Di Stasiun Andir, terdapat tiga jalur kereta api, yakni jalur ganda langsung ke arah Bandung, yang digunakan untuk KA antarkota, KA pengumpan kereta cepat Whoosh, dan kereta api lokal; sedangkan jalur tunggal yang membelok dahulu ke Stasiun Ciroyom hingga akhirnya menuju Bandung, yang digunakan untuk pemberhentian kereta api lokal. Seluruh jalur ini dibangun oleh Staatsspoorwegen, perusahaan perkeretaapian milik Pemerintah Hindia Belanda. Secara kolektif, jalur ini disebut sebagai Preangerlijn (bahasa Belanda dari "lin Priangan") dan merupakan bagian dari lintas selatan Jawa.[1] Jalur ini dibina oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Bandung pada segmen Bogor–Banjar dan Semarang pada segmen Rancakole–Kasugihan.[2]
Sebagai jalur lintas pegunungan, jalur ini berkali-kali mendapat musibah, memiliki banyak titik rawan longsor. Di antara seluruh titik, yang paling rawan longsor adalah segmen Ciawi–Cicalengka karena jalurnya membelah gunung. Segmen Cicalengka–Leles dan Cibatu–Ciawi merupakan petak jalur yang paling terjal, sementara petak Ciawi–Banjar cenderung lebih datar. Untuk petak Padalarang–Cicalengka dan Banjar–Kroya, petak jalur ini termasuk datar dan kereta dapat dipacu dengan kecepatan lebih tinggi pada petak ini. Titik rawan longsor lainnya yang juga diketahui antara lain di Terowongan Lampegan pada ruas Sukabumi-Cianjur,[3] dan pada tanggal 21 November 2012 di antara Stasiun Citayam dan Stasiun Cilebut di lintas Manggarai-Bogor.[4] Selanjutnya, juga longsor di Ciranjang, Cianjur hingga rel menggantung.[5]
Sejarah
Awal pembangunan
Pada 24 Maret 1869, Menteri Kolonial Belanda, de Waal berkonsultasi dengan Kepala Eksploitasi Staatsspoorwegen Belanda, J.A. Kool dan seorang profesor dari Sekolah Politeknik Delft, N.H. Henket terkait lebar sepur yang dibutuhkan untuk jaringan rel di Hindia Belanda. Pada 20 September 1869, terbentuk rencana umum perkeretaapian yang berisi rekomendasi lebar sepur 1.067 mm dan rekomendasi trase jaringan jalur kereta api untuk Pulau Jawa. Salah satu bagian yang harus dibangun ialah perpanjangan jalur dari Buitenzorg (Bogor) menuju Cilacap melalui Bandung dan Cicalengka.[6]
Segmen Bogor–Bandung menjadi jalur kereta api ketiga yang dibangun oleh SS, setelah Surabaya–Pasuruan (16 Mei 1878) dan Surabaya–Malang (20 Juli 1879). Jalur ini sepaket dengan jalur Surabaya–Sidoarjo–Mojokerto–Kertosono–Solo (1882–1884) karena dibangun untuk mewujudkan hubungan Jakarta–Surabaya melalui jalur selatan. Jalur ini digagas oleh David Maarschalk, yang kala itu menjadi Kepala Jawatan SS yang pertama.[7]
Usaha untuk menyatukan Bandung dan Yogyakarta ternyata dihadapkan sebuah tantangan: jaringan pegunungan vulkanik yang terjal, subur, dan rawan longsor. Trase jalur kereta api di Jawa Barat dibuat berkelok-kelok, menyeberangi jurang, serta memiliki jembatan yang panjang-panjang. Karena biaya pembangunannya mahal (termasuk perawatan prasarana dan pembelian lokomotif yang didesain untuk jalur ini), pemerintah (melalui SS) memang harus turun tangan untuk membangun jalur kereta api ini. Jalur ini tidak menggunakan rel gerigi, sehingga dibuat tikungan tapal kuda sehingga meminimalkan kelandaian (misalnya di petak Leles–Lebakjero).[8]
Pembangunan segmen Bogor–Cicalengka (1873–1884)
