Jalur kereta api Cikampek–Cirebon–Kroya merupakan jalur kereta api utama di Pulau Jawa yang menghubungkan Stasiun Cikampek di Daerah Operasi I Jakarta dengan Stasiun Kroya di Daerah Operasi V Purwokerto. Secara kolektif, jalur pada segmen Cikampek–Cirebon merupakan bagian dari lintas utara Jawa, sedangkan Cirebon–Kroya termasuk dalam lintas selatan Jawa. Jalur ini merupakan jalur kereta api langsung dengan jadwal perjalanan tersibuk di Indonesia karena mempertemukan semua kereta api penumpang maupun barang di jalur selatan dan utara Jawa. Jalur ini dibina oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Bandung pada segmen Cikampek–Ciledug dan Semarang pada segmen Ketanggungan Barat–Kroya.[1]
Jalur ini menembus daerah pegunungan (di antara Pegunungan Pembarisan di sisi barat dan kaki Gunung Slamet di sisi timur) dengan jalur yang berliku-liku dan pemandangan yang menarik. Tanjakan yang cukup terjal membuat beberapa rangkaian panjang atau berat memerlukan traksi ganda untuk memudahkan pergerakan. Terdapat banyak jembatan tinggi dan panjang di jalur ini, salah satunya adalah Jembatan Kali Serayu di selatan Stasiun Notog, dan terowongan di utara Stasiun Kebasen.
Sejarah
Awal pembangunan
Proposal kereta api yang dibangun ke arah Cirebon pernah diajukan oleh Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij (BOS) apabila jalur segmen Jakarta–Karawang telah selesai. Namun, proposal ini tidak disetujui berdasarkan keputusan 11 Oktober 1883 No. 34 yang dikeluarkan oleh Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) yang akan menyuntikkan modalnya kepada BOS.[2]:40
Mengingat jalur kereta api Cirebon–Semarang menjadi hubungan yang penting di lintas utara Jawa, Staatsspoorwegen (SS) merencanakan pembangunan hubungan Cikampek–Cirebon. Keputusan tersebut tertuang dalam Undang-Undang tertanggal 14 Juni 1909 (Staatsblad No. 477), dan kemudian dioperasikan pada 3 Juni 1912. Bahkan sebelum selesai, dana telah dialokasikan untuk jalur kereta api Jatibarang–Indramayu sepanjang 19 km; yang rampung 15 September 1912.[2]:69 Pada tanggal 1 November 1914, Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) menjajaki kemitraan dengan SS untuk membuka kereta api Semarang–Batavia pp, sehubungan dengan rampungnya penataan Stasiun Cirebon Prujakan.[3]
Berikutnya, SS berkeinginan agar hubungan Batavia–Surabaya dapat dilaksanakan satu hari. Pembangunan jalur Cirebon–Kroya dituangkan dalam Undang-Undang tertanggal 31 Desember 1912 (Staatsblad 1913 No 32); meski banyak dikritik oleh komite ahli terkait seberapakah jalur itu memberi laba di masa mendatang. Pada tanggal 1 Juli 1916, ruas Cirebon–Prupuk (Margasari) sepanjang 75 km, dan ruas Kroya–Patuguran sepanjang 51 km, diselesaikan. Pada tanggal 1 Januari 1917, selesai juga penghubung Patuguran–Prupuk (32 km). Namun, upaya ini belum berhasil. Penentangan dari Volksraad dan pemotongan anggaran penyertaan modal negara (PMN) pada SS menyebabkan pengguna jasa masih harus menginap di Yogyakarta sebelum bisa melanjutkan ke Surabaya.[2]:69-70
Hubungan lintas Jakarta–Surabaya ini masih terputus karena keberadaan jalur kereta api Semarang–Vorstenlanden yang berstatus jalur konsesi Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dengan sepur 1.435 mm (4 ft 8+1⁄2 in). Meski pada 1899 sudah dipasangkan batang rel ketiga (lebar sepur ganda) agar bisa dilewati kereta api dengan sepur 3 ft 6 in (1.067 mm), kereta api SS harus berbagi dengan kereta api NIS, dengan kapasitas lintas yang terbatas. Baru pada 1925, SS mendapat izin membangun jalurnya sendiri di sebelah jalurnya NIS, agar kereta SS tetap berjalan di jalurnya sendiri, dengan kesepakatan bahwa tanah yang digunakan tetap berada di bawah konsesi NIS. Pada 1929, hubungan satu hari ini terwujud dengan hadirnya kereta api Eendaagsche Express.[4]
Pembangunan jalur ganda
Cikampek–Cirebon
Jalur ganda di segmen Cikampek–Cirebon dibiayai pinjaman Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) serta APBN sebesar Rp115 miliar.[5] Segmen pertama yang dibangun adalah segmen Haurgeulis–Cirebon yang mulai dibangun pada tahun 1995 dan selesai sebagai Haurgeulis–Telagasari pada 8 Januari 1997.[6] Menurut Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto, jalur ganda lintas utara dan tengah Jawa segmen ini direncanakan beroperasi seluruhnya pada tahun 1997. Namun, krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan gerakan reformasi membuat program ini mengalami penundaan dan hasilnya adalah jalur ganda berwesel di segmen Haurgeulis–Telagasari dan jalur ganda tanpa wesel di segmen Jatibarang–Cirebon saja.[7][8]
