme strukturalis.[10] Konsep "habitus" Bourdieu dapat digunakan pula sebagai analisis mekanisme dominasi. Dalam pandangannya dominasi tidak lagi diamati hanya dari akibat-akibat luar, melainkan juga dari akibat-akibat yang dibatinkan.[9] Pemikiran Bourdieu juga membangun suatu pandangan sosiologi pada berbagai bidang seperti ekonomi, budaya, politik, dan seni dengan memperhatikan dimensi simbolik yang tidak dibahas dalam tradisi sosiologi klasik Karl Marx; serta mengembangkan pendekatan sosiologi Weber dalam menjelaskan teori mekanisme-mekanisme dominasi.[11] Namun, pemikiran Bourdieu tidak terlepas dari berbagai kritik misalnya penggunaan gaya bahasa yang sulit dimengerti;[12] serta penggunaan analogi pada konsep "habitus" dan "ranah" yang dianggap terlalu menitikberatkan pada determinisme sehingga mereduksi realitas dan mengabaikan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.[13]
Biografi
Keluarga
Pierre Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di Denguin, sebuah desa kecil di Wilayah Béarn di Pyrénées-Atlantiques Prancis, wilayah barat daya pedesaan Prancis. Ayahnya adalah seorang petani sambilan yang juga pekerja di Kantor Pos Prancis. Bourdieu tumbuh dengan bahasa Gascogne, yaitu bahasa daerah di Prancis yang kini hampir punah. Ayahnya tidak pernah menamatkan sekolah formal, sehingga mendorong Bourdieu supaya berprestasi di bidang akademis. Ibunya dapat melanjutkan sekolah hingga usia enam belas tahun, dengan tinggal bersama bibinya di Pau.[2][3] Pada tanggal 2 November 1962, dia menikahi Marie-Claire Brizzard yang dengannya dia memiliki tiga putra (Jérôme, Emmanuel dan Laurent).[4][14]
Kehidupan sekolah
Setelah sekolah dasar, Bourdieu melanjutkan pendidikan dengan menumpang tinggal di Pau, karena terletak jauh dari desanya. Lalu dia menamatkan SMA-nya di Lycée Louis Le Grand dengan beasiswa dari pemerintah.[2][6]Lycée Louis Le Grand adalah SMA yang sangat prestisus, salah satu sekolah dengan ujian kompetitif untuk masuk ke salah satu Perguran Tinggi terkemuka.[6] Sebagian besar intelektual Prancis pascaperang seperti Jean-Francois Lyotard, René Rémond, dan Alain Touraine merupakan alumni Lycee Louis-le-Grand.[15] Bourdieu lulus SMA pada tahun 1951.[2] Kemudian melanjutkan kuliah di Ecole Normale Supérieure (ENS), yaitu universitas akademis utama bagi calon intelektual di Prancis. Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir adalah alumni universitas ini.[6] Bourdieu lulus sebagai agrégé dari jurusan filsafat pada tahun 1955.[2]
Bourdieu pernah menceritakan tentang kehidupannya di asrama, dalam salah satu sesi wawancara dengan Loic Wacquant; bahwa dia sempat mengalami berbagai hambatan, yang salah satunya berupa kehidupan eksistensi yang terbelah: antara kehidupan sekolah dan rumah; kehidupan asrama dan kelas; serta hubungan dengan teman-temannya di asrama dan orang-orang yang datang dari luar.[16] Dia juga mengaku lebih banyak menghabiskan akhir pekannya sendirian dengan menulis tentang kehidupan sekolahnya; tentang bagaimana seorang guru memperlakukan murid-muridnya, dan bagaimana para pegawai asrama diancam dan dihukum oleh pihak sekolah.[17] Dia juga bercerita tentang adanya pembedaan 'orang dalam' dan 'orang luar' akibat adanya perbedaan kelas yang diungkapkan dalam setiap aspek kehidupan dan kepribadian individu seperti sikap bekerja, aksen berbicara, pakaian, dan keyakinan. Bourdieu menuliskan semua pandangan realisnya dalam catatan pribadinya.[17]
Awal karier akademis
Bourdieu mengajar di Lycée de Moulins, selama satu tahun sebelum pergi ke Aljazair untuk menjalankan tugas militernya.[4][6] Selanjutnya, pada tahun 1958 hingga 1960, dia mengajar di faculté de lettres di Aljir.[4] Kembali ke Prancis pada tahun 1960, Bourdieu bekerja sebagai asisten Raymond Aron di Paris. Kemudian mengajar di Universitas Lille dan di Universitas Paris pada tahun 1960-1964.[4] Bourdieu menyunting serial "Le Sens Commun" yang diterbitkan oleh Les Editions de Minuir dan memulai serangkaian seminar di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1964.[4]
Aljazair: sebuah persimpangan
Krisis di Aljazair merupakan peristiwa politik yang membuat Bourdieu mulai mengutarakan pendapatnya di depan umum; ketika dia menjalankan tugas militer pada tahun 1950-an,[8] kemudian menjadi guru ilmu sosial di Aljir.[7] Hal inilah yang membuatnya dapat melihat pemberontakan dan perang yang sedang berlangsung dari dekat.[8] Menurut (Derek 1991) dalam (Krisdinanto 2014) Ketika itu di Aljazair sedang terjadi ketegangan antara bangsa Barbers Arab dengan warga PrancisPied-Noir.[18] Kemudian Prancis melakukan penjajahan di segala bidang kehidupan di sana dan menerapkan kebijakan asimilasi yang ketat, serta mengubah cara berpikir masyarakat setempat.[6]Aljazair menjadi wilayah Prancis, dan menjadi anggota parlemen di sana. Kelas penguasa terdiri dari campuran Aljazair dan Prancis. Kemudian bahasa lokal ditekan, dan diganti dengan bahasa Prancis.[6]
Kajian sosiologi mulai menarik minat dan perhatiannya.[7] Dia bahkan melakukan serangkaian studi etnografi pada petani di Kabylia.[8] Pemikiran sosiologi Bourdieu muncul dari apa yang dia temukan di Aljazair; khususnya mengenai pembedaan dengan apa yang disebut "masyarakat modern".[8] Menurut (Jenkins 1992) dalam (Krisdinanto 2014), Bourdieu memberikan penafsiran pada bentuk rumah suku Kabylia dengan pendekatan strukturalismeSaussure dan Levi Strauss. Kajian ini merupakan titik awal Bourdieu meninggalkan pendekatan dikotomi subjektivisme/objektivisme.[18] Dia juga mengkaji modalisme modern dan pengaruhnya terhadap ekonomi dunia ketiga, serta orang-orang yang terlibat, baik perempuan maupun laki-laki.[8]
Pengalaman Bourdieu selama di Aljazair diterbitkan dalam buku Sociologie de l'Algérie (1958).[19] Buku tersebut menggambarkan topografi sosial masyarakat tradisional di Aljazair dalam empat kelompok utama yaitu Kabylia, Shawia, Mozbite dan orang-orang Arab. Empat kelompok kesukuan yang berbeda ini memperlihatkan konsep Negara Bangsa Aljazair sebagai konsep yang longgar. Pada buku tersebut juga membahas bagaimana kolonialisme Eropa menerapkan norma-norma batas di wilayah darat yang sebelumnya belum jelas; yang merupakan bentuk terganggunya keseimbangan historis, geografis dan budaya di wilayah tersebut.[19]
Pilihan saya dalam mempelajari Aljazair lebih dimotivasi karena kajian masyarakatnya, bukan karena alasan politik. Saya pikir orang-orang Prancis – yang menentang kemerdekaan Aljazair – punya pandangan lazim yaitu pengetahuan yang buruk tentang negara ini, dan mereka punya banyak argumen salah dalam membela prasangkanya.