Bogor–Cicalengka dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), meneruskan tugas NIS dalam membangun jalur kereta api Batavia–Bogor. Berawal dari evaluasi oleh P.P. van Bosse di hadapan Parlemen Belanda pada November 1873 terkait kinerja Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).[7][9] Dalam proposalnya, NIS mengalami defisit suntikan modal semenjak beroperasinya dua jalur kereta api yang dibangun tersebut. Bahkan perusahaan ini berkali-kali terancam bangkrut.[7] Selain itu, pihak Pemerintah Kolonial mengakui bahwa gunung di selatan Jawa memiliki kontur yang curam dan membutuhkan biaya sangat besar untuk menaklukkannya. Penetapan trase ini mengharuskan Pemerintah turun tangan membangun jalur kereta api tersebut dan dibentuklah perusahaan yang kemudian dikenal dengan nama Staatsspoorwegen Nederlandsch-Indië (Perusahaan Kereta Api Negara Hindia Belanda). Perusahaan ini berdiri pada tanggal 6 April 1875 berdasarkan pengukuhan staatsblad tersebut.[9][10]
Rancangan awal untuk jalur Bogor–Bandung telah dibuat setidaknya pada tahun 1877. Rancangan tersebut dibuat oleh rekayasawan asal Belanda bernama Maarschalk ketika memimpin pembangunan jalur kereta api Surabaya–Pasuruan–Malang. Ia mengirimkan usulan rancangan tersebut kepada kementerian, kemudian usulan mulai didiskusikan pada 14 Mei 1878.[11] Usulan tersebut disetujui dan diundangkan dalam Staatsblad Nomor 93 yang terbit pada 6 Juli 1878.[12]
Pembangunan dibagi menjadi lima segmen. Segmen Bogor–Cicurug dibuka pada 5 Oktober 1881, kemudian segmen Cicurug–Sukabumi dibuka lima bulan kemudian pada 21 Maret 1882. Pembangunan segmen dilanjutkan ke Cianjur dan dibuka pada 10 Mei 1883. Segmen Cianjur–Bandung dibuka pada 17 Mei 1884, dilanjutkan dengan segmen menuju Cicalengka yang dibuka pada 10 September 1884.[12]
Pembangunan segmen Cicalengka–Kasugihan (1882–1894)
Pada 28 Oktober 1882, Inspektur Jenderal H.G. Derx mengajukan rancangan awal jalur kereta api Cicalengka–Cilacap kepada Pemerintah Hindia Belanda. Usulan tersebut diteruskan oleh Gubernur Jenderal kepada Kementerian Kolonial. Namun Agustus 1883, menteri kolonial saat itu, J.F.F. van Bloemen Waanders memberi tahu Gubernur Jenderal bahwa pendanaan dari pemerintah pada 1884 hanya akan digunakan untuk pembangunan jalur trem Surabaya–Ujung karena alasan finansial dan beberapa alasan lainnya.[13]
Pada 1886, rencana pembangunan jalur kereta api Cicalengka–Cilacap kembali mengalami perubahan. Jalur utama kereta api yang akan dibangun terlebih dahulu hanya berujung di daerah Warungbandrek, dengan kelanjutan ke arah Garut yang berstatus sebagai jalur cabang.[14] Pendanaan untuk pembangunan jalur tersebut baru dimasukkan ke dalam anggaran Hindia Belanda untuk tahun 1887.[15] Jalur Cicalengka–Garut sepanjang 51 kilometer pada akhirnya selesai dibangun pada 14 Agustus 1889.[14]
Pada mulanya, rencana jalur kereta api ini akan dilanjut dari Stasiun Garut. Namun, pada 1888, setelah melalui kajian geografis, SS memilih untuk tidak melanjutkan jalur kereta apinya dari Stasiun Garut, tetapi dari Stasiun Cibatu. Kemudian, dengan dibukanya jalur ke Tasikmalaya tersebut, SS menjadikan segmen Cibatu–Garut menjadi lintas cabang. Pada masa itu, belum ada kereta api yang bisa dijalankan langsung dari Batavia menuju Jawa bagian timur, karena jalur kereta api lintas Jawa merupakan gabungan dari beberapa lintas-lintas pendek yang didayagunakan bersama antara Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan SS.[8]
