Awal Perang DinginAwal Perang Dingin ditandai dengan memburuknya hubungan antara dua negara, Amerika Serikat dan Uni Soviet, pasca kemenangan mereka pada Perang Dunia II melawan Jerman Nazi dan Jepang.[1] Awal Perang Dingin juga menandai berakhirnya multipolaritas dunia pada awal abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 menjadi bipolaritas yang dipimpin dua negara adidaya (superpower). Perang ini kemudian meluas hingga melibatkan negara-negara lainnya dengan terbentuknya dua kubu besar, yakni Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.[2] Bibit-bibit permusuhan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sejak Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia yang membawa kemunculan komunis internasional. Ideologi komunisme dianggap ancaman berbahaya bagi AS. Sebaliknya, pemimpin Uni Soviet menganggap AS adalah pemimpin negara-negara kapitalis yang berupaya menghancurkan rezim mereka atau dengan kata lain Uni Soviet merasa dalam kepungan kapitalis.[2] Pecahnya Perang Dunia II membuat peta perpolitikan dan aliansi militer berubah. Ketika Jerman Nazi mengingkari Pakta Hitler-Stalin dan berbalik menyerang Soviet, Blok Sekutu mengumumkan dukungan bagi Uni Soviet dan berperang melawan Blok Poros. Meski demikian, perbedaan terkait strategi perang dan visi pasca-perang menghasilkan ketegangan di antara pemimpin negara Sekutu.[1] Sebab-sebabPerang Dingin dapat dilacak sejak kemunculan perbedaan ideologi Amerika Serikat dan Barat yang menganut demokrasi liberal dengan Uni Soviet yang menganut komunisme. Pada Perang Dunia II, kedua pihak ini terlibat dalam aliansi untuk mengalahkan kekuatan Blok Poros. Uni Soviet yang waktu itu dipimpin Joseph Stalin dan Amerika Serikat yang dipimpin Franklin D. Roosevelt dan Harry S. Truman beberap kali bertemu dalam konferensi Sekutu. Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan pandangan yang muncul pada saat perang dan setelah perang yang membuat hubungan kedua negara ini menjadi "dingin" Front KeduaStalin menginginkan bantuan pasukan untuk mengatasi pasukan Jerman di Soviet dan membuka front kedua di Eropa. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Britania Raya cenderung menerapkan taktik menunggu dan terlibat dalam pertempuran yang berisiko lebih sedikit di Afrika Utara dan Italia. Mereka baru membuka front kedua dua setengah tahun setelah serangan Pearl Harbor. Ketika pada Juni 1943 Stalin mengetahui bahwa front kedua tidak akan dibuka hingga tahun depan, dia dengan marah menunjukkan ketidakpuasannya pada Roosevelt dan Blok Sekutu. Ia menekankan betapa berharganya pengorbanan tentara Soviet dibanding tentara Anglo-Amerika.[1] Jerman pasca-perangSuara AS, Britania Raya, dan Uni Soviet terbelah mengenai strategi yang dilakukan kepada Jerman setelah perang berakhir. Uni Soviet menginginkan adanya solusi yang cepat dan tegas dengan melucuti wilayah dan infrastruktur industri Jerman. Hal ini akan memenuhi kepentingan Soviet dalam melemahkan Jerman sembari menggunakan industrinya untuk membangun kembali Soviet. Di sisi lain, Amerika Serikat masih bimbang untuk menghukum keras Jerman atau membantu Jerman dalam proses pemulihan. AS melihat potensi Jerman yang dapat memainkan penting di Eropa pasca-PD II. Meski awalnya Roosevelt setuju dengan tindakan punitif, isu tersebut belum terselesaikan hingga akhir perang. Isu Eropa TimurUni Soviet melihat perlunya menciptakan zona penyangga (buffer zone) antara Eropa Barat dan Eropa Timur pasca Perang Dunia II.[2] Meski Amerika Serikat dan Britania Raya mengakui lingkup pengaruh Soviet di Eropa Timur, namun mereka mempromosikan pentingnya penentuan nasib sendiri. Perbedaan pandangan mengenai pemerintahan Polandia dan wilayah Eropa Timur lainnya menimbulkan tensi yang meningkat. Konferensi Yalta pada Februari 1945 berupaya menjembatani perbedaan pandangan dalam isu-isu tersebut, namun kesepakatan hanya bertahan singkat karena ketidakpuasan AS dan Britania Raya terhadap tindakan Uni Soviet di Eropa Timur. Konferensi Potsdam yang berlangsung pada Juli-Agustus 1945 justru mempertajam perbedaan pendapat antar Sekutu, terutama terkait pembagian Jerman, kompensasi perang, dan urusan Polandia. Pecahnya Perang DinginFase pertama Perang Dingin berlangsung di Eropa, dimulai dengan pemecahan Jerman pasca Konferensi Potsdam, pengalihan kekuasaan di Eropa Timur di bawah Uni Soviet, dan pembentukan NATO serta Pakta Warsawa.[2] Amerika Serikat mengadopsi kebijakan pembendungan (containment) dengan mengejawantahkan Doktrin Truman melalui serangkaian bantuan luar negeri yang dinamakan Rencana Marshall. Rencana Marshall memberikan bantuan luar negeri ke negara-negara Eropa, termasuk Yunani dan Turki, untuk membantu perekonomian Eropa pasca-perang dan memerangi pengaruh komunisme. Uni Soviet merespons dengan pembentukan Kominform dan memperkuat aliansi Eropa Timur. Blokade Berlin merupakan salah satu upaya Uni Soviet untuk menghalangi akses jalan raya, rel kereta api, dan kanal ke sektor-sektor yang berada di bawah kontrol Barat. Blok Barat merespons dengan pemberian bantuan melalui udara. Blokade Berlin dan respons Blok Barat menandai perpecahan Eropa dalam dua blok yang berkompetisi memperebutkan lingkup pengaruh dan pertanda dimulainya Perang Dingin. Kebijakan Pembendungan (Containment)Setelah Perang Dunia II, AS mengganggap Uni Soviet mengingkari kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Kementerian Luar Negeri AS memerintahkan salah satu diplomatnya di Moskow, George F. Kennan, untuk membuat analisis mendalam mengenai Uni Soviet. Kennan mengusulkan kebijakan yang diberi nama pembendungan (containment) untuk membendung pengaruh Uni Soviet yang menjadi basis kebijakan luar negeri AS selama awal Perang Dingin.[3] Isi kebijakan Pembendungan dapat dirangkum dalam paragraf berikut:
Referensi
Daftar Pustaka
Informasi yang berkaitan dengan Awal Perang Dingin |