Aljazair mengizinkan saya menerima diri saya sendiri. Pandangan etnografis komprehensif yang saya berikan pada Aljazair, membuat saya menerima diri saya, negara saya, orang tua saya; aksen ayah dan ibu saya ... Saya melihat kemiripan antara orang-orang di Kabylia dengan orang-orang yang saya temui di masa muda saya.
Pada tahun 1947, École des hautes études en sciences sociales (EHESS) menjadi almamater formal bagi Bourdieu, dan pada tahun yang sama dia menerbitkan jurnal Actes de la recherche en science sociales.[22] Hampir satu abad sebelumnya, sejarawan Braude dan Febvre mendirikan VIe section yang didedikasikan untuk ilmu sosial dan ekonomi. Pendirian ini menjadi rumah penelitian bagi Bourdieu karena aktivitasnya sesuai dengan orientasi kedua pendirinya.[22] Kemudian Marc Bloch, mendirikan jurnal ulasan Annales,[b]Economies, Societes, Civilizations, yang merupakan kajian dengan pendekatan baru dalam bidang sejarah. Topik yang dibahas dalam jurnal-jurnal ulasan ini lebih fokus pada evolusi sosial dan tren ekonomi. Aspek-aspek yang dibahas pada jurnal tersebut, termasuk faktor mental, ideologi, dan mitos.[22] Lalu pada tahun 1868, École pratique didirikan di luar struktur universitas untuk mengembangkan penelitian dengan pengajaran.[22]
Karya sosiologi tentang pendidikan yang saya kerjakan, memiliki logika yang sama dengan penelitian yang pernah saya lakukan di Aljazair. Saya melakukan penelitian terhadap siswa, khususnya, untuk lebih memahami bagaimana rasanya menjadi seorang siswa di kelas tempat saya mengajar, dan juga untuk mengklarifikasi pendapat dalam perdebatan yang membingungkan pada hari itu.
(Grenfell 2004) menambahkan filsafat telah memberi Bourdieu teori tentang apa itu 'menjadi' dan 'mengetahui' di dunia. Aljazair, dan kemudian pendidikan, telah memanggilnya untuk terlibat dalam kebijakan nasional dan politik. Kedua posisi ini mewakili ketegangan antara filsafat dan etnografi. Bourdieu merasa harus melakukan pengubahan nyata bagaimana sosiologi merepresentasikan rekonsiliasi atas keduanya.[24] Lintas hidup (life trajectory) Bourdieu yang sangat pribadi, dan juga tanggapannya terhadap dunia sekelilingnya saling terkait satu sama lain.[25] Selain Aljazair, dia juga mengambil foto di kampung halamannya sendiri, yaitu di Béarn. Dia juga mulai mempelajari strategi dan pola pernikahan dan kesukuan di kalangan petani di sana. Foto-foto aktual ini, berjumlah banyak yang merupakan gambaran mental pribadinya. Bourdieu menggunakan foto-foto tersebut sebagai bahan baku untuk analisis; tanpa melupakan konteks sosio-historis dari pengalamannya.[25] Pada tahun 1964, dengan dukungan dari intelektual terkemuka Prancis – Aron, Levi-Strauss dan Braudel – menominasikan Bourdieu sebagai Direktur Kajian di Ecole Pratique des Hautes Etudes (EPHE) yang kemudian dikenal pada tahun 1977, sebagai Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS). Dia juga mengambil alih jabatan sebagai direktur di Center de Sociologie Européenne.[4] Kemudian pada tahun 1989 ia mendirikan Liber, yaitu jurnal yang mengulas karya-karya ilmiah di Eropa.[26]
Perdebatan intelektual
Tahun 1950-an iklim intelektual Prancis didominasi oleh pemikian eksistensialisme yang didasarkan pada tindakan dan kehendak bebas. Pemikiran Husserl dan Heidegger merupakan aliran arus utama filsafat yang didasarkan pada tradisi filosofis yang berbasis fenomenologi dan hermeneutika. Pemikiran Jean-Paul Sarte adalah pemimpin kajian filsafat dan pemikiran pada tahun 1950-an; khususnya ketika mereka memilih sistem politik alternatif dalam perlawanan menghadapi invasi.[27] Sosiologi pada tahun 1960-an dan 1970-an menghasilkan tokoh-tokoh seperti Raymond Boudon yang mengembangkan sebuah perspektif mengenai fenomena sosial sebagai agregasi aksi sosial individu,[28] yang disebut juga dengan pendekatan individualisme-metodologi.[29] Kemudian Alain Tourine menemukan pendekatan aksionalisme yaitu pendekatan yang didasarkan pada analisis gerakan-gerakan sosial;[29] dan pendekatan strategis dari Michel Crozier; yang menekankan analisis hubungan-hubungan kekuasaan dan organisasi; yang mencoba menjelaskan dialektika antara pelaku sosial dan sistem.[29]
Perdebatan teoretis semacam ini juga diekspresikan dalam hal kekuatan institusional. Pertemanan dan persaingan dimulai di khagne atau di Ecole Normale Supérieure dan berlanjut di EHESS. Setiap tokoh terkemuka memiliki tim rekan kerjanya masing-masing. Jaringan pertemanan tertentu didukung untuk pemilihan sebagai Directeur d'études (DE) atau profesor. Terjadi pula hubungan dekat antara EHESS dan media, seperti berita mingguan Prancis Le Nouvel Observateur, kemudian lahir istilah 'intelektual media'. Para tokoh ini menggabungkan pengajaran dan penerbitan dengan profil media, yang mencakup munculnya mereka di televisi dan radio, serta kolom mingguan dalam bahasa Prancis. Terjadi pula perdebatan intelektual antara Bourdieu dengan Alain Tourine, ketika keduanya sama-sama mencalonkan diri sebagai Ketua di bidang sosiologi di Collège de France.[28]
Collège de France
Pada tahun 1981 Pierre Bourdieu diangkat sebagai Ketua Sosiologi di College de France,[4] serta mendirikan Pusat Sosiologi Pendidikan dan Kebudayaan.[26] Pada tahun 1993, dia dianugerahi medali emas dari CNRS di Prancis; yaitu penghargaan tertinggi bagi seorang intelektual.[4] Karya profesional Bourdieu sangat banyak, baik berupa buku, makalah akademis, presentasi konferensi, wawancara, film dan fotografi, artikel di surat kabar, ulasan, dan diskusi kajian. Jumlahnya mencapai beberapa ratus karya, belum termasuk terjemahan ke dalam berbagai bahasa.[4]
