Jala IndraJala Indra atau Jaring Indra (juga disebut Permata Indra atau Mutiara Indra) adalah sebuah metafora yang digunakan untuk menggambarkan konsep kekosongan, sebab-musabab yang saling bergantungan, dan saling penembusan dalam filsafat Buddha.[2] Dalam bahasa Sanskerta, Jala Indra dikenal dengan nama Indra-jāla.[3] Metafora ini berasal dari Sutra Avatamsaka, sutra Buddhis Mahāyāna, yang menggambarkan jaring luas yang membentang tak terbatas melintasi ruang dalam segala arah. Setiap persimpangan dalam jaring luas ini memiliki sebuah permata yang berkilau, yang memantulkan kilau setiap permata lainnya serta jaring secara keseluruhan. Metafora ini menggambarkan ajaran mengenai totalitas, yang menyatakan bahwa sifat seluruh alam semesta terkandung dalam setiap partikel.[4] NamaDalam agama-agama Weda pada masa Buddha, Indra adalah penguasa semua dewa. Meskipun memercayai dan menyembah dewa-dewa sebenarnya bukan bagian dari agama Buddha, Indra sering muncul sebagai sosok ikonis dalam kitab-kitab suci awal.[5] Di istana Indra di Gunung Meru, yang merupakan axis mundi kosmologi Buddhis dan Hindu, menggantung sebuah jala tali yang sangat besar. Jala Indra memiliki permata beraneka faset di setiap sudut, dan setiap permata terpantul dalam seluruh permata lainnya.[6] Jala permata Śakra juga disebut jala Indra, dan terbuat dari permata. Permatanya berkilau dan saling memantulkan satu sama lain, bayangan mereka menembus satu sama lain berulang-ulang.[7] Asal-usulSutra AvatamsakaMetafora ini dikaitkan dengan Dushun (atau Tu-shun; 557-640), patriark pertama Buddhisme Huayan. Huayan adalah suatu aliran Buddhisme yang muncul di Tiongkok dan didasarkan pada ajaran Sutra Avatamsaka, atau Sutra Karangan Bunga. Dalam Sutra Avatamsaka, realitas digambarkan sebagai saling penembusan sempurna. Setiap fenomena individual tidak hanya memantulkan semua fenomena lainnya dengan sempurna, tetapi juga sifat tertinggi dari keberadaan. Buddha Vairocana melambangkan dasar keberadaan, dan semua fenomena muncul darinya. Pada saat yang sama, Vairocana dengan sempurna meliputi semua hal.[5] Fazang, patriark ketiga aliran Huayan, mengilustrasikan ajaran Huayan kepada Maharani Wu Zetian dengan membangun sebuah aula cermin, menempatkan cermin di langit-langit, lantai, empat dinding, dan empat sudut ruangan. Di bagian tengahnya, dia menempatkan sebuah citra Buddha dengan lampu di sebelahnya. Berdiri di ruangan ini, maharani dapat melihat bahwa pantulan di setiap cermin jelas merefleksikan pantulan dari semua cermin lainnya, termasuk pantulan spesifik dari citra Buddha pada masing-masing cermin.[8] Kepustakaan HuayanSalah satu metafora yang paling berkesan dalam kepustakaan Huayan adalah yang berasal dari "Jala Indra", yang menggambarkan visi semua hal dalam suatu hubungan timbal balik satu sama lain tanpa dicampur menjadi satu entitas homogen tunggal. Metafora karakteristik ini ditemukan pada akhir Penenangan dan Perenungan dalam Lima Ajaran Huayan, sebuah karya yang sering, meskipun mungkin tidak akurat, dikaitkan dengan Dushun.[7] Atharwa WedaMenurut Rajiv Malhotra, Atharwa Weda (sekitar tahun 1000 SM) merupakan referensi paling awal mengenai sebuah jala milik Indra.[9] Dalam Atharwa Weda, yang merupakan salah satu dari empat Weda, dunia disamakan dengan jala yang ditenun oleh Dewa Shakra atau Indra yang agung. Jala ini dikatakan tidak terbatas, dan menyebar ke segala penjuru tanpa awal atau akhir. Di setiap simpul jala terdapat sebuah permata, yang tertata sedemikian rupa sehingga setiap permata mencerminkan semua permata lainnya. Tidak ada permata yang berdiri sendiri terlepas dari yang lainnya. Semuanya terkait dengan yang lainnya; tidak ada yang terisolasi. Setiap permata dalam Jala Indra adalah mikrokosmos dari keseluruhan jala; setiap komponen adalah kausa dari keseluruhan dan juga efek dari keseluruhan. Tidak ada yang berada di luar jala. Dalam pandangan dunia menurut agama Hindu, satu-satunya esensi yang akhirnya ada adalah Brahman; Brahman adalah fondasi bagi Jala Indra, dan tidak ada permata yang terlepas dari Brahman. [10] Dalam "Bab VIII.8 Pesona Perang" kitab Hymne Atharwa Weda berturut-turut dari ayat 5 hingga 8 disebutkan:[11]
Pengaruh dalam masyarakat modernJala Indra telah mengilhami para pemikir dan gerakan di Barat mulai dari filsafat hingga ekologi. David Loy telah menggambarkan bagaimana tonggak utama pemikiran pascamodernis Barat menyerupai ide-ide yang melekat dalam Jala Indra. Dia mengutip pendekatan Sigmund Freud dalam psikologi, karya Ferdinand Saussure dalam linguistik, gagasan-gagasan Roland Barthes dalam teori sastra, dan pendekatan-pendektan Jacques Derrida untuk dekonstruksi sebagai contoh para pelopor abad kedua puluh yang telah menggunakan gagasan-gagasan Jala Indra, meskipun kebanyakan tanpa pengakuan secara gamblang.[10] Gregory Fahy telah menguji gagasan John Dewey tentang metafisika lokal, kontekstual, dan relasional sebagai bagian dari pemikiran Hua-yen mengenai Jala Indra. Matematikawan yang mempelajari teori kekacauan dan fraktal telah menggambarkan keindahan struktur sebagai "jala Indra", "kalung Indra", dan "mutiara Indra". Dalam fisika, gagasan keterikatan kuantum adalah kasus khusus dari jenis interkonektivitas. Sama sekali tidak mengejutkan bahwa Jala Indra telah digunakan sebagai metafora untuk menjelaskan hologram, yang menurut definisi, setiap bagian juga mencakup keseluruhan dalam dirinya sendiri. Jala Indra juga disebut sebagai metafora untuk internet.[10] Selain itu, Jala Indra merupakan suatu korelasi kuno definitif bagi Teorema Bell, atau teori tentang kausa-kausa nonlokal.[12] Bagi seorang fisikawan modern, Jala Indra mungkin ditafsirkan sebagai masing-masing dan setiap partikel kuantum berhubungan erat dan langsung dengan masing-masing dan setiap partikel kuantum lainnya.[13] Lihat pulaReferensi
Bibliografi
Bacaan lebih lanjut
Informasi yang berkaitan dengan Jala Indra |