Segmen lainnya yang juga mengalami perubahan rencana ialah segmen Kawunganten–Cilacap. Awalnya akan disambungkan dengan Stasiun Cilacap Pelabuhan. Namun, karena ternyata trase yang akan dibangun melewati rawa-rawa, proyek menjadi semakin menantang, ditambah tidak adanya warga yang tinggal di lokasi proyek, serta banyak di antara pekerjanya yang terserang malaria. Pekerjaan survei trase jalur menjadi sebuah pekerjaan yang sangat berisiko tinggi. Kepentingan strategis pun menjadi faktor penyebab lainnya. Cilacap, saat itu sudah tak memainkan peranan penting dalam sektor pertahanan dan keamanan. Akibatnya, dipilih titik akhir jalur di emplasemen Stasiun Kasugihan, dan stasiun besar untuk penumpang umum dibuat di Maos.[16]
Menteri Kolonial Belanda, L.W. Keuchenius mengalokasikan pendanaan jalur kereta api Cibatu–Kasugihan dalam anggaran Hindia Belanda tahun 1889 dan diundangkan dalam Staatsblad Nomor 8 Tahun 1889 pada 31 Desember 1888. Segmen pertama, Cibatu–Tasikmalaya, dibuka pada 16 September 1893, sementara segmen Tasikmalaya–Kasugihan dibuka pada 1 November 1894. Dengan demikian, jalur kereta api Batavia–Surabaya melalui jalur selatan kini tersambung.[14]
Perkembangan di Bandung pada abad ke-19 dan 20
Dalam perkembangannya, lintas Padalarang–Cicalengka menjadi segmen jalur yang paling berkembang pada masa itu, dengan dibukanya beberapa perhentian berikut:
Pada tahun 1919, SS mewacanakan untuk mengembangkan lintas Padalarang–Bandung. Dengan mempertimbangkan kesepakatan Volksraad (Dewan Rakyat), dilakukan proyek peningkatan jalur dan pembangunan emplasemen barang di Bandung dan Batavia, dengan nilai anggaran ƒ1.429.000,00:[21]
pembangunan area bongkar muat di Cikudapateuh (sekarang Gudang Persediaan);
pembelian perlengkapan gudang persenjataan (magazijn) di Bandung bagian barat;
pembangunan Halte beserta emplasemen langsir Kiaracondong
pembangunan jalur ganda yang menghubungkan Stasiun Bandung dan emplasemen langsir baru di baratnya;
pembangunan kantor sementara untuk tempat kerja bagi insinyur yang terlibat dalam proyek ini.
Memulai konstruksi, dibangun emplasemen langsir Kiaracondong dan juga Stasiun Bandung Gudang. Pada 8 Maret 1920, SS membuka emplasemen Ciroyom (Stasiun Bandung Gudang).[22][23] Sementara itu, emplasemen langsir Kiaracondong akhirnya bisa rampung pada Juli 1922.[24] Berikutnya, pada 15 Juli 1924, jalur ganda Padalarang–Kiaracondong rampung.[25]
Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia terbitan Angkasa, pada Maret 1961 terjadi longsoran besar di petak jalan Ciawi–Trowek, yang akhirnya berhasil dibuka pada tanggal 12 Maret 1961.[26] Keadaan ini juga memaksa nama Stasiun Trowek diganti menjadi Stasiun Cirahayu.
Pada masa lampau, seluruh stasiun di jalur ini menggunakan persinyalan mekanik. Sejak awal tahun 1970-an, persinyalan kereta api di Stasiun Bandung diganti menjadi elektrik produksi Siemens dengan seri DrS60 serta menjadi persinyalan elektrik pertama di Indonesia.[27] Pada tahun 1999, persinyalan di Tasikmalaya–Kasugihan sudah elektrik produksi Westinghouse Rail Systems dengan interlocking Westrace, sedangkan di jalur Padalarang–Gedebage menggunakan persinyalan produksi Alstom.[28]
Keadaan lintas Bogor–Padalarang abad ke-21
Pada tahun 2001, Terowongan Lampegan runtuh.[29] Akibatnya, kereta api Cianjuran tidak dapat memasuki terowongan dan tertahan hingga Stasiun Lampegan saja (sebelumnya melayani Bandung–Bogor pp). Lama tidak beroperasi, terowongan ini sudah dapat dioperasikan pada tahun 2010, dengan renovasi penampang dalam dari yang semula oval menjadi kotak.