Komitmen
Bourdieu adalah seorang perwakilan dengan basis di EHESS dan Collège de France. Dia melawan para filsuf lainnya baik dalam politik, maupun lembaga intelektual. Dia percaya pada ilmu sosial dan pemikiran intelektual sebagai alternatif positif bagi aksi politik; hak intervensi intelektual dalam peristiwa-peristiwa dunia, dapat memberikan kritik sebagai intervensi yang sering kali dimotivasi oleh diri sendiri.[30] Hal ini dilakukan atas dasar kebutuhan dalam membangun nilai-nilai sosial di dunia modern sekuler; komitmen 'total' sebagai 'intelektual publik', dan sebagai pelindung prinsip-prinsip universal emansipasi dan humanisme dan peringatan melawan fantasi intelektual yang mempercayai "kemahakuasaan" mereka sendiri.[30]
(Debray 1979) dan (Debray 1980) dalam (Grenfell 2004) berpendapat bahwa terdapat tiga tahapan utama siklus intelektual di Prancis. Hal ini dapat dibedakan berdasarkan lokasi aktivitas mereka yaitu siklus universitas; siklus penerbitan; dan siklus media.[30] Pada kasus Bourdieu, dia memiliki karier akademis, yang pada prinsipnya berada di universitas (siklus 1); Dia juga menerbitkan alamat publik dengan cara yang sama yaitu dengan mode perbanyakan penulisan ulasan dan pamflet di Prancis, khusunya pada tahun 1920 dan 1930-an (siklus 2). Hal ini menarik publik, baik Bourdieu sebagai spesialis maupun non spesialis; karena serupa dengan menulis di surat kabar. Kemudian, dia juga melakukan intervensi di media TV dan film (siklus 3). Entah disengaja atau tidak, hal ini merupakan siklus terakhir bentuk komunikasi massa di dunia modern; yang merupakan modus operandi seorang intelektual.[30]
Bagi Bourdieu, para intelektual secara tradisional dapat berpihak dalam 'ayunan pendulum' antara dua kemungkinan sikap terhadap politik, yaitu komitmen atau mundur.[31] Menurutnya, kaum intelektual diklasifikasikan atas keberpihakannya dalam politik. Gagasan "netralitas intelektual" hanya dimanfaatkan untuk tindakan politik.[31] Namun, baginya apa yang disebut sebagai 'komitmen politik' sudah berada dalam posisi terancam seiring dengan berjalannya waktu; hal ini disebabkan oleh 'efek media'. Media, menurutnya dapat menyerang 'kombinasi tidak stabil' yang mendefinisikan intelektual yang satu dengan yang lainnya terhadap posisi yang tampaknya 'eksklusif', baik terhadap kutub "penulis murni", seniman dan ilmuwan, atau terhadap peran aktor politik seperti jurnalis, politisi, atau pakar dengan semua prasyarat yang diperlukannya.[32][c]
Pengaruh dan oposisi
Menurut (Grenfell 2004) dalam (Krisdinanto 2014) pengalaman Bourdieu yang pernah menjadi bagian kelompok tertindas, membuatnya memutuskan untuk terlibat dalam gerakan politik alternatif pada tahun 1990-an. Awal keterlibatan Bourdieu dimulai pada tahun 1984, ketika menjadi anggota komite Francois Mitterand dalam mengkaji ulang kurikulum pendidikan di Prancis, tetapi hanya sebentar. Kemudian dia menerbitkan buku The Weight of the World pada tahun 1993, yang berisi penderitaan sosial di Prancis akibat kebijakan neoliberalisme pemerintahan sosialis di sana.[18]
Bourdieu aktif menentang program reformasi kesejahteraan Reagan dan Thatcher di Amerika Serikat dan Inggris; kemudian menjadi bagian kelompok pekerja kereta api yang mogok di Prancis; lalu melakukan perlawanan perang Irak pada tahun 1991, dan menentang penindasan intelektual di Aljazair, serta berjuang melawan rasisme dan xenophobia di Prancis. Dia juga mendukung kesadaran AIDS dan terlibat dengan kelompok aktivis ACT-UP.[5] Posisi Bourdieu sendiri berubah dari karier akademisnya. Dia sering mengkritik intelektual dan sosiolog yang memendam fantasi 'mengubah dunia'. Menurutnya, intelektual umumnya dipandang sebagai 'pecahan kelas dominan';[34] oleh sebab itu dia sering kali mencurigai 'apa' kepentingan mereka, dan 'untuk siapa' mereka berbicara, khususnya di wilayah politik.[35] Film dokumenter Bourdieu yang berjudul Sociology Is a Combat Sport (bahasa Prancis: La sociologie est un sport de combat), pernah dirilis pada tahun 2001, dan menjadi salah suatu film dengan kejutan besar di Prancis.[26]
Setelah publikasi La Misere du monde (1993), kritik Bourdieu atas sistem sosio-politik menjadi lebih terbuka, yang dengannya dia semakin memusatkan perhatiannya pada ekonomi neoliberal serta pengaruhnya. Di bidang pendidikan, Aljazair, media, dan budaya. Analisisnya bertujuan untuk menunjukkan salah pengenalan sistem sosial modern dan dampaknya terhadap keseharian laki-laki dan perempuan.[36] Dalam sebuah wawancara yang direkam sebelum kematiannya, Bourdieu menunjuk beberapa bukunya yang termasuk dalam bidang politik yaitu Travail et travaileurs (1963) dan Les Héeritiers (1964).[36]
Kematian
Komitmen Bourdieu berakhir akibat penyakit kanker paru-paru yang dideritanya. Dia meninggal pada tanggal 23 Januari 2002 di Paris, pada usia 71 tahun.[4][5] Presiden Republik PrancisJacques Chirac dan Perdana Menteri Lionel Jospin memberi hormat pada karier intelektual "teori praktik" ini.[5] Bourdieu banyak berkiprah dalam kajian filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, ilmu politik, ekonomi politik, teori pendidikan, feminisme, teori sastra, kritik seni, dan teori komunikasi.[5]
Teori sosiologi
Perjalanan intelektual Bourdieu dipengaruhi keprihatinan mendasar terhadap lingkungan sosial dan hasrat terhadap perubahan.