Sementara itu, segmen kedua di lintas ini, Cikampek–Haurgeulis mulai dibangun dengan peletakan batu pertamanya pada tanggal 30 Oktober 2001 oleh Menteri Perhubungan kala itu, Agum Gumelar. Jalur ganda ini sangat mendesak untuk dibangun mengingat pada saat itu jalur ini hanya dapat menampung 11 layanan kereta api, tetapi pada kenyataannya kapasitas lintasnya mencapai 16 kereta api lewat saat jam-jam padat.[8]
Terdapat catatan bahwa dari rencana pembangunan jalur ganda yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan adalah 40 bulan kerja, tetapi kenyataannya dapat selesai 30 bulan saja.[5]
Pada tanggal 4 Desember 2003, Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia kala itu, meresmikan jalur ganda Cikampek–Cirebon pada musim mudik lebaran tahun 2003.[9] Berikutnya, pada tahun 2007, jalur ganda di lintas Cikampek–Cirebon ini sudah sepenuhnya selesai.[10]
Cirebon–Kroya
Proyek jalur ganda kemudian dimulai lagi oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) pada 2008, saat konstruksi jalur ganda segmen Purwokerto–Patuguran dimulai pada Mei. Proyek ini dibagi menjadi tiga fase: Cirebon–Prupuk, Prupuk–Purwokerto, dan Purwokerto–Kroya. Pada segmen pertama, yang dibangun dahulu adalah Prupuk–Purwokerto, karena medannya berupa pegunungan dengan frekuensi lalu lintas kereta api penumpang yang lebih padat dibandingkan segmen lainnya. Karena terbatasnya dana APBN, hanya dilakukan pembangunan rel dan beberapa pengubahan sistem persinyalan. Di samping membangun jalur, juga membangun underpass di Legok, Karanggandul, dan Kebocoran, masing-masing berjumlah 2 buah.[11] Segmen Purwokerto–Patuguran mulai beroperasi 9 September 2009[12][13],Patuguran–Kretek per 24 Maret 2011,[14] dan selesai dengan pengoperasian penuh segmen Kretek–Prupuk per 1 Desember 2011.[15]
Untuk menyongsong fase kedua, dilakukan penataan emplasemen Stasiun Cirebon Prujakan, sehingga kereta dari selatan dapat berhenti di Prujakan.[16] Tundjung Inderawan, yang kala itu menjadi Direktur Jenderal Perkeretaapian, memaparkan rencana lanjutan pascaproyek ini, yaitu proyek pembangunan jalur ganda lintas selatan Jawa. Pembiayaan proyek jalur ganda Cirebon–Prupuk menggunakan sukuk negara (SBSN) dengan nilai kontrak Rp1,6 triliun dengan rincian Rp800 miliar telah dicairkan kepada DJKA, dan dilanjut sisanya pada 2014. Sementara itu, Inderawan juga mengatakan bahwa proyek fase ketiga akan menggunakan pinjaman Jepang.[17] Segmen Larangan–Prupuk mulai beroperasi per 29 Mei 2014,[18] Ciledug–Larangan per 16 Desember 2014,[19] dan Cirebon–Ciledug per 1 April 2015.[20]
Segmen ketiga adalah Purwokerto–Kroya, dimulai pada Desember 2015.[21] Vice President KAI Daop V Purwokerto, Dwi Erni Ratnawati, mengatakan bahwa proyek tersebut lebih lamban bila dibandingkan dengan proyek sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya pembangunan Jembatan Serayu Kebasen serta dua terowongan baru (Notog dan Kebasen). Sementara itu, Suyanto, yang kala itu menjadi manajer Jalan Rel dan Jembatan, pembangunan terowongan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah lengkung agar kereta api bisa melaju hingga 100 kilometer per jam (62 mph).[22] Dengan dimulainya uji coba jalur ganda pada 28 Januari 2019[23][24] serta pemindahan trase jalur ke Terowongan Notog baru dan dua jembatan di utara terowongan itu per 15 Februari 2019,[25] maka secara otomatis rute jalur, jembatan, dan terowongan yang lama ditutup serta dijadikan cagar budaya.[26] Berikutnya, per 5 Maret 2019, segmen terakhir ini sudah tersambung dan resmi dioperasikan.[27]
Pada tanggal 11 Januari 2021 sekitar pukul 21.30 WIB, Jembatan Kali Glagah lama peninggalan kolonial yang terletak di petak Bumiayu–Linggapura ambruk karena diterjang banjir. Akibat kejadian ini, selama beberapa hari kereta yang melewati petak tersebut sempat dialihkan lewat Bandung dan jalur utara. Barulah keesokan harinya, jalur KA di petak tersebut dinyatakan sudah bisa dilewati, tetapi untuk sementara hanya satu jalur saja yang bisa digunakan. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.[28][29] Kejadian ini menyebabkan Stasiun Linggapura diaktifkan kembali untuk persilangan kereta api.[30] Akhirnya per 15 April 2023, petak Bumiayu–Linggapura sudah kembali menjadi jalur ganda setelah jembatan BH 1120 kembali beroperasi.[31]
^Raap, O.J. (2017). Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 114. ISBN9786024243692.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ ab"Perlu 18 Tahun Bangun Rel Ganda di Indonesia". Media Indonesia. 5 Desember 2003.
^"Merayap Pasti Merebut Kepercayaan". Warta Ekonomi. IX (46-52): 37. 1998.
^"Jalur Ganda Kareta Api Dibuka". Simpay (Kalawarta Paguyuban Pasundan) (61-62): 152. 1997.
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.