Pada tanggal 13 Desember 2008, kereta api Bumi Geulis yang melayani Bogor–Sukabumi, p.p, dioperasikan. Dalam catatan yang pernah ada, kereta api Bumi Geulis turut mendukung slot jalur kereta api Bogor–Sukabumi–Cianjur–Bandung yang saat itu masih sedikit layanannya.[30] Karena mesin KRD ini rusak, KRD ini dihentikan operasinya semenjak 18 Desember 2012.[31] Otomatis, halte yang hanya cukup untuk menampung satu rangkaian KRD (Cijambe dan Ciomas) juga dinonaktifkan.
Ketersediaan suku cadang untuk lokomotif diesel hidraulis BB301 dan BB304 untuk KA Cianjuran kini sudah langka karena usianya yang sudah cukup tua untuk dijalankan, serta ketidaktersediaan subsidi PSO dari Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.[32] Pada akibatnya jalur kereta api Cianjur–Padalarang menganggur lama.
Pada tanggal 9 November 2013, kereta api Pangrango mulai beroperasi untuk rute Bogor–Sukabumi, p.p. Akan tetapi, perjalanan kereta apinya tidak diberhentikan di halte Cijambe dan Ciomas lantaran panjang peron yang tidak cukup. Untuk mempersiapkannya, jalurnya kemudian di-upgrade dengan mengganti relnya menjadi R54 dengan bantalan beton agar dapat didaki oleh lokomotif CC206 yang cukup berat.[33] Di segmen Sukabumi–Cianjur disediakan kereta api Siliwangi. Kereta api ini diresmikan pada tanggal 8 Februari 2014, yang dalam operasional hari ke-2 dan ke-3-nya, anjlok di Lampegan.[34] Pada hari ke-2 operasional, KA ini menabrak dinding Terowongan Lampegan.[35] Penampang terowongan yang oval menyebabkan ruang bebasnya menjadi sangat sempit untuk dimensi standar kereta penumpang Indonesia sekarang, mengingat pada zaman kolonial terowongan itu didesain untuk kereta yang berdimensi kecil.
Pada Februari 2014, PT KAI sempat merencanakan mengoperasikan kereta api Kian Santang pada Maret 2014, tetapi diundur lagi, dan akhirnya gagal beroperasi pada tahun 2015 karena permasalahan teknis prasarana yang dianggap tidak layak operasi. Padahal, stasiun-stasiun di lintas ini juga sempat menjalani renovasi untuk menyambutnya.[36][37][38]
Jalur Cianjur–Padalarang merupakan jalur semiaktif karena hanya lori, dresin, dan kereta inspeksi saja yang dapat melewati jalur ini. Untuk menyatukan kembali hubungan Cianjur–Padalarang, Direktorat Jenderal Perkeretaapian memutuskan meng-upgrade jalur kereta api ini. Untuk tahap pertama, jalur yang di-upgrade adalah Cianjur– Ciranjang.[39]
Proses reaktivasi segmen Cianjur-Ciranjang sudah rampung sejak tanggal 30 Juli 2019. Adapun Stasiun Ciranjang kini sudah direnovasi total. Kereta api Siliwangi juga diperpanjang rutenya sampai ke Stasiun Ciranjang yang sebelumnya hanya sampai Cianjur.[40] Meskipun demikian, Stasiun Maleber dan Stasiun Selajambe tidak ikut diaktifkan kembali.
Proses reaktivasi segmen Ciranjang-Cipatat sudah rampung sejak bulan Agustus 2020 dan sudah beroperasi sejak 21 September 2020, sehingga perjalanan kereta api Siliwangi kembali diperpanjang rutenya sampai ke Stasiun Cipatat. Stasiun yang beroperasi di segmen ini hanya Stasiun Cipeuyeum dan Stasiun Cipatat.[41] Sedangkan Stasiun Rajamandala tidak dioperasikan meskipun stasiun tersebut sudah direaktivasi dan dirombak.