Menurut (Haryatmoko 2016), konteks perdebatan intelektual Prancis mendorong Bourdieu mengolah supaya teks tidak steril, sehingga teks dapat berubah menjadi tindakan. Pemikiran Bourdieu berusaha menjembatani dikotomi individu dan masyarakat, serta struktur dan agen, dengan mendasarkan praktik individual dan kolektif pada konsep habitus yang dibangun dalam sejarah individual dan kolektif.[37] Gagasan-gagasannya digunakan untuk menjembatani antara teori dan tindakan; sehingga ilmu sosial mampu menganalisis mekanisme dominasi, dan dapat menjadi alat pembebasan bagi mereka yang didominasi.[37]
Kebaruan pemikiran
(Haryatmoko 2016) menjelaskan bahwa sumbangan khas dari kebaruan pemikiran Pierre Bourdieu dapat dirangkum dalam uraian sebagai berikut:
Konsep habitus dianggap dapat mengatasi persoalan dualisme individu dan masyarakat, struktur dan agen sosial, dan kebebasan determinisme.[9]
Pemikiran Bourdieu mampu menyingkap mekanisme dan strategi dominasi. Dominasi tidak lagi diamati hanya dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat-akibat yang dibatinkan. Perubahan politik bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dan tindakan kolektif. Deskripsi hubungan-hubungan sosial tidak berhenti pada penilaian ilmiah, tetapi menjadi alat pembebasan bagi mereka yang didominasi. Sosiologi memiliki panggilan politik yang menghasilkan analisis tentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan, sehingga memungkinkannya untuk mengkritik situasi tersebut. Hal ini disebut juga sebagai sosiologi kritis; karena kritis terhadap budaya, sistem sekolah, demokrasi liberal dan mitos-mitosnya.[9]
Pemikiran Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara atau memiliki konflik. Logika ini mengatasi model Marxis yang mereduksi pandangan tentang masyarakat menjadi infrastrukturekonomi. Bourdieu membangun suatu pandangan yang berdimensi jamak, dibangun dari beragam ranah otonom, serta mendefinisikan model-model khas dominasi seperti budaya, politik, gender, dan seni (yang tidak hanya ekonomi).[9]
(Haryatmoko 2016) menambahkan bahwa ketiga sumbangan pemikiran tersebut menandai keterputusan pemikiran Bourdieu dengan beberapa tradisi sosiologi baik Marx dan Weber; namun tetap memperoleh inspirasi dari keduanya. Pierre Bourdieu menggunakan pendekatan Marxisme dalam menggambarkan tatanan sosial melalui paradigmadominasi, yaitu suatu paradigma antagonisme kelas. Namun, Bourdieu membedakan diri dari pendekatan Marx dengan mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolik; yang terkait dengan bidang budaya.[11] Bourdieu memperluas perjuangan kelas pada perjuangan simbolik dalam bentuk pengelompokkan perbedaan-perbedaan objektif yang ditentukan oleh akumulasi modal; baik ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial.[11] Pendekatan Marxhanya mendefinisikan posisi sosial dengan mengacu pada satu posisi dalam hubungan-hubungan produksi ekonomi, serta mengabaikan hubungan-hubungan produksi budaya. Demikian juga semua pertentangan yang mendasari bidang sosial tidak dapat direduksi hanya pada oposisi antara pemilik dan bukan pemilik sarana produksi ekonomi; yang mengorganisir teori ke dalam dua blok.[11] Bourdieu juga mengembangkan apa yang disebut tindakan bermakna berdasarkan pendekatan Weber. Dalam pemahaman ini, tindakan manusia diarahkan pada makna dalam arti tindakan yang terkait dengan reaksi orang lain atau perilaku orang lain. Dengan demikian, penjelasan sosial harus mempertimbangkan juga dimensi simbolik. Bourdieu menggunakan pendekatan dimensi simbolik dalam pemikiran Weber yang terkait dengan legitimasikekuasaan (tradisional, karismatik, legal-rasional) dalam memaparkan mekanisme-mekanisme dominasi.[11] Hal ini karena makna dan simbol sangat berperan dalam menjelaskan kekerasan simbolik. Bourdieu juga melihat ada semacam persetujuan dari pihak yang didominasi dalam konsensus yang sama dengan pendominasi tentang tatanan yang ada.[11]
Strukturalisme genetik adalah analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan analisis asal-usul struktur-struktur sosial itu sendiri.[38] Menurut (Krisdinanto 2014) strukturalisme genetik atau konstruktivisme strukturalis; mencoba mendeskripsikan bagaimana cara berpikir dan cara mengajukan pertanyaan. Bourdieu mencoba mendeskripsikan, menganalisis, dan mempertimbangkan sejarah seseorang dan sejarah berbagai struktur sosial, dengan cara keluar dari dualisme antara objektivisme dan subjektivisme melalui pendekatan yang memperhatikan struktur sekaligus mempertimbangkan pengalaman subjektif agen.[10] Cara berpikir ini melihat struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku dapat terjalin secara dialektik.[10] Menurut (Haryatmoko 2016), dialektika hubungan antara yang subjektif dan objektif ini merupakan salah satu dari dua dimensi habitus, yang terdiri dari dimensi prakseologis (arah orientasi sosial) dan dimensi afeksi (cita-cita, dan selera). Dua dimensi habitus ini menggambarkan adanya disposisi[d] seseorang atau suatu kelas sosial yang menentukan arah orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir, serta etos.[39]
Habitus
(Bourdieu 1977) dalam (Jones, Bradbury & Le Boutillier 2016) menjelaskan habitus adalah ruang konseptual tempat pengalaman tersimpan sebagai seperangkat ingatan mengenai bagaimana berperilaku. Habitus adalah pengetahuan praktis dari agen mengenai cara melakukan sesuatu, merespons situasi, dan memahami apa yang terjadi. Habitus adalah semacam pengetahuan yang kita tidak sadari merujuk pada yang rutin kita lakukan. Bentuk pemahaman ini meliputi sesuatu dengan rentang situasi yang beragam; mulai dari cara berjalan, makan atau berbicara, hingga ketegoriasai politik seperti kelas, kelompok usia, dan jenis kelamin.[40]
(Takwin 2006) memaparkan habitus yang dapat dipahami juga sebagai ‘perlengkapan’ yang ada pada setiap individu yang memungkinkan mereka menampilkan beragam aktivitas harmonis dalam sebuah masyarakat.[41] Menurutnya, habitus merupakan skematapersepsi, apresiasi, dan tindakan yang dihasilkan oleh institusi sosial yang diinternalisasi tubuh manusia.[41]Habitus lahir dari pembiasaan individu dalam interaksinya dengan dunia dan manusia lain. Dunia manusia, selain dunia fisik dan biologis, adalah juga dunia bersama. Pertemuan individu dengan unsur dunia fisik, biologis, dan sosial menghasilkan jejak-jejak pengaruh dalam diri yang saling berinteraksi dan beradu pengaruh dengan kesadarannya sebagai subjek. Dalam pembiasaan itu, berbagai 'perlengkapan' digunakan, dikuasai secara terampil dan diinternalisasi ke dalam diri individu. Perlengkapan itu lama-kelamaan dihayati sebagai bagian dari diri;[42] yang diinternalisasi dari waktu ke waktu; serta terus terjadi melalui berbagai proses imitasi, asosiasi, abstraksi, dan identifikasi. Setiap 'perlengkapan' yang diinternalisasi berinteraksi dengan perlengkapan-perlengkapan lain dan menghasilkan pengaruh tertentu dengan cara-cara tertentu.[42]
Menurut (Takwin 2006), semakin banyak perlengkapan yang diinternalisasi, maka semakin banyak pula rangkaian interaksi pengaruh dalam diri individu. Rangkaian interaksi itu membentuk sistem disposisi yang bertahan lama yang ada bersama dengan kesadaran subjektif serta realitas objektif yang dijalani individu, yang berubah-ubah didasari oleh pola-pola struktural tertentu.[43] Sebagai sistem, perlengkapan yang diinternalisasi tersebut saling berhubungan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan memiliki struktur-struktur yang mengatur dan mengelola rangkaian tindakan yang akan ditampilkan dalam ruang sosial.[43] Sebagai struktur, ada hierarki yang menjadi dasar dari penentuan prioritas tindakan. Unsur dari struktur-struktur itu adalah skema yang secara relasional membuat jaringan skemata (bentuk jamak dari skema). Skema adalah representasi dari benda-benda, baik yang konkret maupun abstrak. Satu skema hanya bermakna jika dihubungkan dengan skema yang lain. Relasi antar skema memungkinkan adanya pemaknaan terhadap diri sendiri dan dunia, memungkinkan ditampilkannya tindakan yang bermakna dalam realitas sosial. Pertambahan skema baru terjadi ketika relasi skemata lama bertemu dengan realitas yang belum dialami sebelumnya. Kesadaran subjektif berinteraksi dengan realitas objektif didasari oleh jaringan skemata yang ada akan menghasilkan internalisasi perlengkapan baru yang mengubah jaringan skemata lama dan memungkinkan praktik sosial baru.[43] Bourdieu membagi habitus ke dalam dua kelompok yaitu habitus kelas yang dimiliki secara kolektif; dan habitus subjektif yang dimiliki individu secara unik. Kedua habitus ini sama-sama dibentuk untuk keperluan penyesuaian diri individu terhadap lingkungan sosial dan penyesuaian sosial dengan individu.[41]
Sejarah konsep habitus
Menurut (Takwin 2006), dalam pandangan Aristotelianisme, setiap hal di dunia pasti dapat digolongkan ke dalam salah satu dari sepuluh kategori ada atau being yang terdiri dari: substansi, kualitas, kuantitas, relasi, aksio, pasio, waktu, tempat, postur, dan habitus. Menurutnya, habitus adalah kategori dari hal-hal yang melengkapi subjek sebagai substansi hal yang ada pada dirinya sendiri; hal yang keberadaannya untuk dirinya sendiri; hal yang adanya dapat dipilah dari hal lain.[44]Habitus ada di luar substansi, bersifat temporer dan aksidental, serta dapat dipilah dengan jelas dan tegas dari substansi.[44]
Aristoteles membedakan habitus dari 'kualitas' yang merupakan atribut atau karakteristik pelengkap yang adanya di dalam substansi. Misalnya, air memiliki kualitas cair dan besi memiliki kualitas keras. Berbeda dengan habitus, 'kualitas’ (dalam kategori ada Aristoteles) ada di dalam substansi, bersifat tetap dan niscaya, serta tak dapat dipilah dengan jelas dan tegas dari substansi. Jika kualitas dipisah dan dipilah dari substansi, maka terjadi perubahan substansi; jika air kehilangan kualitas cairnya, maka benda tersebut bukan lagi air. Aristoteles memandang kualitas sebagai hal yang sudah terberi pada semua substansi termasuk manusia dan menentukan jenis substansi yang mengandungnya. Air yang menguap bukan lagi air, begitu juga air yang membeku.[45] Namun, kategori-kategori tersebut tidak memadai dalam menjelaskan tentang manusia; sehingga terjadi reduksi besar-besaran jika manusia dimasukkan dalam kategori-kategori tersebut sebagai dasar analisis pemahaman; dengan kata lain, manusia tidak memadai untuk dipahami hanya sebagai makhluk rasional atau sebagai substansi yang terpilah dari habitus-nya.[45]
Hal ini juga disebabkan manusia memiliki perlengkapan tertentu dalam menjalankan hidupnya, yang mempengaruhi kondisi psikis dan fisiknya. Perlengkapan yang dibutuhkan tersebut tidak hanya berada di luar diri, tetapi juga terdapat banyak perlengkapan yang diinternalisasi ke dalam diri. Salah satu contohnya adalah logika; sebagai metode yang dipahami sebagai perlengkapan yang digunakan untuk berpikir. Habitus sebagai perlengkapan ternyata memiliki pengertian yang lebih luas dari apa yang didefinisikan Aristoteles.[46]Jean Piaget, salah seorang pelopor psikologi kognitif, menjelaskan bahwa bayi belum mampu mengingat benda atau tidak mampu membuat ‘konsep benda’ dalam benaknya karena belum memiliki ‘skema’ atau perwakilan benda dalam struktur kognitifnya; hal ini dikarenakan perlengkapan untuk membuat skema belum matang. Skema terbentuk setelah perlengkapan kognitifnya matang sehingga sang bayi mampu mamahami objek-objek di sekitarnya. Skema nantinya berperan sebagai perlengkapan kognitif yang memungkinkan orang memiliki pengetahuan tentang diri dan lingkungan.[47] Berbeda dengan Aristoteles, skema sebagai 'perlengkapan' berada di dalam diri, bukan di luar diri. Dengan kata lain, ada habitus yang terletak di dalam diri manusia; atau habitus yang terletak di dalam substansi dan menjadi kualitas dari substansi. Contoh lain dari pengertian habitus yang ada di dalam diri adalah kemampuan berbahasa: bahasa merupakan habitus bagi manusia yang digunakan untuk berpikir, berkomunikasi, dan memahami dunia.[47]
Teori ranah dan praktik