Untuk tahap ketiga, jalur yang direaktivasi adalah segmen Cipatat-Tagogapu-Padalarang. Namun, karena kondisi jalur asli yang ternyata menanjak ekstrem sehingga ada kemungkinan lokomotif berat tidak dapat menanjak, sejumlah alternatif proposal diajukan. Salah satunya adalah membangun jalur baru dari Cipatat menuju Sasaksaat.[42]
Pembangunan jalur ganda Bogor–Cicurug
Pada 2020, petak Stasiun Bogor Paledang hingga Cicurug mulai digandakan, menyusul petak Cicurug hingga Stasiun Sukabumi. Selain itu, tiga stasiun nonaktif di petak tersebut juga akan kembali diaktifkan.[43] Saat ini Stasiun Ciomas masih dalam tahap renovasi rampung, menyusul nantinya Cijambe dan Pondok Leungsir. Saat proses penggandaan jalur, terdapat insiden pencurian rel di km 20+600 Lintas Cigombong–Cicurug. Pada 23 Maret 2021, polisi menetapkan 5 tersangka dan menjeratnya dengan pasal 363 KUHP tentang pencurian dan ancaman hukuman 6 tahun penjara.[44]
Pembangunan jalur ganda Kiaracondong–Cicalengka
Pada tahun 2020, seiring dengan dihentikannya banyak perjalanan kereta api terutama untuk kereta api penumpang akibat penyakit koronavirus 2019, hal ini memberikan waktu untuk petak jalur yang masih menggunakan rel tipe R42 secara bertahap ditingkatkan menjadi tipe R54.[45]
Seiring dengan peningkatan persinyalan pada lintas Padalarang–Cicalengka dan proyek jalur ganda lintas Kiaracondong–Cicalengka sejak tahun 2021, persinyalan mekanik pada segmen Cimekar–Cicalengka dan persinyalan elektrik pada segmen Padalarang–Gedebage tersebut diganti secara bertahap dengan yang terbaru produksi PT Len Industri.
Pada tanggal 18 Desember 2022, jalur ganda pada segmen Stasiun Gedebage hingga Stasiun Haurpugur resmi dioperasikan. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 2024, jalur ganda pada segmen Stasiun Kiaracondong hingga Stasiun Gedebage resmi dioperasikan. 2 bulan setelahnya, jalur ganda pada segmen Stasiun Haurpugur hingga Stasiun Cicalengka resmi dioperasikan pada tanggal 31 Desember 2024 sehingga proyek pembangunan jalur ganda lintas Kiaracondong–Cicalengka dinyatakan selesai.[46]
Setelah Gunung Galunggung mengalami erupsi pada tanggal 5 April 1982, timbul keinginan PJKA untuk membangun jalur kereta api angkutan pasir Galunggung ke Stasiun Pirusa. Percabangannya dimulai dari jalur simpang Babakanjawa yang berlokasi di KM 263+475 (dekat tugu selamat datang Kabupaten Tasikmalaya) antara stasiun Rajapolah-Indihiang. Namun saat ini jalurnya sudah tak lagi beroperasi karena jumlah pasir yang menipis sehingga hanya diangkut dengan truk pasir.[52]
^Susanti, D.M. (Januari 2008). Kajian atas Pengelolaan Pengetahuan dalam Pengoperasian Teknologi Persinyalan Kereta Api (Studi Kasus Daop 2 Bandung) (Tesis S2). Program Magister Studi Pembangunan, Sekolah Arsitektur, Pengembangan, dan Perencanaan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.
^Sugiana, A.; Lee, Key-Seo; Lee, Kang-Soo; Hwang, Kyeong-Hwan; Kwak, Won-Kyu (2015). "Study on Interlocking System in Indonesia"(PDF). Nyeondo Hangugcheoldohaghoe Chungyehagsuldaehoe Nonmunjib (Korean Society for Railway) (46).
^Suganda, Her.2007.Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas.Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.
^""Surga" dari Galunggung". Pikiran Rakyat (dikutip oleh Tekmira ESDM). 6 April 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-06. Diakses tanggal 2017-08-06. Rel kereta api tersebut, hingga sekarang masih bisa disaksikan dari Kecamatan Sukaratu (Kabupaten Tasikmalaya) hingga ke Kecamatan Indihiang (Kota Tasikmalaya). Rel ini paling tidak menunjukkan betapa menguntungkan dan besarnya potensi pasir Galunggung.
Daftar pustaka
Raap, O.J. (2017). Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN9786024243692.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)