Ranah perjuangan[e] atau arena (bahasa Inggris: field; bahasa Prancis: champ) adalah semacam mikrokosmos mandiri dalam makrokosmos sosial, yang kurang lebih homogen seperti bidang seni, olahraga, jurnalistik, dan universitas. Ranah pada dasarnya adalah tempat persaingan dan perjuangan. Pelaku yang masuk dalam suatu lingkungan seperti (politik, seni, intelektual) harus menguasai kode-kode dan aturan-aturan 'permainan' di dalamnya;[49] hal ini karena setiap bidang memiliki aturan permainannya sendiri. Ranah perjuangan juga dipahami sebagai ranah kekuatan; yang merupakan tempat perjuangan antar individu, dan antar kelompok. Ranah perjuangan sosial, merupakan hasil dari proses otonomisasi yang berlangsung lama dan panjang merupakan permainan yang ada pada dirinya. Seseorang yang masuk ke dalam permainan biasanya tidak dalam suatu kondisi kesadaran penuh.[49] Hal ini dikarenakan habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan.[50] Ranah di sini merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan sumber daya atau "modal" yang terkandungnya.[51]
Tindakan atau praktik adalah produk dari relasi antara habitus dan ranah yang sama-sama merupakan produk sejarah. Pada saat yang sama, habitus dan ranah juga merupakan produk dari ranah daya-daya yang ada di masyarakat.[50] Bourdieu membayangkan masyarakat sebagai semacam sistem ranah, arena atau lapangan yang memiliki berbagai daya yang saling tarik-menarik; sebuah wilayah yang mengandung sistem dan relasi-relasi tempat terjadinya adu dan kekuatan.[50] Menurut (Takwin 2006) sistem ranah dapat dibayangkan seperti sebuah sistem planet (terdapat gaya gravitasi, mengandung energi, memiliki semacam atmosfer yang melindungi dari daya-daya yang merusak yang datang dari luar planet). Setiap ranah memiliki struktur dan dayanya sendiri, serta ditempatkan dalam suatu ranah yang lebih besar yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri dan seterusnya.[50]
Dalam suatu ranah terdapat ‘pertaruhan’, yaitu ketika kekuatan-kekuatan bertaruh berdasarkan modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus, supaya dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya.[52] (Haryatmoko 2016) menambahkan kepemilikan kekuasaan yang mengandalkan pada modal ini menentukan akses pada keuntungan-keuntungan tertentu yang dipertaruhkan dalam pertarungan. Arena perjuangan ini mirip dengan pasar; karena terdapat penghasil dan konsumen.[53] Dalam ranah intelektual, contohnya, seseorang harus memiliki modal istimewa yang spesifik seperti kecerdasan, pengetahuan yang luas, prestasi, otoritas keilmuan, dan sebagainya untuk menampilkan tindakan yang dapat dihargai dan membuatnya menjadi individu yang berpengaruh.[52] Selain itu, seorang individu juga harus memiliki habitus yang memberinya strategi dan kerangka tingkah laku yang memungkinkannya menyesuaikan diri dan beradaptasi secara memadai pada ranah intelektual.[54] Mereka yang memiliki modal dengan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan mereka yang tidak memiliki modal.[54] Secara ringkas, (Bourdieu 1984) dalam (Takwin 2006) memformulasikan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial; dalam mengganti setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal dengan persamaan: (habitus x modal) + ranah = praktik.[54]
Teori ruang sosial
Hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat dalam pandangan Bourdieu, didasarkan pada logika posisi-posisi dan kepemilikan sumber daya.[55] Pemetaan ini tidak berupa suatu lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-modal serta susunan modal-modal tersebut. Pendekatan ini mempertimbangkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah dan otonom, tetapi selalu dalam bentuk interaksi dengan kelas-kelas lain.[55] Para agen menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh besarnya modal yang dimiliki, dan bobot komposisi keseluruhan modal.[55] (Piliang 2006) memaparkan bahwa istilah modal (capital) yang digunakan Bourdieu adalah padanan metafora dari istilah modal dalam ekonomi, yaitu segala sesuatu yang dapat dilipatgandakan dalam rangka mendapatkan keuntungan baik dalam segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Oleh sebab itu, jenis-jenis modal yang digunakan dalam teorinya meliputi "modal ekonomi" (uang, simpanan, aset), "modal pendidikan" (gelar, penghargaan), "modal simbol" atau symbolic capital (prestise, status, otoritas) dan "modal budaya" (koleksi, objek). Kondisi objektif sangat ditentukan oleh modal yang dimiliki seseorang, yaitu kondisi keberadaannya di dalam masyarakat pada umumnya, sebagai relasi dari modal-modal yang dimilikinya.[56]
(Bonnewitz 1998) dalam (Haryatmoko 2016) berpendapat bahwa untuk mempertahankan dan mendapatkan berbagai bentuk modal, maka perlu dilakukan strategi reproduksi sosial. Agen sosial berusaha mempertahankan atau menambah jenis dan besarnya modal. Usaha tersebut diarahkan untuk mempertahankan dan memperbaiki posisi sosial. Keluarga dalam hal ini menjadi basis strategi pokok, yang meliputi strategi investasi biologis, strategi pewarisan, dan strategi pendidikan.[57] Strategi investasi biologis terletak dalam upaya pengendalian jumlah keturunan supaya dapat menjamin pewarisanmodal dan memudahkan kenaikan posisi sosial. Selain itu, strategi ini juga menjaga supaya kesehatan tetap terjamin. Strategi ini tidak lepas dari pilihan konsumsi makanan, hiburan, istirahat, dan olahraga. Strategi pewarisan berfungsi untuk menjamin pewarisan kekayaan (tanah, toko, uang); hal ini dikarenakan modal ekonomi menentukan hubungan kekuasaan. Sedangkan strategi pendidikan merupakan usaha untuk menghasilkan pelaku sosial yang mumpuni agar mampu menerima warisan kelompok atau mampu memperbaiki jenjang sosial.[57] Dua strategi lain terpaut langsung dalam hubungan dengan perjuangan dalam lingkup sosial, yaitu strategi investasiekonomi dalam bentuk pertukaran uang, kerja sama, menyediakan waktu, dan perkawinan.[58] Sedangkan strategi investasi simbolik meliputi upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan adanya pengakuan sosial yang bertujuan mereproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasannya, misalnya pewarisannama, dan suatu bentuk kewibawaan.[59]
Kekerasan simbolik
(Haryatmoko 2016) menggambarkan bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan-hubungan dominasi antar individu-individu dan kelompok-kelompok. Mekanisme tersebut salah satunya menetapkan apa yang disebut budaya, dan budaya yang berlaku biasanya adalah budaya penguasa.[29] Upaya pembedaan diri dari apa yang dilakukan kebanyakan orang, menjadi salah satu strategi dalam mempertahankan dominasihttps://www.youtube.com/watch?v=Ci4susJ-QoU; serta sarana untuk mengakumulasi jenis-jenis modal.[29] Strategi dominasi bervariasi, dan bergantung jenis ranah. Dominasi tersebut ditentukan oleh kepemilikan modal, habitus dan strategi penempatan modal.[29] Dominasi melalui wacana menurut (Haryatmoko 2016) merupakan bagian dari strategi penguasa, yang menyelubungi kekerasan simbolik.[29]
Konsep kekerasan simbolik mengacu pada buku Pierre Bourdieu yang berjudul La domination masculine (1998).[60] Dominasi laki-laki ini merupakan kekerasan yang tak kasatmata,[60][61] yang beroperasi pada tingkat simbol (gambar, teks, foto); dapat berupa pemalsuan realitas, makna dan informasi, dengan cara memberikan informasi yang keliru.[61] Korban dari dominasi tersebut, tidak merasakannya sebagai kekerasan, bahkan melihatnya sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar.[60] Konsepsi ini berasal dari proses perubahan yang bertanggung jawab dari sejarah yang seolah-olah menjadi sesuatu yang sudah semestinya; kemudian menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang dikuasai oleh "laki-laki" atau penguasa. Lalu diterima dan didukung oleh struktur sosio-budaya dan pengorganisasian masyarakat.[60] Menurut (Haryatmoko 2016), kekerasan simbolik pada dasarnya berlangsung karena ketidaktahuan, serta adanya pengakuan dari yang ditindas. Logika dominasi ini berjalan karena prinsip simbolik yang diketahui dan yang diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolik tersebut berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu yang didsarkan pada ketubuhan.[62]
Kritik
... kerumitan teks yang digunakan Bourdieu seperti mimpi buruk untuk dibaca.
— (Jenkins 1992), Pierre Bourdieu (Key Sociologist).
Gaya bahasa dan analogi
Gaya bahasa merupakan salah satu hal yang dikritik dari pemikiran Bourdieu, dan menurut (Krisdinanto 2014) Bourdieu cenderung menggunakan kalimat panjang yang rumit dan berlebihan, sehingga nyaris tak terpahami.[12] Selain itu, gagasan Bourdieu menurut pembacaan (Haryatmoko 2016) pada buku La Distinction (1979) terlalu beraliran strukturalisme dan determinisme.[13] Hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah 'kepentingan' dalam konsep "ranah" atau "arena" sebagai 'arena kompetisi', sehingga mereduksi "dunia sosial" ke dalam perspektif utilitarianisme, yaitu persaingan dengan konteks perdagangan antar individu atau kelompok.[13] Selain itu, Bourdieu juga menganalogikan 'arena sosial' sebagai pasar, serta mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan lain yang berperan nyata di masyarakat; yang tidak berbentuk persaingan seperti persahabatan, cinta, dan belarasa.[13]
Analisis pemikiran
Konsep "habitus" Bourdieu mencoba menjelaskan alasan tindakan individu di masyarakat, sesuai dengan skema yang telah ada sebelumnya. Dia juga mengklasifikasikan habitus menjadi dua kelompok yaitu habitus individual dan habitus kelas. Kritik atas konsep ini adalah adanya kesatuan disposisi, keberlangsungannya dalam hidup dan pengaruhnya dalam segala situasi kehidupan sehari-hari. Padahal seorang individu dapat belajar dari berbagai sumber yang tidak homogen baik keluarga, sekolah, kerja, dan media. Seseorang dapat melewati bentuk sosialisasi yang berbeda-beda, meskipun posisi asal-usul keluarga dalam hierarki sosial pada awalnya memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda pula.[63] Menurut (Haryatmoko 2016), konsep "habitus" juga terlalu menitikberatkan pada determinisme budaya kelas asal, status, dan kedudukan individu dalam hierarki sosial. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Bourdieu tentang fungsi habitus sebagai program yang memungkinkan adanya kreativitas; namun mengabaikan kemandirian subjek yang juga merupakan hasil pengkondisian masyarakat.[64]Agen sosial tetap menjadi sumber kebebasan politik dan perubahan sosial. Namun, agen sosial yang terbiasa dengan otomatisme dalam bertindak, tidak dapat melakukan refleksi, seperti yang dimiliki oleh pengamat dari luar; hal ini dikarenakan dalam tindakan diperlukan waktu untuk berjarak; untuk merefleksikan dan mengevaluasi tindakan supaya dapat memperbaiki atau mengembangkan kemungkinan-kemungkinan baru.[64]
Selain itu, menurut (Haryatmoko 2016), tulisan-tulisan Bourdieu yang merupakan pembelaannya terhadap mereka yang didominasi, terlalu menekankan mekanisme-mekanisme dan strategi-strategi reproduksi; sehingga dapat dilihat sebagai kekerasan simbolik bagi pembacanya; karena sulit dimengerti, khususnya oleh mereka yang didominasi.[64] Menurut (Bonnewitz 1998) dalam (Haryatmoko 2016) pemikiran Bourdieu tidak memberikan analisis yang berpengaruh langsung terhadap perubahan sosial; misalnya pemikirannya tentang sistem sekolah yang menjadi sarana reproduksi kesenjangan sosial, serta penjelasan Bourdieu tentang norma-norma budaya penguasa yang seolah-olah bersifat universal dan berlaku sepanjang waktu. Padahal sejarah menunjukkan bahwa kriteria seleksi dan keberhasilan sekolah telah berubah.[13]
Karya utama
Publikasi utama Pierre Bourdieu dapat dibagi menjadi empat periode yang saling melengkapi, dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu:
Periode pertama adalah publikasinya ketika berada di Aljazair, yaitu Sociologie de l'Algerie (1958), Travail et travailleurs (1963), dan Le Déracinement, la crise de l'agriculture traditionelle en Algérie (1964). Kemudian Célibat et condition paysanne (1962) diterbitkan ketika Bourdieu berada di kampung halamannya, di Béarn.[4]
Periode kedua mencakup proyek awal di Centre at the Sociologie Européenne, yaitu Les Héeritiers (1964) dan La Reproduction (1970), tentang pendidikan; Un Art moyen (1965) dan L'Amour de l'art (1966), tentang seni dan budaya; Le Métier de sociologue (1963), dan Esquisse d'une théorie de la pratique (1972) yang merupakan laporan metodologi.[65]
Periode ketiga berkaitan dengan kemunculan penelitian antropologi di Prancis, yaitu La Distinction (1979), tentang kehidupan budaya; Homo Academicus (1984), tentang akademisi dan intelektual; La Noblesse d'etat (1989), tentang sekolah pelatihan negara; Le sens pratique (1980), yang merupakan karya pengerjaan ulang hasil studinya di Aljazair; Questions de sociologie (1980), dan Lecon sur une lecon (1982) yang merupakan kuliah perdananya di College de France; kemudian Choses dites (1937), dan L'ontologie de politique de Martin Heidegger (1988) yang merupakan laporan metodologi dan filosofis lanjutan; serta karya besarnya tentang bahasa yang berjudul Ce que parler veut dire (1982).[16]
Periode keempat mewakili dasawarsa terakhir hidupnya. Pada periode ini Bourdieu sudah memiliki profil publik terkenal, yaitu La Misere du monde (1993), dan Les Structures sociales de l'economie (2000). Pada buku ini, Bourdieu mengkritik ekonomi modern dan akibatnya; serta Contre-feux (1998) dan Contre-feux 2 (2001) yang disertai dengan koleksi laporan-laporan polemik pendek, dengan konteks publik yang lebih luas.[16]
Karya lainnya yang berfokus pada masyarakat dan individu terdiri dari: La Domination masculine (1998), Medications pascalliennes (1997), Science de la science et reflexivite (2001), dan Les Régles de l'art (1992) yaitu karya empiris utama tentang bidang artistik, dengan fokus pada produksi penulis dan seniman.[16] Studi besar lebih lanjut tentang pelukis 'pra-impresionis' Manet juga merupakan bagian dari kuliahnya di College de France pada tahun 2000.[16]
2000: Medali Huxley (Royal Anthropological Institute)[66]
2001: Anggota korespondensi di British Academy[69]
Penghormatan
Sekolah Menengah Atas di Fronton (Haute-Garonne) menyandang namanya sejak tahun 2007. Sekolah ini adalah SMA pertama di Prancis yang menggunakannya.[70]
Amfiteater Unit Pelatihan dan Penelitian Humaniora dan Seni di Universitas Poitiers (Vienne), sejak tahun 2012, menyandang namanya sebagai penghormatan.[71]
1984: Entretien de Pierre Bourdieu avec Didier Eribon, rekaman video CNRS.
1990: Grands entretiens. Pierre Bourdieu, Antenne 2 dengan Antoine Spire, Miguel Benasayag dan Pascale Casanov. Lihat le monde social m'est supportable... Edisi de l'Aube 2004.
1991: Pierre Bourdieu, Chercheur de notre temps, video oleh CNDP.
1991: Bourdieu, Réflexions faites, ditayangkan pada 31 Maret 1991.
1996: Le champ journalistique, difilmkan oleh Pierre Bourdieu di Collège de France. Film ini berasal dari bukunya yang berjudul Sur la télévision.
1998: Grand entretien du Cercle de minuit bersama Laure Adler, France Television (France 2), April 1998.
1999: Entretien Pierre Bourdieu, Arte, disiarkan pada 5 Desember 1999.
2001: La sociologie est un sport de combat, Pierre Carles: film dokumenter tentang komitmen intelektual Bourdieu (pada tahun 2001, pada DVD tahun 2007).
2002: Dans Enfin pris de Pierre Carles, film dokumenter berdasarkan kuliah Pierre Bourdieu pada acara Daniel Schneidermann, Arrêt sur images, ketika menjelaskan teori sosiologi di bidang media.
Keterangan
^Pada saat itu, École Normale Supérieure (ENS) adalah bagian dari Universitas Paris sesuai keputusan pada 10 November 1903.
^Jurnal Annales berisi kajian berbagai bidang ilmu sosial yang belum dikenal di dunia akademis. Etnologi adalah salah satu kajian yang dibahas pada jurnal tersebut. Etnologi ketika itu, belum memiliki status kelembagaan sebelum berafiliasi dengan Universitas Paris pada tahun 1927; dan tidak ada gelar sosiologi yang diakui bagi yang mempelajarinya hingga tahun 1958.[22]
^Menurut (Grenfell 2004), di balik persoalan ini terdapat pembedaan antara intelektual 'pakar' dengan intelektual 'urniversalis', dimana 'pakar' memiliki keahlian terbatas, dan intelektual 'universalis' merupakan intelektual yang dapat membahas semua topik dan subjek. Karya Bourdieu pada tahun 1990-an dapat dipandang sebagai peralihan dari intelektual 'pakar' ke 'universalis'.[33]
^Disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan dan berpikir, yang diinteriorisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Kemudian disposisi tersebut berfungsi sebagai prinsip tak sadar tindakan, persepsi, dan refleksi. Disposisi yang sudah diperoleh akan mengkondisikan perolehan lebih jauh disposisi-disposisi baru.[39]
^Istilah 'perjuangan' di sini mengacu pada salah satu dari tiga tipe konflik dalam konsep gerakan sosial dalam analisis sosiologi Alain Touraine. Konflik tersebut dapat berupa 'perjuangan' jika tindakan berkonflik dianalisis sebagai mekanisme modifikasi keputusan, sehingga konflik menjadi faktor perubahan, atau sebagai kekuatan politik.[48]
Jones, Pip; Bradbury, Liz.; Le Boutillier, Shaun (2016). Pengantar Teori-teori sosial (edisi revisi). Diterjemahkan oleh Saifuddin, Achmad Fedyani (edisi ke-Edisi Kedua). Indonesia: Pustaka Obor Indonesia. ISBN9794619981.
Krisdinanto, Nanang (2014), "Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai", KANAL - Jurnal Ilmu Komunikasi, 2, No. 2: 107–206
Piliang, Yasraf Amir. (2006), "Imagologi dan Gaya Hidup: Membingkai Tanda dan Dunia", dalam Adlin, Alfathri, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta: Jalasutra, ISBN9793684577
Takwin, Bagus. (2006), "Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup", dalam Adlin, Alfathri, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta: Jalasutra, ISBN9793684577
Sumber internet
Admin, super (2017). "LYCEE GENERAL PIERRE BOURDIEU -". pierre-bourdieu.entmip.fr (dalam bahasa Prancis). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-09. Diakses tanggal 2017-12-07.
Bordel, Anne Claire. (2017), "Université de Poitiers - Accueil", www.univ-poitiers.fr (dalam bahasa Prancis), diakses tanggal 2017-12-03
HyperBourdieu (2017), "HyperBourdieu: Vita", hyperbourdieu.jku.at, diakses tanggal 2017-12-04